Kesehatan lingkungan adalah faktor kunci untuk menjamin kondisi yang sehat dari setiap manusia. Sayangnya, sebagian masyarakat masih abai akan penciptaan kondisi lingkungan yang sehat. Salah satu indikatornya, sanitasi yang buruk.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menempati pering­kat ketiga negara dengan sanitasi terburuk atau tidak layak pada 2017, setelah India dan China. Pada tahun tersebut, tercatat sekitar 32 persen rumah tangga di Indonesia belum memiliki sanitasi yang layak.

Perbaikan kualitas sanitasi mesti dilakukan secepatnya, apalagi dalam target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, setiap negara diharapkan telah mampu mewujudkan 100 persen akses sanitasi bagi penduduknya. Indonesia sendiri menetapkan pencapaian target pada 2024 ada 90 persen akses layak air limbah, termasuk 20 persen akses aman dan pada 2030 mencapai 100 persen akses layak, termasuk 53,7 persen akses aman.

Salah satu isu sanitasi yang mengemuka di Indonesia adalah buang air besar sembarangan (BABS). Seperti dilansir Unicef, hampir 25 juta orang di Indonesia tidak menggunakan toilet. Mereka buang air besar di ruang terbuka, seperti sungai, parit, jalan, semak, hutan, atau ladang. Tentu ini berisiko besar bagi kesehatan. BABS dan air limbah yang tidak diolah dapat mencemari pasokan air dan mempertinggi risiko penyebaran penyakit, seperti diare dan kolera.

Pada balita, buruknya kualitas kesehatan lingkungan juga memicu masalah serius seperti gagal tumbuh atau stunting, yang prevalensinya mencapai 30 persen di Indonesia. Kondisi lingkungan yang tidak layak huni ini menjadikan masyarakat rentan sakit dan dalam jangka panjang akan memproduksi sumber daya manusia (SDM) yang lemah.

Inovasi tata kelola

Merespons kondisi tersebut, salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kualitas kesehatan lingkungan adalah dengan melakukan tata kelola infrastruktur sanitasi, khususnya limbah domestik. Keberadaan infrastruktur sanitasi memang menjadi problem utama dalam penciptaan lingkungan yang sehat, selain keterbatasan pemahaman masyarakat. Lantaran banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) hidup di lingkungan yang sanitasinya buruk, mereka belum menikmati akses prasarana dan sarana sanitasi layak.

Untuk memperbaiki situasi tersebut, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencanangkan program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) untuk memberikan akses sanitasi yang layak bagi masyarakat. Program ini dibiayai pinjaman dari Islamic Development Bank (IsDB), dan karenanya program ini diberi tajuk Sanimas IsDB. Terkait target SDGs, Sanimas IsDB dirancang dan dilaksanakan secara masif pada 2014–2020.

Sanimas IsDB menjadi salah satu solusi untuk menangani limbah rumah tangga, khususnya tinja manusia. Dalam pembangunan fasilitas Sanimas, diterapkan konsep pemberdayaan masyarakat untuk menjadikan masyarakat aktor utama dalam proses perencanaan, pembangunan, operasional, dan pemeliharaan fasilitas sanitasi komunal. Dengan begitu, fasilitas yang dibangun dapat memberikan manfaat berkelanjutan.

Dalam program ini, dibangunlah Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALD-T) yang terdiri dari sub-sistem pelayanan berupa bak kontrol dan bak perangkap lemak pada masing-masing sambungan rumah, sub-sistem pengumpulan berupa jaringan pipa induk dan manhole, dan sub-sistem pengolahan berupa bangunan IPAL. Setidaknya pada setiap bangunan IPAL terdapat sekitar 50–80 sambungan rumah (SR). Rumah tangga tidak memerlukan lagi tangki septik karena seluruh limbah rumah tangga dari dapur dan kamar mandi dialirkan melalui pipa yang dibangun khusus menuju bangunan IPAL.

Ciptakan lingkungan sehat

Program Sanimas IsDB memang telah membawa banyak perubahan di daerah-daerah. Sejumlah studi telah dilakukan terkait pengaruh Sanimas terhadap kesehatan lingkungan menemukan dampak positif program Sanimas terhadap kesehatan lingkungan dan masyarakat.

Berdasarkan riset Leonardo Rio Wibowo dari Universitas Diponegoro pada 2014, di Kelurahan Pamijen, Jawa Tengah, dalam kurun tiga tahun terdapat penurunan kasus orang yang sakit akibat sistem sanitasi. Kualitas air tanah juga membaik. Tingkat keberhasilan program Sanimas juga dapat dilihat peningkatan sebesar 99 persen orang yang menggunakan WC pribadi di Pamijen, dari yang sebelumnya BABS. Selain itu, setelah diproses di IPAL, limbah juga bisa digunakan untuk menyiram tanaman hias.

Di Asrama Polisi Talang Banjar, Jambi, kehadiran Sanimas IsDB memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam membangun lingkungan bersih dan sehat. SPALD-T Sanimas IsDB ini dimanfaatkan oleh 228 jiwa (67 KK). IPAL yang dibangun di atas lahan fasilitas umum juga dimanfaatkan sebagai ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) dan menjadi sarana bersosialisasi masyarakat setempat.

Perubahan positif juga dirasakan di Kelurahan Bajak, Bengkulu. Sejak dibangunnya SPALD-T pada 2017, lingkungan yang tidak sehat dengan bau tak sedap karena bercampurnya limbah di drainase tak lagi ditemui. Lokasi seluas 150 meter persegi yang sebelumnya berupa lahan tidur, bahkan menjadi tempat pembuangan sampah secara ilegal, dijadikan tempat membangun SPALD-T.

FOTO-FOTO: DOK. KEMENTERIAN PUPR

Animo warga untuk turut menikmati program Sanimas IsDB pun begitu tinggi. Sambungan rumah yang pada awal program direncanakan mencakup 63 KK berkembang mencapai 96 sambungan setelah pengoperasian IPAL berlangsung 3 bulan. Dampaknya dirasakan 289 jiwa. Lokasi IPAL kini juga menjadi tempat bermain anak.

SDM yang berkualitas memang bermula dari SDM yang sehat. Untuk itu, upaya-upaya meningkatkan lingkungan yang bersih dan sehat harus terus digencarkan.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Desember 2019.