McKinsey Global Institute dalam The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential, memproyeksikan Indonesia akan menjadi perekonomian terbesar ketujuh di dunia pada 2030. Ekonomi syariah, khususnya keuangan syariah, diyakini mampu berperan serta mewujudkan itu.

Saat ini, kecenderungan untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih merefleksikan nilai Islam cukup kuat di masyarakat. Hal ini sejalan juga dengan pertumbuhan populasi Muslim dunia yang terus meningkat. Tak heran, muncul keinginan untuk bisa mewujudkan ekonomi syariah lebih meluas.

Salah satu yang jelas terlihat dengan mulai banyaknya praktik keuangan syariah yang tumbuh melalui perbankan dan lembaga keuangan syariah. Harapan pun bertumbuh bagaimana keuangan syariah dapat membantu negara dalam pembangunan yang pada akhirnya mampu menjadi solusi atas segala permasalahan sosial di masyarakat.

Pemerintah pun sebenarnya sudah mengimplementasikan hal yang berkaitan dengan keuangan syariah, utamanya dalam pembangunan dengan menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau biasa disebut sukuk.

Pada awal penciptaan sukuk, jika dilihat dalam konteks perpajakan, dianggap sebagai disadvantage karena terkena double taxation. Hasilnya, sukuk tidak menarik dan tidak mampu berkompetisi dengan Surat Berharga Negara (SBN) konvensional. Oleh karena itu, perlahan pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merapikan aset, mempersiapkan legislasi, hingga mendiversifikasikan surat berharga itu sehingga mampu bersaing.

Sekarang, sejak UU tentang SBSN keluar pada 2008, Indonesia telah menjadi penerbit sukuk terbesar di dunia. Sukuk membantu menyediakan instrumen investasi keuangan syariah bagi banyak investor yang memang berorientasi syariah dapat masuk dan pasar modal menjadi lebih bergairah.

“Pada akhirnya, masyarakat investor memiliki pilihan instrumen yang sama efisiennya dan menarik seperti produk konvensional. Karena pada dasarnya, masyarakat memilih instrumen keuangan yang mampu memenuhi kebutuhannya berdasarkan kecepatan, efisiensi, reliabilitas, risiko, dan kenyamanan,” ujar Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta, Senin (18/11/2019).

Menteri Keuangan menjadi pembicara di 14th IFSB Summit, dalam rangkaian acara ISEF, Jakarta.(FOTO-FOTO dok KNKS & IKLAN KOMPAS/IWAN ANDRYANTO).

Saat ini, pemerintah mengklaim bahwa SBSN dan SBN sudah bersaing secara kompetitif. Pemerintah sudah mampu mendudukkan keduanya sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jika memilih syariah nanti akan menanggung risiko lebih besar, tidak likuid, dan tidak kompatibel.

Sri Mulyani mengungkapkan, dari total sekitar 123 ribu investor SBSN, 50 persennya dimiliki oleh kalangan milenial walaupun dari sisi financing-nya hanya berkontribusi 20–30 persen dana yang terhimpun. Artinya, pemerintah berjalan sesuai dengan targetnya untuk membesarkan basis investornya.

Tingginya minat pembeli SBSN sebenarnya juga karena kepiawaian negara untuk berinovasi. Beberapa inovasinya, yaitu menerbitkan green sukuk yang membuat Indonesia menjadi negara pertama di dunia dalam hal ini. Selain itu, SBSN dikaitkan dengan proyek pembangunan untuk pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Dana pembelian SBSN itu kemudian dimanfaatkan untuk pembangunan proyek pemerintah namun disesuaikan dengan peruntukan sesuai nilai syariah. Saat ini, permintaan terbesar datang dari kementerian/lembaga guna pembangunan kampus-kampus untuk universitas Islam. Terkait dengan green sukuk, pemerintah juga menyeleksi proyek agar ramah lingkungan, seperti pengadaan transportasi massal, pembangunan pembangkit ramah lingkungan, dan lainnya.

“Dengan cara ini, investor merasa triple good. Mereka merasa bisa ikut serta membangun negara, hidup dengan syariat Islam, dan peduli dengan lingkungan,” ujarnya.

Ikut mengentaskan rakyat dari kemiskinan

Setelah melihat SBSN sebagai salah satu instrumen negara yang bisa dimanfaatkan sebagai alat pencapaian SDGs, tentu saja harapan untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat muncul. Ada keinginan bagaimana sistem syariah juga diterapkan dalam APBN sebagai bagian dari program pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Dalam APBN 2020, pemerintah merencanakan adanya anggaran perlindungan sosial dan pengentasan rakyat dari kemiskinan sebesar Rp 372,5 triliun. Adapun APBN 2020 bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah, miskin, dan rentan miskin.

