Sepertinya tidak ada yang bisa menyangkal jika dikatakan bahwa Indonesia merupakan adidaya dalam bidang kebudayaan. Dengan kekayaan budaya yang berlimpah-limpah itu, bisa diasumsikan negeri ini juga dipenuhi oleh festival kebudayaan.

Hal berikutnya yang perlu dicermati, apakah sesung­guh­nya substansi dari kekayaan itu? Apakah kekayaan budaya itu dikelola dengan baik? Menyangkut festival, apakah pelaksanaan kegiatannya berkualitas?

Pasca-pengesahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud), sebagai lembaga penyelenggara perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan, menggulirkan sejumlah inisiatif dalam rangka mewujudkan amanat Undang-undang tersebut. Salah satunya, Platform Indonesiana.

UU No 5/2017 menempatkan posisi pemerintah sebagai fasilitator. Dengan kata lain, dalam kacamata undang-undang tersebut, kebudayaan merupakan entitas yang dinamikanya bergantung pada inisiatif warga. Kebudayaan adalah milik warga. Pemerintah sebagai penyelenggara negara, berkedudukan sebagai fasilitator yang memungkinkan kebudayaan milik warga tersebut bisa berkembang dengan baik. Secara sederhana, fokus pemerintah sejatinya pada tata kelola dan bukan pada substansi kebudayaan itu sendiri.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sri Hartini membuka Temu Ageng yang mempertemukan komunitas Sedulur Sikep dari berbagai daerah yang terjadi untuk pertama kalinya setelah lebih dari 100 tahun sejak Samin Surosentiko meninggal. Temu Ageng adalah puncak dari Festival Cerita dari Blora yang didukung oleh Platform Indonesiana.

Demikian pula dalam hal penyelenggaraan festival kebudayaan. Apakah festival-festival yang diselenggarakan telah cukup mampu merepresentasikan kekayaan budaya kita? Apakah kegiatannya terkelola dengan baik? Merujuk pada UU Pemajuan Kebudayaan, pertanyaan yang mendasar adalah apakah pelaksanaan festival telah memosisikan pemerintah dan warga pada tempatnya?

Seturut pemaparan Dirjen Kebudayaan Kemdikbud RI pada 3 Desember 2019, saat pembukaan Forum Diskusi Terpumpun Implementasi Platform Indonesiana 2020, pada dasarnya platform adalah “landasan kerja sama”. Pada platform ini, dibedakan antara “penyelenggara”dan “pelaksana”.

Penyelenggara adalah pihak pemerintah daerah sebagai penanggung jawab dari kebijakan pemajuan kebudayaan di wilayah kewenangannya. Pelaksana adalah unsur warga (juga swasta) yang dianggap mewakili para pemangku kepentingan di bidang kebudayaan. Dengan demikian, Platform Indonesiana adalah model kemitraan antara pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat (yang direpresentasikan oleh inisiatif Kemdikbud) dan pemerintah daerah (yang direpresentasikan oleh pihak dinas bernomenklatur kebudayaan), beserta warga (yang diamanati menjadi pelaksana kegiatan budaya).

Tujuan Indonesiana adalah membantu tata kelola kegiatan yang berkelanjutan, berjejaring, dan berkembang. Secara lebih luas, Platform Indonesiana menawarkan model perancangan kegiatan (festival) yang berorientasi pada penguatan ekosistem kebudayaan. Orientasi ini, dalam jangka panjang dapat menjadi peluang pemanfaatan (misalnya dampak berupa kohesi sosial); sambil memperkuat basis pelindungan dan pengembangan (kebudayaan).

Nilai-nilai yang dijadikan pilar Platform Indonesiana: gotong-royong. Pilar ini menegaskan, upaya untuk memajukan kebudayaan yang menguatkan hubungan sosial, perlu dilandasi sikap kerja sama. Pihak-pihak yang bekerja sama dalam platform ini sebaiknya memenuhi unsur pemerintah, warga, dan swasta.

Partisipatif: pemajuan kebudayaan dilakukan dengan cara yang memungkinkan pelibatan ragam pemangku kepentingan, secara langsung maupun tidak langsung—sebagaimana tertuang dalam UU No 5/2017 pasal 3 huruf E tentang asas partisipatif. Penguatan lokal: Platform Indonesiana mendukung upaya pemajuan kebudayaan yang memusatkan perhatian pada karakteristik sumber daya, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.

Keragaman: kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam membutuhkan ruang yang leluasa agar setiap entitas kebudayaannya tumbuh kembang dengan baik. Ketersambungan: Platform Indonesiana berupaya untuk merangkul para pemangku kepentingan budaya untuk bekerja sama memadu keberagaman itu, dan menjadikan satuan budaya yang dijadikan fokus kegiatan agar menjadi sumber keunikan dari masing-masing festival.

Platform Indonesiana dirintis pada 2017, dimulai dengan perumusan awal dan penjajakan kerja sama melalui survei ke daerah-daerah yang dianggap potensial menjadi penyelenggara festival. Pada pelaksanaan pertama 2018, terlaksana 9 festival, di 11 kawasan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sebagai gambaran, data yang terkumpul dari pelaksanaan festival-festival 2018, yakni 110 program acara; 13 Set Data Potensi Objek Pemajuan Kebudayaan; 9.300 penampil dari seluruh Indonesia; 350 penampil mancanegara; 360 pewarta lokal; 240 orang tim kurator dan pelaksana kegiatan; 92.000 penonton. Pelaksanaan festival terentang Juli–November 2018. Pada 2019, terangkum 17 festival di 18 wilayah seluruh Indonesia. Pelaksanaannya terentang Juni–November 2019.

Kini, Platform Indonesiana sudah memasuki implementasi tahun ke-3, periode 2020, yang dimulai dengan berhimpun bersama daerah-daerah peminat dari seluruh Indonesia, dalam sebuah forum diskusi terpumpun di Jakarta, 3–5 Desember 2019. Harapan dari Platform Indonesiana, kegiatan kebudayaan menjadi ajang merayakan kekayaan dan keunikan kebudayaan kita. Harapan ini bisa terwujud jika platformnya memungkinkan keterlibatan ragam pihak pemangku kepentingan dalam hubungan yang sinergis.

Seberapa mampu sebuah festival mewujudkan ideal ini? Butuh waktu untuk menjawabnya. [*]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 09 Desember 2019.