Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Dakwah yang ramah di Internet”. Webinar yang digelar pada Senin, 28 Juni 2021, di Kabupaten Tangerang itu diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini menampilkan narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Kiai M Jadul Maula (penulis dan budayawan), Imam Baihaqi (konsultan pemberdayaan desa), Aji Sahdi Sutisna (Ketua RTIK Provinsi Banten), dan Sultan Takdir Ali Sanan MSos (STAIINDO Jakarta).
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Kiai M Jadul Maula membuka webinar dengan memaparkan bahwa secara historis bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan mengembangkan etika sosial.
Kini, pada era dunia digital, turut menghadirkan tantangan di ruang digital. “Disrupsi teknologi digital yang berlangsung dengan sangat pesat, memengaruhi tatanan perilaku masyarakat,” kata Maula.
Menurut Maula, keteraturan dalam pola interaksi sosial kini turut terdisrupsi sehingga mengaburkan beragam batasan dan norma-norma sosial. Padahal, ruang digital adalah realitas baru yang seharusnya tidak mengubah seseorang menjadi berbeda dari realitas di dunia nyata.
“Rendahnya literasi digital menyebabkan seseorang terdeindividualisasi, yang membuatnya berani melakukan hal-hal yang negatif sebab merasa aman bersembunyi di balik layar gadget,” paparnya.
Oleh karena itu, diperlukan sikap etika sosial yang baik. Etika itu meliputi toleransi, dengan hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman suku bangsa, agama, adat istiadat, dan bahasa.
Lalu gotong royong dengan bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. “Selain itu, kerukunan yang bisa dilakukan dengan apresiasi terhadap orang, agama, atau suku lain. Terakhir adalah keadilan, yang mana tidak memihak, tidak bersikap hidup mengelompok, dan tertutup,” ujar Maula.
Sementara itu, Imam Baihaqi mengatakan, pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta pengguna. Saat ini, masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi secara online dan real time. “Digital culture merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital karena penerapan budaya digital lebih kepada mengubah pola pikir agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital.”
Imam menambahkan, digital culture sendiri merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, serta membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
“Dampak rendahnya pemahaman nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah kepada perpecahan di ruang digital. Selain itu, tidak mampu membedakan misinformasi, disinformasi, dan mala-informasi,” lanjut Imam.
Aji Sahdi Sutis mengatakan, meski ada beberapa video program keagamaan dari televisi konvensional yang memilki popularitas yang cukup tinggi, televisi nonkonvensional (Youtube) punya popularitas yang lebih tinggi dibanding acara di televisi konvensional.
Sayangnya, masyarakat luas cenderung menyukai sosok ustaz karena statusnya yang juga merangkap sebagai selebritas, dibandingkan narasi apa yang ia bawakan. Padahal, dakwah yang sehat adalah mengajak, memengaruhi, atau menyampaikan kebenaran untuk memberikan pencerdasan, inspirasi positif kepada seluruh masyarakat Indonesia.
“Dakwah yang sehat bisa dilihat dengan menggunakan nama akun jelas, bukan anonim. Fokus pada materi dakwah. Tidak menyebarkan hasutan, kebencian, hatespeech, dan berita bohong. Rahmatan Lil Alamin, merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, menerangi bukan memerangi,” ungkap Aji.
Lebih lanjut, ia mengajak masyarakat untuk memahami Indonesia yang beragam (agama, budaya, suku, bahasa, serta sosial ekonomi), meningkatkan budaya literasi, dan menjaga jejak digital dengan baik. “Hindari grup yang berpotensi mengajak kegiatan keagamaan yang menyimpang. Laporkan kejahatan cyber melalui aduankonten.id,” jelasnya.
Sebagai pembicara terakhir, Sultan Takdir Ali Sanan mengatakan, pengguna ponsel diperkirakan mencapai 89 persen populasi pada 2025. Untuk itu, ia mengajak masyarakat untuk menjadikan media sosial sebagai alat penangkal radikalisme serta ladang pahala dengan menyebarkan dakwah.
Salah satu peserta bernama Abdul Azis memberikan testimoni bahwa dengan kemajuan teknologi seperti sekarang akan mudah membuat orang memproduksi konten dakwah. Namun, timbul masalah, yaitu munculnya dai/ustaz yang bisa bebas bicara, tanpa tahu apakah dai/ustaz itu sudah mumpuni ilmunya atau belum dalam berdakwah yang akhirnya munculnya kesesatan ilmu yang disampaikan.
Lalu, bagaimana cara kita menyikapi fenomena itu? “Dalam dunia digital ini kembali kepada kita sendiri. Think before sharing, cek ini benar dan legal. Ini menjadi kunci yang kita butuhkan,” kata Aji Sahdi.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.