Digital safety atau keamanan digital adalah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital dapat dilakukan secara aman dan nyaman. Khususnya di masa pandemi saat ini, hampir seluruh aktivitas sehari-hari berpindah ke ruang digital.
Dengan banyaknya bentuk kejahatan online yang terjadi, bahkan meningkat di masa pandemi ini, ada pernyataan “trust no one” di internet; jangan percaya siapa pun di internet karena kita tidak tahu pasti identitas asli atau kejalasan informasi yang kita terima. Dalam keamanan dunia digital, hal utama yang harus menjadi perhatian adalah perangkat digital yang kita gunakan karena memiliki beragam informasi penting dan kegunaan yang bermacam-macam. Bila tidak dijaga dengan benar, bisa sangat merugikan kita sendiri jika datanya bocor dan disalahgunakan pihak lain.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Memahami Perlindungan Data Pribadi”. Webinar yang digelar pada Kamis, 22 Juli 2021, ini diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Nurly Meilinda SIKom MIKom (Dosen Universitas Sriwijaya dan IAPA), Mathelda Christy Natalia T (Kaizen Room), Dra Labibah Zain MLIS (Presiden Asosiasi Perpustakaan Perguruan Tinggi Agama Islam/APPTIS), Xenia Angelica Wijayanto SH MSi (Head of Centre for Publication LSPR Institute dan Japelidi), dan Fadhil Achyari (2nd Runner Up The New L-Men of The Year) selaku narasumber.
Xenia Angelica Wijayanto menyampaikan, untuk melindungi kemanan digital kita, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, mengetahui akan jejak digital apa yang kita tinggalkan dan bentuk proteksi yang sudah kita miliki. Misalnya, kita wajib memahami dan mengetahui platform apa saja yang sudah kita bagikan data atau foto KTP kita. Lalu, kenali segala macam ancaman apa yang ada di luar sana yang dapat terjadi karena kebocoran data kita.
“Kedua, lakukan create dan collaboration dalam menciptakan konten-konten baik dan positif sehingga jejak digital yang tersisa hal-hal yang positif dengan menjadi diri kita sendiri dalam versi terbaiknya. Ingat juga untuk selalu perbarui password secara berkala, khususnya jika sudah tidak mengubahnya bertahun-tahun setelah membuat akun tersebut. Saling ingatkan ke orang terdekat atau circle sosial jika mem-posting data pribadi yang seharusnya privat. Kita harus bisa sebarkan akan pengetahuan ini ke khalayak umum, untuk bisa membantu banyak orang menjadi melek digital,” ujarnya.
Fadhil Achyari juga mengatakan, ia adalah ASN di salah satu kementrian dengan menjalankan sebuah kampanye untuk hidup sehat pada sosial medianya. Ia pun aktif di bidang literasi dengan menjadi founder Perpustakaan untuk Desa yang membantu anak-anak di beberapa provinsi untuk senang membaca. Ia juga tergabung dengan gerakan-gerakan sosial dan kemanusiaan.
Ia mengaku melihat banyaknya manfaat internet yang bebas dan mudah digunakan, seperti menerima informasi dengan instan dan up to date, dapat memperluas jaringan, membagikan hal-hal positif, dan lain sebagainya. Namun terdapat juga hal negatif seperti penyebarluasan hoaks dan hate speech.
“Kita sebagai pengguna harus stop menyebarluaskan hoaks, juga stop penyebarannya yang dapat dilakukan oleh orang-orang terdekat kita. Cobalah untuk menggantikan informasi tersebut dengan informasi kredibel atau bersikap lebih kritis dengan memberikan perbandingan dari sumber lainnya,” kata Fadhil.
Salah satu peserta bernama Luis Setya Budiawan berpendapat, freedom of speech adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara leluasa tanpa adanya sensor atau pembatasan, akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk menyebarkan kebencian. Bermedia sosial pun juga mempunyai etikanya.
“Terkadang sebuah kritik dianggap tidak pantas atau melanggar hukum (UU ITE) yang mana mungkin kritik tersebut bermaksud baik untuk dan mungkin mewakili kritikan orang lain. Bagaimana kita mendapatkan pakem-pakem atau syarat agar kritik kita terhadap pemerintah tidak melanggar (UU ITE) dan etika bermedia sosial?” tanya Luis.
Mathelda Christy Natalia menjawabnya. UU ITE yang dikenal dengan pasal karet memang sering meresahkan. Bagi kaum libertarian, mereka setuju bahwa pasal ini sangat mencekal hak kebebasan ekspresi. Kita tidak bisa menyamakan kebebasan ekspresi kita dengan negara lain. Pakem-pakem atau batasannya adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat kita.
“Penggunaan kata-kata tertentu yang memicu reaksi emosional yang sering menjadi permasalahan dan berbuntut panjang, seperti bersikap ‘julid’ atau ‘nyinyir’. Kuncinya adalah hindari menjadi emosional ketika berinteraksi di ranah digital,” ungkapny.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]