Isu pemanasan global tentu sudah sangat familier di telinga kita. Secara kolektif, ilmuwan sepakat bahwa pemanasan global disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Gas rumah kaca yang paling besar dikontribusikan dari pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) ke lingkungan.
Berangkat dari semangat tersebut, berbagai negara di dunia menerapkan pajak karbon (carbon taxing), yaitu melakukan pungutan (cap) atas emisi CO2 yang dihasilkan dari suatu proses produksi.
Pajak karbon di Indonesia, sebagaimana dikutip dari siaran resmi Kementerian Keuangan, diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan akan mulai diterapkan 1 April 2022 pada sektor produsen energi. Pajak karbon secara bertahap akan diterapkan di seluruh sektor industri.
Lebih lanjut, turunan dari kebijakan pajak karbon adalah perdagangan karbon (carbon trading) yang mencakup pungutan atas emisi karbon, dan pembayaran untuk industri yang menghasilkan emisi di bawah batas tertentu. Pemberlakuan pajak karbon ini tentu menjadi salah satu penggerak bagi industri-industri, termasuk industri kimia, untuk dapat menurunkan emisi yang dihasilkan dari proses produksinya.
Peran sarjana teknik kimia
Bagaimana sarjana teknik kimia berperan dalam mengatasi pemanasan global? Hal ini dapat dilakukan dengan perubahan dan perbaikan proses produksi untuk menghasilkan emisi karbon minimum. Melalui peningkatan efisiensi proses, penggunaan teknologi lebih hemat energi dan ramah lingkungan, dan penghematan penggunaan air dan sebagainya.
Berbagai industri kimia berniat dapat memenuhi ketentuan pajak karbon tersebut dengan menghasilkan emisi seminimal mungkin. Untuk itu, perubahan dan perbaikan pada proses produksi yang selama ini sudah berjalan dibutuhkan. Emisi karbon dari suatu industri kimia dapat berasal dari jejak karbon bahan baku, atau pun alat proses, serta dari penyediaan utilitas pendukung produksi seperti air, energi panas, listrik, dan lainnya. Secara akumulatif, berbagai emisi terkait produksi tersebut akan menjadi jejak karbon bagi produk yang dihasilkan.
Berbagai upaya tentu dapat ditempuh dalam rangka menurunkan emisi yang dihasilkan. Peningkatan efisiensi produksi dan penurunan penggunaan utilitas pendukung produksi, secara langsung dapat berdampak terhadap penurunan emisi total proses dan tentunya jejak karbon produk. Berbagai perubahan di dalam proses tersebut, tentu menjadi peluang dan tanggung jawab bagi insinyur proses, termasuk sarjana teknik kimia; yang memahami seluk beluk proses.
Melihat kebutuhan tersebut, sejak tahun 2018, Program Studi Sarjana Teknik Kimia Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) membekali lulusannya dengan berbagai pengetahuan yang relevan dengan industri kimia yang hijau secara embedded di berbagai mata kuliah. Hal itu sesuai dengan capaian pembelajaran lulusan yang memiliki kesadaran yang tinggi atas dampak rekayasa proses dalam konteks lingkungan, ekonomi dan sosial; sejalan dengan isu keberlanjutan (sustainability) dalam industri kimia.
Secara khusus, hal tersebut juga diwadahi di dalam mata kuliah wajib Industri Kimia Berkelanjutan. Tentunya ini menjadi bekal berharga bagi lulusan Sarjana Teknik Kimia Unpar sehingga dapat semakin percaya diri untuk berkiprah di industri kimia pada masa yang akan datang yang semakin menekankan pentingnya keberlanjutan. (Hans Kristianto ST MT-Dosen Teknik Kimia Unpar)
Universitas Katolik Parahyangan adalah salah satu universitas swasta pertama di Indonesia berdiri sejak 1955 berkomitmen untuk menjadi komunitas akademik yang humanum untuk dibaktikan kepada masyarakat. Website:Â www.unpar.ac.id