Para pakar dan analis telah memperingatkan soal kemungkinan resesi yang diperkirakan terjadi pada 2023. Meskipun ada indikasi bahwa resesi akan terjadi, namun khusus kawasan Asia, termasuk Indonesia, diperkirakan akan tetap kuat di tengah prospek yang kurang baik.

Berbagai faktor sosial ekonomi, khususnya konflik Rusia-Ukraina dan gangguan rantai pasok, mempengaruhi situasi global, terutama memicu terjadinya inflasi. Rintangan rantai pasok yang disebabkan oleh pandemi dan konflik politik telah menyebabkan kenaikan drastis dalam tarif kargo dan harga komoditas. Namun, harga-harga ini telah menurun signifikan menyusul penurunan permintaan konsumen dalam jumlah besar.

Akan tetapi, inflasi hanya akan turun kembali secara perlahan dengan harga-harga yang masih relatif lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Dengan begitu, jika melihat lanskap ekonomi, pemulihan kebijakan moneter diperkirakan tidak akan kembali dengan cepat sebelum 2024, lantaran bank-bank sentral mencoba menghindari pemicu inflasi dan berupaya untuk berkompromi dengan target yang ditetapkan dalam jangka panjang.

Di tingkat global, perekonomian diperkirakan akan menghadapi penurunan untuk dua kuartal pertama di tahun mendatang. Namun, ada sisi positif dari kondisi ini, karena resesi diperkirakan akan lebih landai untuk hampir di setiap level perekonomian jika dibandingkan dengan resesi sebelumnya yang tercatat dalam sejarah.

Meskipun ada potensi perubahan ke arah yang lebih baik pada paruh kedua tahun ini, hasil industri produksi yang diekspor Asia diperkirakan akan mengalami penurunan penuh pada 2023. Korea dan Taiwan diperkirakan akan mengalami penurunan tajam dalam pertumbuhan nilai ekspor barang dagangan sebesar 40 persen, dibanding negara-negara ASEAN yang mengalami situasi sedikit lebih baik dengan penurunan hanya sebesar 20 persen.

Perekonomian negara-negara maju (misalnya Singapura, Korea, Selandia Baru, Australia, dan Taiwan) mengalami penurunan produksi manufaktur, sementara Indonesia bersama negara-negara berkembang di Asia unggul dalam hal produksi manufaktur. Hal ini sebagian disebabkan oleh penundaan pembukaan perbatasan wilayah yang berkontribusi pada peningkatan pesanan dalam negeri, yang mengarah ke peningkatan permintaan di atas rata-rata. Namun, hal ini kemungkinan tidak akan bertahan lama mengingat penerapan pembatasan yang dilonggarkan dan pembukaan kembali perbatasan wilayah. Secara garis besar, penurunan produksi manufaktur di negara-negara maju pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan produksi Asia.

Sementara itu, Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan PDB di tahun 2023 sebesar 3,6 persen. Walaupun kini pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,72 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal III 2022, tetapi ke depannya dengan situasi global dan juga ancaman terjadinya resesi, Indonesia diprediksi akan mengalami penurunan pada kinerja perekonomian nasional.

Meski begitu, situasi ini akan perlahan membaik dengan proyeksi bertambahnya permintaan masyarakat Indonesia terhadap hasil produksi manufaktur dalam negeri. Meningkatnya permintaan domestik Indonesia ini diperkirakan mampu memberikan kontribusi sebesar 6 persen terhadap pertumbuhan PDB Indonesia di tahun 2023. Hal ini dapat menjadi penghalau dalam menekan ancaman resesi yang akan datang.

 

Pemulihan pariwisata Asia berlanjut, tetapi perlahan

Salah satu pilar utama pertumbuhan, yaitu pariwisata, telah diperkirakan akan kembali bangkit di masa transisi endemi. Sejak 2019, Asia Pasifik telah mengalami penurunan tajam dalam jumlah turis internasional.