Namun, penerapan syariah dalam pengelolaan APBN tidak bisa top down unified approach. Sri Mulyani menekankan pada heterogenitas yang dianut oleh Indonesia. APBN harus bisa merawat keberagaman, tetapi juga memberikan ruang berkembangnya aspirasi masyarakat.

Saat ini, yang paling terlihat jelas dalam penerapan syariah dalam APBN ada di sektor pembiayaan. Pemihakan pemerintah untuk umat Islam sudah terlihat jelas. Dari total penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), mayoritasnya adalah Muslim. Negara pun memungkinkan jika bantuan itu ditransfer melalui bank syariah. Begitu juga dari belanja infrastruktur, pengadaan dana Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Prakerja. Mayoritas Muslim-lah yang mendapatkan keuntungan terbesar.

“Yang saya bisa katakan, APBN adalah instrumen negara, jadi tidak boleh menyegregasikan. Sebab, kalau kita menuju negara yang lebih segregasi, bisa backfire dari sisi sosial politik dan lainnya. Tetapi, kita juga memberikan ruang untuk aspirasi gaya hidup masyarakat berdasarkan agama yang diakui oleh negara,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah memperhatikan jaminan sosial masyarakat untuk mendukung masyarakat Indonesia. Konsep BPJS pun pada dasarnya berkonsep syariah, tetapi kekurangannya penempatan aset di instrumen syariah masih kecil. Saat ini, Kemenkeu sudah mengusulkan dalam revisi PP Pengelola Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan agar adanya opsi penempatan investasi di instrumen syariah. Oleh karena itu, nasabah bisa memilih agar uangnya bisa ditempatkan di instrumen syariah.

Pemberian akses keuangan, terutama syariah juga menjadi penting di kalangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kemenkeu pun sudah meluncurkan beberapa inisiatif, salah satunya dengan KUR dan pembiayaan ultra-mikro. Inisiatif ini untuk memutus rantai rentenir di level terbawah. Pemberian KUR dan pembiayaan ultra-mikro pun bisa dilayani oleh bank syariah, selain bank konvensional, bagi mereka yang menginginkan pembiayaan dengan asas syariah.

“Level ultra-mikro menjadi target para rentenir. Para rentenir itulah riba yang sebenarnya. Mereka mengeksploitasi posisi lemah masyarakat bawah. Oleh karena itu, kita berikan KUR dan pembiayaan ultramikro. Negara hadir untuk memotong rantai rentenir itu,” pungkasnya.

Industri Halal yang Menjanjikan

Sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pemain utama industri halal dunia. Inilah yang terus didorong pemerintah.

Industri halal telah menjadi potensi ekonomi yang sangat besar. Laporan Pew Research Center Forum on Religion & Public Life 2017 menyebutkan, pertumbuhan penduduk Muslim dunia sangat pesat dalam 20 tahun mendatang. Diperkirakan pada 2030, jumlah Muslim dunia mencapai 2,2 miliar jiwa. Indonesia saat ini memiliki 209,1 juta Muslim atau 13,1 persen dari seluruh Muslim di dunia.

Dengan jumlah itu, Indonesia berpotensi menjadi pemain utama industri halal dunia. Sayangnya, peran itu justru dimainkan oleh Malaysia, bahkan negara non-Muslim, seperti Australia dan Brasil. Padahal, industri halal bisa membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Industri halal yang sangat potensial di Indonesia adalah makanan dan minuman. Jumlah Muslim terbesar di dunia membuat konsumsi makanan halal juga besar. Pada tahun 2017, belanja produk makanan dan minuman halal Indonesia mencapai 170,2 miliar dollar AS. Sektor makanan dan minuman halal ini dapat berkontribusi sekitar 3,3 miliar dollar AS dari ekspor Indonesia ke negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani melihat peluang besar sektor ini untuk kebutuhan umrah dan haji. Bisa dibayangkan, mayoritas jemaah umrah dan haji kebanyakan mengonsumsi nasi.

“Masyarakat Arab Saudi makan nasi, jemaah dari Afrika, Asia Selatan, dan Indonesia sendiri semua makan nasi. Jadi, seharusnya kita bisa mengambil peluang itu. Kita bisa menyediakan mulai dari kebutuhan karbohidratnya sampai proteinnya. Peran ini sudah dilakukan Brunei sejak 10 tahun lalu. Kita seharusnya jangan tertinggal,” ujarnya.

