Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Ruang digital, bebas dan bertanggung Jawab”. Webinar yang digelar pada Senin, 28 Juni 2021 di Kabupaten Tangerang itu diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini menghadirkan narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Mikhail Gorbachev Dom (peneliti Institut Humor Indonesia Kini), Achmad Uzair (dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Panji Gentura (Project Manager PT WestmooreTech Indonesia), dan Pradna Paramita (Founder Bombat Media).

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Mikhail Gorbachev Dom membuka webinar dengan mengatakan, di dunia digital, sering ditemukan beragam konten negatif yang meresahkan.

“Biasanya, motivasi pembuatan konten negatif terkait masalah ekonomi, politik, mencari kambing hitam, hingga memecah belah persatuan,” katanya. Menurut Mikhail, segala bentuk partisipasi negatif, dapat terkena Pasal 28 Ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008.

“Isinya, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditunjukan untuk menimbukan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar gologan,” sambung Mikhail.

Konsekuensi hukum banyak kasus yang terjadi di indonesia terjerat oleh UU ITE Pasal 27 Ayat 1, yaitu memuat konten melanggar kesuliaan misal pornografi, Pasal 27 Ayat 3 terkait perencanaan nama baik, Pasal 28 Ayat 2 tentang menyiarkan kebencian, dan Pasal 29 tentang ancaman kekerasan.

Achmad Uzair menambahkan, tanpa perubahan sikap mental, transformasi budaya bisa berujung pada “gegar budaya” berupa keterasingan, maupun kegagalan memanfaatkan secara optimal benefit teknologi. Selain itu, diperlukan digital civility.

“Yakni pemahaman bahwa masing-masing individu memiliki tanggung jawab untuk melindungi kebebasan yang diperoleh dengan mengakui tidak hanya perilaku kita akan berdampak pada orang lain, tetapi juga bagaimana kita perlu mendorong, mengedukasi, mendukung, dan memberdayakan orang-orang yang menjadi mitra komunikasi online kita,” tukasnya.

Sementara itu, Panji Gentura memaparkan terkait jejak digital 4.0. Menurut Panji, situs jejaring sosial dan aplikasi, seperti Facebook, Twitter, dan pesaingnya dapat memfasilitasi komunikasi dan berbagi informasi di antara kelompok dan individu yang beragam sekarang, menjadi klise.

“Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa negara rahasia dan penipu kapitalis yang mereka layani, telah memusatkan perhatian pada pertumbuhan eksplosif teknologi ini,” kata Panji.

Dalam konteks ini, situs web whistleblowing Wikileaks menerbitkan dokumen luar biasa 4 Oktober oleh Konsorsium INDECT, sistem informasi intelijen yang mendukung pengamatan, pencarian, dan deteksi keamanan warga di lingkungan perkotaan.

“Bukan akronim yang menarik, melainkan sederhananya, INDECT bekerja untuk menempatkan wajah manusia pada miliaran e-mail, pesan teks, tweet, dan posting blog yang transit di dunia maya setiap hari. Tidak ada yang luput dari mata panoptik yang merupakan iterasi terbaru dari skema pembunuhan privasi yang mengerikan ini,” ungkapnya.

Sebagai pembicara terakhir, Pradna Paramita mengatakan, situs web adalah toko/rumah yang bisa mempromosikan diri maupun toko jualan. “Dalam situs web, ada hosting, domain, dan konten. Konten isinya bisa berita, promosi, laporan, dan interaksi. Keuntungannya, toko kita lebih mudah ditemukan melalui pencarian Google.”

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Hanan, memberikan testimoni bahwa banyaknya aplikasi perdagangan, perbankan, dan mata uang kripto palsu yang beredar sehingga cukup meresahkan.

Lalu, adakah cara yang bisa digunakan untuk membedakan mana aplikasi scammer dan mana yang tepercaya? “Untuk aplikasi keuangan pemerintah punya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perbankan, itu bisa cek situs resmi OJK yaitu ojk.go.id. Mengenai masalah kripto, untuk saat ini belum diakui pemerintah, jadi tidak mungkin dikeluarkan list/daftar mana yang tepecaya oleh OJK,” jelas Pradna.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.