Namun, sejak memasuki masa pemulihan, wilayah Asia Pasifik diprediksi hanya akan mengalami penurunan di bawah 20 persen pada 2024, jika dibandingkan dengan jumlah pendatang pada tahun 2019 sebelum pandemi terjadi. Meski begitu, pertumbuhan pariwisata diperkirakan akan mengalami penurunan pada 2023, tidak seperti peningkatan besar yang terlihat pada 2021 dan 2022 ketika perbatasan wilayah pertama kali dibuka kembali. Hal ini mengindikasikan berlanjutnya pemulihan sektor pariwisata Asia, tetapi dengan laju yang lebih perlahan.

 

Prospek jangka panjang tetap positif

Strategi plus one China, yang melibatkan diversifikasi investasi bisnis dan ekosistem rantai pasok, telah terbukti penting bagi pertumbuhan ekonomi ASEAN. Jika diposisikan dengan baik dalam diversifikasi ekonomi, seperti contohnya di Malaysia, kini berada di posisi yang tepat untuk menerapkan sistem rantai pasok bernilai menengah hingga tinggi, sementara Indonesia juga ingin mengejar ketinggalan secara agresif. Selain itu, negara-negara seperti Vietnam tetap menjadi sumber terpenting dari manufaktur dan produksi padat karya.

Dengan kondisi ini, ASEAN diperkirakan masih akan dapat mengalami pertumbuhan yang menjanjikan di tahun-tahun mendatang.

“Perekonomian global menghadapi tantangan baru, sebagian disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina, tetapi juga ada perubahan dalam lanskap ekonomi, sosial dan politik yang lebih luas. Di saat aktivitas ekonomi meningkat dengan banyaknya bisnis yang menyesuaikan diri dengan cara kerja baru dan mendapatkan keuntungan dari permintaan pelanggan yang sempat terhambat, sekarang kita dapat melihat bahwa biaya energi dan biaya input yang melonjak, inflasi yang tinggi, dan kepercayaan konsumen yang lemah diprediksi akan mengarah pada resesi global. Lembaga dan anggota kami akan berada di garis depan saat kami berupaya membantu jalannya bisnis dan ekonomi melalui masa-masa sulit ini, sama seperti yang kami lakukan selama pandemi Covid,” ungkap Julia Penny, Presiden ICAEW saat gelaran ICAEW Economic Insight Forum Q4 2022 (1/12/2022).

Pada acara tersebut, hasil temuan dari Economic Forecast dipresentasikan oleh Priyanka Kishore Head of India & South-East Asia Macro Services di Oxford Economics. Bersama Julia hadir juga para panelis lain, yaitu Risk Assurance Partner PwC Malaysia Nik Shahrizal, Head of Financial Services ICAEW Reuben Wales, dan Senior Economist di World Bank Group Wael Mansour. Keempatnya bergabung dalam diskusi mendalam tentang proyeksi hijau.

Ringkasan temuan lain dari Economic Insight Forum Q4 antara lain salah satunya, pelonggaran pembatasan wilayah di China akan memberikan dampak yang minim. Meskipun adanya ketidakpastian dari situasi pembatasan wilayah dan tindakan ekstrem untuk menekan tingkat infeksi di China, akan tetapi China masih diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian kawasan setelah mengalami peningkatan yang stabil dalam Personal Consumption Expenditure (PCE) dari sejak puncak pandemi berlangsung.

Selain itu, forum juga memprediksi, perlambatan pertumbuhan yang signifikan akan terjadi pada 2023. Di semua negara Asia, pertumbuhan PDB telah melambat secara signifikan. Di antara negara-negara ini, Singapura menonjol dengan proyeksi pertumbuhan paling lambat sebesar 0,7 persen. Selain itu, Singapura adalah satu-satunya negara yang mengalami penurunan pada tren pertumbuhan selama tiga tahun terakhir sejak 2021.