Pada 5 September 2019, genap sudah satu tahun kepemimpinan Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, mengatakan inilah tahun peletakan fondasi untuk perubahan. Sejumlah progres ke arah positif sudah tampak nyata.
Visi “terwujudnya Jawa Barat juara lahir batin dengan inovasi dan kolaborasi” diusung Kang Emil dan Uu dalam masa pemerintahan mereka. Visi itu lantas dijabarkan ke dalam lima misi, yang poin-poinnya adalah melahirkan manusia yang bertakwa; berbudaya, berkualitas, bahagia, dan produktif; mempercepat pertumbuhan dan pemerataan pembangunan yang berkelanjutan; meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi; serta mewujudkan tata kelola pemerintahan yang inovatif.
Program-program yang dirancang mendukung visi dan misi tersebut. Berikut ini hasil wawancara koran ini dengan Kang Emil terkait satu tahun pemerintahannya.
Dalam satu tahun pemerintahan ini, persoalan apa saja yang menjadi fokus perhatian Kang Emil?
Masalah Jawa Barat, kan, nomor satu ketimpangan ekonomi desa dan kota. Jadi, ada program-program di desa sebagai kebanggaan kami selama satu tahun, kemudian investasi, penguatan infrastruktur transportasi, dan penguatan reformasi birokrasi.
Terkait fokus Pemprov Jabar untuk desa, program apa saja yang dijalankan untuk membuat desa-desa di Jabar lebih berdaya?
Sekarang ini ada tiga problem krusial desa di Jawa Barat. Pertama, ketimpangan angka kemiskinan dan digitalisasi pedesaan dengan perkotaan tinggi. Kemudian, Indeks Desa Membangun di Jawa Barat masih rendah. Dari 5.312 desa, hanya 37 desa yang berstatus desa mandiri pada 2018. Selain itu, sistem keuangan desa belum maksimal.
Berangkat dari tiga problem tersebut, Pemprov Jabar melahirkan inovasi bernama Desa Juara yang memiliki tiga pilar, yaitu digitalisasi layanan desa, One Village One Company (OVOC), dan Gerakan Membangun Desa (Gerbang Desa). Dari tiga pilar inovasi tersebut ada turunan bermacam-macam program untuk desa.
Untuk digitalisasi desa, misalnya, sekarang, sudah ada 600 wi-fi terpasang di desa-desa yang susah mengakses koneksi internet. Di sektor perikanan, lebih dari seribu kolam menggunakan teknologi smart auto feeder untuk memberi pakan ikan dengan gawai. Ada program OVOC, yang membuat 500-an BUMDes aktif kembali dan ratusan Bumdes baru terbentuk. Ada juga program keagamaan Satu Desa Satu Hafidz, juga program One Pesantren One Product (OPOP) untuk membangkitkan ekonomi umat. Ada mobile puskesmas, juga Jabar Quick Response yang merespons keluhan terkait masalah kemanusiaan.
Nah, semua itu menggempur ketimpangan tadi. Alhamdulillah kemiskinan turun dari 7,45 persen menjadi 6,91 persen per bulan ini. Kemudian desa-desa yang statusnya dulu sangat tertinggal sekarang sudah tidak ada. Desa berkembang yang naik statusnya ke desa maju ada 500-an. Desa maju ke desa mandiri 70-an. Jadi, dalam setahun tanpa kami duga, sekarang status desa semua akseleratif ke status yang lebih tinggi. Itu bukti statistik bahwa desa-desa di Jawa Barat sedang mengalami percepatan pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi Jabar kini juga cukup tinggi. Mengapa dan bagaimana strategi ke depan untuk meningkatkan ini?
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat saat ini 5,68 persen. Kenapa? Karena Jawa Barat adalah destinasi investasi nomor 1, dengan nilai tahun ini Rp 116 triliun. Yang berikutnya baru Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah. Kita ranking satu karena infrastruktur relatif paling baik. Paling dekat dengan Tanjung Priok, ditambah lagi Pelabuhan Patimban, Bandara Kertajati, penambahan jalan tol, juga paling dekat ke Jakarta. Ekspor manufaktur juga 40 persen dari Jawa Barat.
Salah satu cara untuk mengundang negara-negara maju aktif berinvestasi adalah memudahkan perizinan. Kami akan terus berinovasi, misalnya dengan one single submission (OSS). Berita baiknya lagi, pajak-pajak akan dibebaskan sampai dengan 200 persen bagi perusahaan yang mau mengembangkan vokasi atau kejuruan. Sebagai pemerintah saya harus juga proaktif. Kalau ke luar negeri, saya selalu sambil melakukan marketing. Itu cara saya, bahwa pada hari ini, investasi itu harus dijemput, tidak bisa ditunggu.
