Era revolusi industri 4.0 adalah era teknologi untuk membantu mempermudah dan mempercepat pekerjaan manusia menjadi menjadi sebuah tren. Tren ini akan terus-menerus berkembang pesat dan dinamis serta akan menjadi katalis dalam meningkatkan produktivitas.

Pada era ini, penggunaan istilah artificial intelligence (AI), internet of things (IoT), augmented reality, big data, data analytic, cloud, cyber security, dan smart tech lainnya sudah biasa terdengar di telinga kita beberapa tahun terakhir ini. Semua teknologi ini akan terus berkembang menggantikan era society 4.0 (information society) menjadi era society 5.0 (super-smart society).

Di dalam era Society 5.0 ini, kita akan terbiasa hidup dengan bantuan teknologi berbasis Cyber-Physical System (CPS). Sistem ini memungkinkan sesama perangkat dapat saling terkoneksi secara otomatis melalui sebuah jaringan, tanpa perlu adanya intervensi dari manusia.

Melihat situasi dan kondisi saat ini, perpustakaan digital perguruan tinggi pada era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 harus melakukan berbagai perubahan, pembenahan dan penyelarasan agar dampak layanan dan kehadirannya dirasakan bagi pengguna dan para pemangku kepentingan.

Secara lebih spesifik, perpustakaan digital perguruan tinggi pada era revolusi 4.0 dan society 5.0 ini memiliki pengguna beragam. Keberagaman ini dapat dibagi menjadi dari empat kategori generasi, yaitu generasi baby boomers (1946–1964), generasi X (1964–1978), generasi Y (1982–1999), dan generasi Z (lahir setelah tahun 2000). Setiap generasi memiliki karakteristik tersendiri yang perlu dipelajari dan difasilitasi.

“Baby boomers”

Generasi baby boomers merupakan generasi yang lahir pada 1946–1964. Generasi ini merupakan generasi yang hadir pada saat revolusi industri ketiga dimulai dan termasuk dalam kelompok digital immigrant. Kelompok digital immigrant adalah kelompok yang hidup di suatu masa ketika televisi dan telepon masih menjadi teknologi yang paling utama (Walmsley, 2011). Oleh karena itu, generasi ini perlu banyak belajar mengenai perkembangan teknologi baru dan beradaptasi dengan kelompok digital native ketika teknologi telah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Prensky (2001) mengatakan bahwa generasi baby boomers ini masih memiliki kebiasaan membawa jejak digital immigrant-nya meskipun mereka memiliki keinginan untuk belajar dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi terkini. Mereka masih memiliki kebiasaan mencetak e-mail, dokumen elektronik untuk proses editing, dan lebih suka bertemu langsung untuk mendiskusikan sesuatu daripada mengirimkan alamat URL-nya. Mereka juga masih menyukai percakapan melalui telepon dan e-mail (Venter, 2017).

Selain itu, mereka terbiasa dengan cara belajar bertahap, selangkah demi selangkah, dan tidak terbiasa melakukan sesuatu secara bersamaan, apalagi dengan menggunakan media yang berbeda-beda dengan yang seharusnya menyenangkan. Mereka menyukai instruksi yang diberikan secara rinci dan tidak memerlukan banyak masukan untuk memperbaiki kinerjanya (Glass, 2007).

Generasi X

Generasi X merupakan generasi yang dilahirkan sekitar 1964–1978 (Lyons, 2007). Generasi ini masih termasuk ke dalam kategori digital immigrant karena mereka dilahirkan sebelum 1980. Generasi ini juga masih memiliki kebiasaan yang sama dengan generasi baby boomers. Mereka masih menyukai interaksi melalui telepon dan e-mail. Namun, berbeda dengan generasi baby boomers, mereka sudah bisa beradapatasi dengan penggunaan teknologi, seperti blog, SMS, dan online forum.

