Eksistensi kebudayaan Sunda zaman kolonial, pada saat sekarang, dan masa depan begitu menarik ketika dikaitkan dengan revolusi industri 4.0 yang sedang berlangsung dan dalam menyongsong society 5.0. Kondisi kesundaan ini dikupas dalam seminar internasional bertema “Internasional Conference on Sundanese Culture” pada Kamis (14/11/2019). Seminar ini diselenggarakan Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.
Pembicara yang hadir, antara lain berasal dari Universitas Sydney, Australia, Prof Dr Hans Pols, penulis buku Merawat Bangsa dan Jiwa Sehat, Negara Kuat yang diterbitkan Kompas Gramedia. Hadir juga dari Universitas Mubai, India, Vivek Neelakantan, penulis buku Memelihara Jiwa-Raga Bangsa, serta pemakalah dari Bandung dan UIN Sunan Gunung Djati, di antaranya Prof Dr Sulasman, Dr Ajid Thohir, Dr Asep Achmad Hidayat, dan Moeflich Hasbullah MA.
Hans memaparkan tentang eksistensi para dokter pada masa kolonial dan pergerakan dalam kemerdekaan. Peranan dokter dalam era kebangkitan nasional dikupas tuntas, termasuk peran Technische Hoogeschool te Bandung (Institut Teknologi Bandung) dalam pergerakan kemerdekaan di bidang sains.
Menurut Hans, para dokter zaman kolonial, selain bertugas menyehatkan masyarakat juga bergerak ke arah kebangkitan nasional. Waktu itu terdapat dokter Ciptomangunkusumo, dokter Wahidin Sudirohusodo, dokter Sutomo, dan lainnya yang begitu gigih memelopori kebangkitan bangsa dari cengkeraman penjajah.
“Waktu itu, selain menyehatkan fisik masyarakatnya, menyehatkan psikis masyarakatnya sehingga memiliki mental yang kuat. Jadi, kalau dikaitkan dengan kondisi sekarang tentang revolusi mental, masyarakat harus sehat secara fisik dan psikisnya,” ujar Hans.
Sementara itu, Vivek menyoroti sejarah kesehatan di kota Bandung yang tak lepas dari sisi kehidupan etnis Sunda. Menurut Vivek, kesehatan sangat penting untuk pembangunan bangsa guna membangun mentalitas masyarakatnya dalam pembangunan.
Sementara itu, Ajid menyoroti tentang “Sejarah Sufisme pada Masyarakat Sunda”. Orang Sunda sudah memiliki tradisi sufi yang kental. Namun, tradisi sufistik orang Sunda dikikis oleh kolonial Belanda, bahkan selepas kemerdekaan atau pascakolonial suasana sufistik Sunda digerus paham-paham keagamaan baru.
Selaras dengan Ajid, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Dr H Setia Gumilar MSi berpendapat, pada zaman kolonial etnis Sunda merupakan etnis yang begitu luhur elmuna, luhur agamana, luhur budi pekertina, tetapi menjadi terkikis oleh peradaban. Pada seminar ini harus ditemukan pemikiran-pemikiran akan perkembangan kesundaan ke arah yang sangat positif karena memahami sejarah tidak hanya masa lalu, tetapi juga harus memahami kondisi sekarang, dan bagaimana kelanjutannya pada masa depan.
Yang tak kalah menarik, Moeflich mengupas kristenisasi di Tatar Sunda. Para kaum misionaris begitu gigih mau mengkristenkan masyarakat Sunda sebab sampai saat ini kaum Nasrani di Sunda masih kurang dari 2 persen. Oleh karena itu, begitu gencar usaha para misionaris untuk mengobok-obok keyakinan orang Sunda, sedangkan orang Sunda sudah memiliki filosofi, “Sunda mah Islam, Islam mah Sunda.”
Adapun Asep menjabarkan masalah pengaruh kolonial terhadap bahasa Indonesia. Bangsa Belanda telah memperkaya kosakata bahasa Indonesia. [*]