Pengguna internet Indonesia yang mencakup 73.7 persen dari total populasi, dengan 61,8 persen persen atau 170 juta pengguna media sosial aktif, menunjukkan pentingnya literasi digital terutama dalam pemahaman akan HaKI. Media sosial dan platform digital yang digunakan oleh hampir seluruh pengguna internet adalah hak yang timbul dari hasil olah pikir manusia dalam menghasilkan sebuah produk atau proses yang berguna untuk kepentingan manusia. Penggunaan media sosial tersebut masih marak penyalahgunaan HaKI, padahal perlindungan Hak Cipta sudah diterapkan dalam perundangan negara dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Paham Tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Internet”. Webinar yang digelar pada Jumat, 20 Agustus 2021 pukul 14:00-16:30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Meidine Primalia (Kaizen Room), Muhammad Mustafied (LPPM & UNU Yogyakarta), Imam Baihaqi, MH (Konsultan Pemberdayaan Desa), Eka Y Saputra (Web Developer & Konsultan Teknologi Informasi), dan Sony Ismail (Musisi band “J-Rocks”) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Eka Y Saputra menyampaikan informasi penting bahwa “Dalam membicarakan perlindungan HaKI di ruang digital, terdapat file dan konten yang memiliki perlindungan berbeda, karena file bebas disebarluaskan atau direplikasi (dengan batasan tertentu) namun isi dari file tersebut, yaitu konten, yang memiliki hak cipta yang dilindungi. Konten negatif yang “bertentangan dengan moral, agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau pertahanan dan keamanan negara” tidak bisa atau memiliki hak cipta di negara ini (berdasarkan Pasal 50 UU Hak Cipta – UU No. 28 Tahun 2014). Pada Pasal 52, tertera bahwa setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan “sarana kontrol teknologi yang digunakan sebagai pelindung Ciptaan”. Sarana kontrol teknologi tersebut kini lebih dikenal sebagai ‘Manajemen hak digital’ atau Digital Rights Management (DRM).”

Sony Ismail selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa kalau dilihat dari perspektif musisi yang mengalami era sebelum era digital, saat ini dengan akses yang terbuka lebar membuat tiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya, terutama membuat musik. Hal itu berbeda dengan proses publishing musik konvensional sebelum masuknya platform media digital, dengan dibutuhkan media publishing yang memaksa musisi bisa berlokasi di ibukota untuk mudahnya berkomunikasi, mempromosikan melalui radio dan televisi, bahkan tidak memerlukan studio untuk berkarya sehingga lebih mudah untuk memproduksi musik tanpa memerlukan label. Tentunya peluang untuk populernya suatu karya yang tidak didaftarkan Hak Ciptan-nya bisa saja terjadi, sehingga orang lain dapat lebih dulu mengklaim karya tersebut sebagai milik mereka. Berbagai macam platform media yang menawarkan streaming service memudahkan pendengar untuk mengakses lagu atau konten tanpa perlu repot, sehingga memudahkan pembuat karya untuk mendapatkan apresiasi. Media sosial juga sekarang menjadi alat untuk branding para pembuat karya atau menjadi media promosi yang sekarang tidak terbatas pada media konvensional. Menurutnya pemerintah harus mendukung para musisi maupun pembuat karya seni lainnya untuk terus membangun sektor kreatif ini, terutama dalam perlindungan HaKI.

Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Aurelie Reginia Iteh menyampaikan pertanyaan “Apabila karya kita diunggah kembali oleh orang lain dengan persetujuan kita, namun watermark karya tersebut dipudarkan (di-blur namun tidak dihilangkan), apa yang harus kita lakukan sebagai pemilik karya?”

Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Meidine Primalia, bahwa “Biasanya karena sudah ada komunikasi langsung antara pembuat karya dan yang re-upload, sebaiknya ditanya langsung mengapa harus mem-blur-kan watermarknya. Kita bisa memintanya secara baik-baik untuk melakukan re-upload tanpa mem-blur-kan watermarknya.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.