Perbedaan lainnya, mereka lebih mengalami kendala dalam berkomunikasi tatap muka, diskusi kelompok, menulis surat secara formal, interaksi antar generasi dan berinteraksi secara sosial (Helyer & Lee, 2012; Heng & Yazdanifard, 2013). Mereka menyukai percakapan yang langsung membahas pada inti permasalahan (Walmsley, 2011).

Generasi Y

Generasi ini merupakan generasi yang lahir antara tahun 1981 hingga 2000 (DelCampo, 2011). Generasi ini masuk ke dalam kategori digital native atau tech-savvy karena mereka lahir setelah 1980 dan mulai terekspos dengan perkembangan teknologi sepanjang perjalanan hidupnya. Mereka adalah generasi yang saat ini dikelilingi oleh teknologi dan perangkat terkini. Howe & Strauss (2000) menyebut generasi ini sebagai generasi millennial. Sementara itu, penulis lainnya menyebut generasi ini sebagai generasi net (Tapscott, 1998), atau generasi Google (Helsper & Enyon, 2009).

Generasi ini terbiasa berkomunikasi melalui teks, media sosial, e-mail, dan pesan singkat. Generasi ini tidak terbiasa dengan komunikasi tatap muka dan aktivitas lain yang bersifat formal (Hartman & McCambridge, 2011). Berbeda dengan generasi X, generasi Y ini sangat mengharapkan umpan balik secara berkala untuk meyakinkan dan memastikan bahwa yang mereka lakukan sudah benar (Glass, 2007).

Hal ini sangat dipengaruhi oleh pola orangtua asuh generasi milenial yang bersifat overprotektif (Eckleberry-Hunt & Tucciarone, 2011). Penerimaan, dukungan, dan pengakuan dari orang lain atas tugas dan prestasinya sangat berarti untuk mereka (Feiertag & Berge, 2008). Mereka tidak segan untuk bertanya tentang pengakuan atau penghargaan yang memang seharusnya mereka dapatkan atas kontribusi mereka (Venter, 2017).

Karakteristik generasi Z

Generasi ini merupakan generasi yang dilahirkan setelah tahun 2000 (Bejtkovsky, 2016). Serupa dengan generasi Y, generasi Z merupakan generasi yang masuk dalam kategori digital native. Seperti yang dirangkum dari beberapa generasi ini juga biasanya dikenal dengan sebutan “silent, the iGeneration, generation quiet, and the next generation” dan bisa memiliki banyak relasi dan komunitas di dunia maya tanpa pernah bertemu secara personal (Bejtkovsky, 2016).

Meskipun masuk ke dalam generasi yang sama dengan generasi Y, generasi ini dilahirkan pada masa ketika teknologi sudah lebih berkembang dan lebih canggih. Generasi ini adalah generasi yang di dalam kehidupan kesehariannya sudah sangat terbiasa dengan penggunaan akses internet di mana pun dan kapan pun. Mereka menyukai pembelajaran yang bersifat pragmatis, yang langsung dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memperlajari sesuatu, mereka suka melihat contoh terlebih dahulu bagaimana hal tersebut dilakukan dan kemudian mengikuti caranya. Mereka sudah terbiasa untuk melihat konten video seperti Youtube untuk mempelajari sesuatu.

Sama dengan generasi Y, generasi ini juga merupakan generasi yang tidak menyukai bacaan teks dan lebih memilih melihat konten video seperti Youtube. Bukan hanya mempelajari konsep dari apa yang dipelajarinya dan mengikuti cara yang diberikan, mereka juga akan menerapkan konsep tersebut pada hal lainnya. Mereka lebih bersifat toleran terhadap perbedaan. Dengan kemampuan mempelajari segala sesuatu melalui konten video yang tersedia di dunia maya melalui jaringan internet, generasi ini lebih suka belajar secara individual/mandiri yang biasanya dikenal dengan istilah autodidak.