Bagaimana Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sedang dirancang bisa mendukung investasi dan pertumbuhan ekonomi?
Sekarang Jawa Barat belum punya KEK. Begini, tanpa KEK sekarang ekonomi kita tumbuh 5,68 persen, kalau ada KEK Rebana itu (berada di antara Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Pelabuhan Patimban, dan Cirebon), sekitar 3,4 juta pekerjaan akan hadir dan di 2030 pertumbuhan ekonomi bisa lompat sampai ke 9 persen. Tanpa KEK, 2030 kita maksimal 6–6,5 persen. Dan, di KEK ini, kami akan fokus terutama pada bidang manufaktur teknologi tinggi. Kalau yang padat karya seperti tekstil nanti kita arahkan ke daerah-daerah yang pertumbuhan ekonominya belum besar dan upahnya masih relatif terjangkau.
Terkait infrastruktur transportasi, bagaimana perbaikan dilakukan?
Dalam satu tahun ini, kita mengembalikan semangat masyarakat untuk kembali ke transportasi publik. Maka, dalam setahun ini, empat jalur kereta kita kembangkan lagi. Pangandaran sudah, tetapi baru sampai Banjar. Garut kemungkinan selesai pada Desember ini, besok bisa Jakarta–Garut langsung. Sumedang sedang dalam proses pembebasan lahan. Dan, ada juga ke Ciwidey.
Kemudian, sebagian penerbangan juga sudah dipindahkan ke Kertajati meski masih belum maksimal karena Tol Cisumdawu baru setengah jalan. Sekarang, masih perlu 3 jam dari Bandung ke bandara, besok kalau sudah beres hanya 45 menit.
Kita juga mendengar tentang pemerintahan dinamis dan reformasi birokrasi yang dilakukan Pemprov Jabar. Apa hasil konkretnya?
Saya ini orang profesional, lebih cenderung ke teknokratik politikus. Maka, saya ini sangat objektif. Saya ingin mesin Jabar Juara ini onderdilnya barang-barang ori, bukan KW. Dalam perjalanan menyeleksi orang-orang, memang kompetensinya yang dilihat.
Bentuk reformasi birokrasi, misalnya, Jawa Barat sekarang sudah e-budgeting. Jadi, semua sudah dalam sistem yang sangat ketat. Sekarang, kita menerapkan birokrasi 3.0, yang mengajak masyarakat berkolaborasi untuk menjadi pelaku pembangunan. Jadi, pembangunan Jabar bukan domain birokrasi saja. Kalau ada perusahaan yang mau mengambil suatu sponsorship untuk satu program, itu yang kami siapkan. Ditambah lagi kelebihan kami, APBD 2019 Pemprov Jabar mendapat penghargaan sebagai APBD paling futuristis dari Kemendagri. Karena kami bisa memberikan bantuan ke daerah-daerah yang nyata. Wujud lainnya misalnya membangun Alun-alun Majalengka, Alun-alun Cirebon, juga perbaikan Pangandaran. Saya lakukan perubahan-perubahan manajemen anggaran sehingga masyarakat bisa merasakan perubahan.
Kami juga melahirkan inovasi-inovasi birokrasi yang melayani. Negara yang datang ke masyarakat, bukan masyarakat yang datang ke negara. Maka, ada program Layad Rawat yang dokter datang untuk melayani. Ada juga mobile puskesmas.
Untuk tahun-tahun berikutnya, bagaimana rencana untuk perbaikan di Jabar?
Tahun ini adalah tahun meletakkan fondasi ya, termasuk meletakkan konsep baru, kolaborasi, dan inovasi. Nanti tahun kedua tahun akselerasi. Semua yang sudah diluncurkan itu dibuat akselerasinya. Biasanya dari pengalaman saya, tahun ketiga adalah tahun panen. Gagasan-gagasan menghasilkan hal-hal positif. Setahun ini saja, sudah 49 penghargaan yang kami terima dari dalam dan luar negeri, menandakan terjadi perubahan yang signifikan sehingga diberi apresiasi. Saya mensyukuri Tuhan menakdirkan saya jadi pemimpin. Ternyata bayarannya adalah kebahagiaan melihat warga yang hidupnya berubah. [Pewawancara: Fellycia Novka & Tyas Ing Kalbu]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 9 September 2019.