Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.Â
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Melawan Provokasi Di Dunia Digital Dengan Bijak”. Webinar yang digelar pada Senin, 29 November 2021 di Kabupaten Pandeglang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.Â
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Yolanda Presiana Desi (Dosen Sekolah Tinggi Multi Media MMTC Yogyakarta, Japelidi), Diana Balienda (Founder DND Culinery), Rusdiyanta (Dosen Universitas Budi Luhur), dan Fransiska Desiana Setyaningsih (Dosen Unika Widya Mandira Kupang, Japelidi).
Yolanda Presiana membuka webinar dengan mengatakan, provokasi adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan, tindakan menghasut, penghasutan, dan pancingan.Â
“Hate speech di dalam UU ITE Pasal 28 ayat 2 menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA,” katanya.
Provokasi juga erat kaitannya dengan infomasi bohong (hoaks). Ciri-cirinya, yakni kalimat dimulai dengan judul yang heboh, berlebih-lebihan, provokatif, dan diakhiri dengan tanda seru. Huruf kapital digunakan secara serampangan dan kadang menggunakan warna mencolok. Kualitas foto dan grafis lainnya buruk. Isi tidak masuk akal.
Diana Balienda menambahkan, teknologi hadir untuk memudahkan kehidupan kita. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa kemajuan-kemajuan teknologi yang ada menciptakan tantangan baru bagi masyarakat digital.Â
Kita semua tahu bahwa munculnya teknologi sebetulnya didasarkan pada niat baik yang bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia, baik itu dalam beraktivitas sehari-hari maupun aktivitas lainnya.Â
“Sayangnya, bahwa kemajuan yang ada justru juga memiliki dampak negatif, yang menjadi sebuah tantangan baru yang dihadapi oleh kita semua sebagai masyarakat digital,” tuturnya. Salah satu dampak negatifnya adalah peredaran konten negatif.
Motivasi para penyebar konten negatif dilandasi kepentingan ekonomi (mencari uang), politik (menjatuhkan kelompok politik tertentu), mencari kambing hitam, dan memecah belah masyarakat (berkaitan SARA).Â
Berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Bertujuan membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah.Â
“Jadilah milenial yang bijak dalam menggunakan sosial media. Jadilah, pemutus konten negatif, sebarkan konten positif. Ingatlah, bahwa jejak digital mungkin saja tidak akan bisa dihapus, selamanya. Mari sampaikan dengan bijak, sopan, dan santun serta mengikuti etika sekaligus peraturan yang berlaku,” ungkapnya.
Rusdiyanta turut menjelaskan, kriteria konten provokasi yakni memancing emosi, menggiring opini, mengandung framing atau pembingkaian, menempatkan target pembaca, ada pihak yang didiskreditkan, ada ajakan untuk menyebarkan.Â
“Pemanfaatan teknologi digital yang tidak pada tempatnya justru menurunkan tingkat produktivitas. Munculnya kecenderungan sifat adiktif terhadap internet dapat menimbulkan gangguan fisik dan mental, berkurangnya batas-batas privasi dan infiltrasi budaya asing,” ungkapnya.
Sebagai pembicara terakhir, Fransiska Desiana mengatakan, dunia digital adalah dunia yang tanpa batas. Informasi mudah diperoleh, mudah pula disebarluaskan, termasuk yang sifatnya provokasi. Butuh tanggung jawab saat berinteraksi di dunia digital, agar tercipta keamanan bermedia digital.Â
“Biasakan membaca dengan teliti setiap informasi yang diterima atau yang akan dibagikan. Identifikasi sumber informasi, waktu dan tempat kejadian serta tautan link yang diperoleh. Jangan terpancing konten yang mengajak untuk menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian. Ambil waktu untuk melakukan detoks media sosial,” pesannya.
Dalam sesi KOL, Fahri Azmi mengatakan, dalam menangkal provokasi adalah jangan asal menyebarkan informasi tanpa tau kebenarannya, saring dulu sebelum sharing, dan dengan literasi digital ini juga kita banyak belajar dan banyak tahu tentang dunia digital.Â
“Kita harus menyikapi dan melawan konten- konten negatif. Jika kita tidak bisa melakukan hal itu kita bisa meminimalisasi dengan cara tidak menyebarluaskan konten-konten tersebut. Lebih baik kita mengembangkan skill dan pengetahuan untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik,” katanya.
Salah satu peserta bernama Kiki Wulandari menanyakan, langkah apa yang harus dilakukan agar generasi emas bangsa kita ini dapat cerdas bermedia digital dan sesuai dengan kecakapan digital?
“Kecakapan digital bukan sesuatu yang instan karena itu adalah berupa kompetensi yang harus dibiasakan. Faktor penting dalam hal ini adalah orang-orang sekitar. Untuk membentuk kecakapan digital adalah semua elemen yang kita lakukan harus berkolaborasi dan harus ada peran penting oleh orang-orang sekitar dan tentunya diri sendiri juga,” jawab Yolanda.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Pandeglang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]