Dengan intensitas yang lebih banyak berinteraksi dengan perangkat media, bisa dilihat bahwa generasi ini bukanlah generasi yang memiliki kemampuan interpersonal dan pendengar yang baik. Sama dengan generasi Y, mereka terbiasa dengan umpan balik/hasil yang cepat. Mereka adalah generasi yang multi-tasking, memiliki peluang yang besar untuk mengakses teknologi terbaru, serta tidak memiliki keraguan untuk mencoba menggunakan teknologi tersebut. Bagi generasi ini, internet merupakan tempat pertama yang akan mereka tuju untuk mencari informasi atau untuk melakukan aktivitas lainnya.

Layanan perpustakaan digital perguruan tinggi lintas generasi

Perpustakaan perguruan tinggi (PT) hadir untuk melayani semua kebutuhan penggunanya tanpa terkecuali. Pengguna perpustakaan ini beragam sifatnya mulai dari segi usia maupun dari segi status. Seperti dijelaskan, dari segi usia, pengguna perpustakaan PT terbagi menjadi empat generasi, yaitu generasi baby boomers, generasi X, generasi Y, dan generasi Z yang memiliki kebiasaan dan karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan zaman mereka dilahirkan.

Pengguna perpustakaan PT yang masuk ke dalam golongan generasi baby boomers yang lahir sekitar 1946–1964 adalah dosen senior, yang memiliki rentang usia 55–73 tahun, yang termasuk di dalamnya adalah para professor. Kemudian, para pengguna perpustakaan PT yang masuk ke dalam generasi X, yang lahir sekitar tahun 1964–1978, adalah dosen, profesor, dan karyawan PT.

Lalu, pengguna yang masuk ke dalam generasi Y, yang lahir tahun 1981–2000, adalah dosen muda, mahasiswa S-1–S-3, dan karyawan PT. Mereka yang masuk ke dalam kategori ini berada pada usia 19–38 tahun. Selanjutnya, mereka yang masuk ke dalam kategori generasi Z, yang lahir di atas tahun 2000 pada umumnya adalah mahasiswa yang baru memasuki perguruan tinggi. Generasi Z ini adalah generasi pengguna dalam kategori mahasiswa yang akan terbanyak dilayani oleh perpustakaan PT untuk beberapa tahun mendatang.

Seperti yang telah dipaparkan pada tulisan ini, generasi baby boomers dan generasi X memiliki kesamaan karakteristik dan masuk ke dalam kategori digital immigrant. Sementara itu, generasi Y dan Z juga memiliki kesamaan karekteristik dan masuk ke dalam kategori digital native. Oleh karena itu, akan terbagi cara melayani 4 generasi ini melalui 2 macam pendekatan berdasarkan kategori digital immigrant dan digital native.

Untuk generasi baby-boomers dan X, yang masuk ke dalam kategori digital immigrant, mereka memiliki kesamaan karakteristik seperti, perlu banyak belajar mengenai perkembangan teknologi baru dan beradaptasi dengan kelompok digital native. Mereka masih menyukai dokumen tercetak, berkirim e-mail, bercakap-cakap melalui sambungan telepon, dan tidak terlalu membutuhkan umpan balik agar mereka dapat mengerjakan tanggung jawabnya dengan maksimal.

Sedikit perbedaan antara generasi baby-boomers dan X ini adalah keinginan untuk berinteraksi secara langsung melalui tatap muka sudah sedikit menurun dan mereka sudah bisa lebih beradapatasi dalam penggunaan teknologi seperti blog, sms, dan online forum. Selain itu, mereka juga lebih memilih untuk tidak terlalu formal dan kaku dalam menulis pesan, mengharapkan ada petunjuk yang rinci sebelum melakukan sesuatu, serta lebih langsung pada inti pembicaraan (to the point) dibandingkan dengan generasi X.