Menurut Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, ada sejumlah hambatan dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, khususnya untuk industri halal. Di antaranya regulasi yang belum memadai, literasi masyarakat tentang produk sertifikasi halal yang masih tergolong rendah, linkage industri halal dengan keuangan syariah yang belum optimal, hingga kapasitas produksi dan tata kelola yang belum memadai.

Untuk mengatasi hambatan itu, ada dua hal yang harus dibenahi. Pertama, penguatan industri dalam negeri untuk substitusi impor. Kedua, penguatan industri kreatif berorientasi ekspor. Industri halal bisa jadi salah satu bagian industri yang mendorong ekspor.

Saat ini, telah dibentuk Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan ini diharapkan dapat mengakselerasi dan mengoptimalkan pengembangan industri halal di Tanah Air sehingga tidak hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar dan konsumen produk halal, tetapi juga sebagai produsen produk halal.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), ikut mendukung industri halal melalui fasilitas pembiayaan. Namun, tidak perlu menyiapkan skema khusus untuk industri halal.

Artinya menyediakan fasilitas yang sama untuk UMKM atau industri kecil yang ingin berkembang. Industri halal dapat juga mengakses fasilitas pembiayaan yang selama ini sudah tersedia. Untuk usaha mikro lewat pembiayaan ultra-mikro (UMI) dan untuk industri kecil lewat kredit usaha rakyat (KUR). Sedangkan untuk mendukung ekspor, melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

“Dukungan LPEI pada dasarnya telah berjalan, tetapi perlu untuk terus ditingkatkan dalam bentuk bimbingan teknis peningkatan kapasitas usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang berorientasi ekspor (termasuk UMKM yang mengembangkan industri halal) untuk memperoleh akses pembiayaan, penjaminan dan asuransi ekspor. LPEI juga dapat berperan sebagai market intelligence guna menemukan pasar-pasar baru non-tradisional di tataran global bagi pengembangan ekspor produk halal Indonesia,” ujarnya.

Peluang industri halal lainnya ada di sektor fashion. Seiring dengan tumbuhnya kelas menengah, kebutuhan fashion tentu meningkat. Indonesia harus mampu memenuhi dari sisi suplai.
Belajar dari pengalaman Malaysia, saat tumbuh pesat dan kelas menengahnya meningkat, permintaan akan modest fashion ikut naik. Sayangnya, tidak ada suplainya. Akhirnya, banyak sekali desainer Indonesia yang dibawa ke Malaysia untuk memenuhi pasarnya.

“Pemerintah akan selalu mendukung baik dari sisi strategi industrialisasi ekspor hingga menciptakan line streaming. Hal ini agar produk Indonesia mampu kompetitif dengan produk dari negara lain,” ujarnya.

Menjadi Pusat Koordinasi dan Sinergi

Penguatan keuangan syariah sudah menjadi political will dari pemerintah. Oleh karena itu, salah satunya dibentuklah Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS). Sebagaimana ide awal pembentukannya, KNKS diharapkan dapat mengoordinasikan kementerian, lembaga dan regulator di sektor jasa keuangan bersama semua pemangku kepentingan keuangan syariah di Indonesia dalam rangka implementasi program pengembangan ekonomi dan keuangan syariah.

Anggota Dewan Pengarah KNKS Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Sekarang, yang menjadi pekerjaan rumah KNKS adalah mengedukasi pelaku, produsen, dan masyarakat umum tentang bagaimana syariah menjadi way of life. Sebab, suka tidak suka, kita hidup dalam masyarakat yang heterogen, baik di dunia maupun Indonesia. Oleh karena itu, KNKS harus lebih inklusif sehingga mampu menciptakan pembicaraan publik yang positif konstruktif.

Saat ini, kinerja KNKS belum bisa dinilai. Namun, diharapkan, ke depan, KNKS dapat mengoptimalkan tugas dan perannya terutama dalam mengoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan rencana arah kebijakan dan program strategis di sektor keuangan syariah, merumuskan dan memberikan rekomendasi atas penyelesaian masalah di sektor keuangan syariah, serta memantau dan mengevaluasi pelaksanaan arah kebijakan dan program strategis di sektor keuangan syariah.

KNKS juga harus memiliki quick win dalam menerjemahkan konsep besar ekonomi syariah, baik untuk masyarakat, individu, maupun industri. Konsep itu harus diterjemahkan menjadi langkah konkret. Saya sendiri sebagai Menteri Keuangan dan Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) bersedia bekerja sama untuk saling mengisi. Karena pada dasarnya, obyek kita sama. Saya rasa, kita bisa bekerja sama dengan baik.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 09 Desember 2019.