Untuk generasi Y dan Z, yang masuk ke dalam kategori digital native, mereka memiliki kesamaan karakteristik seperti, terbiasa menggunakan perangkat digital untuk berkirim pesan melalui e-mail, texting, berelasi melalui jejaring daring, dan membagikan konten digital di 6 dunia maya. Mereka adalah sama-sama generasi yang multi-tasking, lebih menyukai informasi grafis dibandingkan informasi dalam bentuk teks dan kurang memiliki kemampuan interpersonal dalam interaksi tatap muka secara langsung. Mereka adalah generasi “segera” yang sangat mengharapkan hasil/umpan balik seketika dan pengakuan atas kontribusi mereka.

meet the modern learner

Pada generasi Z, semua kesamaan tersebut semakin tinggi tingkatannya dibandingkan dengan generasi Y. Kemampuan belajar mandiri melalui video tutorial dan menjadikan internet sebagai rujukan utama dalam mencari informasi juga lebih tinggi pada generasi Z dibandingkan dengan generasi Y karena memang mereka sudah sangat terbiasa dengan hal tersebut. Sebagai tambahan, generasi Z memiliki keinginan dan kemampuan untuk mengaplikasikan apa yang dipelajari dalam berbagai aspek serta menjadikan internet menjadi rujukan utama ketika hendak mencari informasi.

Dari sisi kemampuan interpersonal, generasi ini semakin menurun kemampuan interpersonalnya dalam situasi tatap muka atau situasi dimana mereka perlu berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung. Perbedaan antara generasi Y dan Z adalah pada tataran keinginan untuk melakukan interaksi tatap muka semakin rendah dan kemampuan belajar mandiri yang lebih tinggi.

Perpustakaan PT perlu memikirkan dan memfasilitasi kesenjangan antara dua kategori digital immigrant dan digital native ini. Penyesuaian layanan tentu dilakukan dengan melihat situasi serta kondisi pada era revolusi industri 4.0 dan society 5.0. Penyesuaian tidak mungkin dilakukan dengan cara mundur ke era sebelumnya.

Oleh karena itu, perpustakaan PT perlu menyiapkan sarana dan prasarana yang sesuai dengan pengguna karakteristik digital native, yang ke depannya akan menjadi pengguna terbesar perpustakaan PT. Perpustakaan perlu memperhatikan karakteristik dan kebiasaan dari pengguna digital immigrant dan membantu serta memfasilitasi mereka untuk dapat beradaptasi dengan teknologi dan cara generasi digital native berinteraksi. Dengan demikian, diharapkan kesenjangan antarkategori bisa diminimalisasi dan keduanya bisa “berbicara” dengan bahasa yang sama.

Untuk melayani generasi yang berasal dari kategori digital immigrant agar dapat selaras dengan kemampuan digital native, perpustakaan perlu merancang dan mengadakan serangkaian pelatihan agar mereka dapat mengetahui dan menggunakan fasilitas dengan teknologi terkini yang disediakan oleh perpustakaan.

Hal ini perlu mereka ketahui dan pelajari agar mereka dapat menggunakan perangkat tersebut dalam proses belajar mengajar mereka sehingga kelompok generasi digital native tertarik dan ingin terlibat lebih mendalam terhadap materi pembelajaran yang disampaikan. Perpustakaan perlu menginformasikan hal ini dan membuat petunjuk secara rinci serta mengkomunkasikannya melalui berbagai platform media yang sesuai dengan pengguna digital immigrant maupun digital native.

Selama pengguna dari kategori digital immigrant ini masih ada, sebaiknya komunikasi melalui e-mail, telepon, dan interaksi langsung, terutama dalam memberikan pelatihan, tetap diadakan dan tersedia walaupun platform komunikasi dan informasi digital sudah tersedia bagi pengguna digital native.

Perpustakaan dapat mengadakan pelatihan untuk penggunaan platform yang baru dan perlahan membantu pengguna digital immigrant beralih kepada teknologi baru. Para pustakawan perlu menyadari bahwa hubungan interpersonal masih tetap perlu dijaga agar pengguna digital immigrant merasa nyaman dan terfasilitasi dalam melakukan perpindahan.

infografik e-learning unika atmajaya

Untuk melayani generasi yang berasal dari kategori digital native, perpustakaan perlu menyediakan fasilitas yang mendukung karakteristik generasi ini agar mereka merasa tertarik dan terlibat. Perpustakaan perlu melanggan dan menyediakan fasilitas aplikasi pembelajaran berbasis multimedia karena generasi ini lebih tertarik pada informasi grafis daripada informasi teks. Contoh dari aplikasi yang bisa dilanggan dan disediakan oleh perpustakaan adalah Jing, Camtasia, Powtoon, Toonly, Doodly, Prezi, Panopto, dan aplikasi yang serupa lainnya.

Perpustakaan juga perlu mempertimbangkan adanya studio teknologi pendidikan yang dapat membantu pembuatan materi pembelajaran berbasis video. Generasi digital native ini merupakan generasi instan yang terbiasa menerima hasil/umpan balik dengan cepat. Oleh karena itu, melanggan aplikasi kuis tanya jawab yang dapat memberikan jawaban dan penilaian dengan seketika, akan menjadi sesuatu yang akan menarik perhatian dan membuat mereka tenggelam dalam materi yang sedang mereka dipelajari.

Selain itu, pembelajaran juga bisa menjadi lebih bermakna dan efisien. Contoh dari aplikasi seperti ini adalah Kahoot, Trivia Crack, Socrative, Jeopardy, Easypromos, myQuiz, dan apikasi lainnya yang serupa. Selain bisa membuat pengguna terintegrasi ke dalam materi pembelajaran, aplikasi ini membangun komunitas.

Mereka dapat berkompetisi dalam kelompok secara online dan mendapat rewards dengan segera. Karena terbiasa dengan segala sesuatu yang bersifat “segera” dan multi-tasking, generasi ini tidak memiliki rentang perhatian atau fokus yang lama terhadap sesuatu. Oleh karena itu, membuat materi multimedia/konten video tidak bisa dibuat terlalu lama. Konten tersebut harus dibagi menjadi beberapa bagian dan dalam hitungan beberapa menit saja.

Jika lebih, mereka akan merasa bosan dan tidak lagi tertarik untuk melihatnya. Pembelajaran dengan cara seperti ini dikenal dengan nama microlearning. Beberapa contoh aplikasi microlearning adalah Gnowbe, TalentCards, mLevel, HandyTrain, SmartUp, dan aplikasi lainnya yang sejenis. Aplikasi-aplikasi seperti ini sudah bisa diakses secara mobile melalui telepon pintar.

Selain itu, oleh karena generasi ini merupakan generasi yang bisa belajar secara mandiri/autodidak dan suka mempraktikkan apa yang baru mereka pelajari, dosen dapat meminta mahasiswanya untuk membuat video dengan menggunakan aplikasi seperti yang telah disebutkan di atas dan mempresentasikannya secara individu maupun secara berkelompok. Persoalan bagaimana menggunakan aplikasi video tersebut, generasi digital dapat mencari tahu dan mempelajarinya sendiri secara mandiri. Cara lainnya lagi untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari adalah membuat mereka melakukan magang.

Generasi ini juga memerlukan platform pembelajaran elektronik (e-learning) seperti Moodle, Teams, Camilo, Open edX, Totara Learn, Canvas, Edmodo, dan aplikasi serupa lainnya untuk melakukan pembelajaran mandiri. Coworking space untuk belajar mahasiswa juga perlu diadakan karena mereka semakin membutuhkan ruang untuk melakukan belajar mandiri dengan koneksi internet yang stabil.

Selain itu, perpustakaan PT perlu memakai otomasi sistem perpustakaan yang dapat mempercepat proses pelayanan dan menuju kepada pembangunan smart library yang dikelola dan digunakan oleh smart society di dalamnya pada era revolusi industri 4.0 ini.

Santi Kusuma, M.Sc.

Perpustakaan, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta