Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Cerdas dan Bijak Berinternet: Pilah Pilih Sebelum Sebar”. Webinar yang digelar pada Kamis, 19 Agustus 2021 di Kabupaten Serang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Yuli Setiyowati (Kaizen Room), Mochamad Azis Nasution (Pemimpin Redaksi Channel9.id), Abdul Rohim (Redaktur Langgar.co), dan Samuel Berrit Olam (Founder dan CEO PT Malline Teknologi Internasional).
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Yuli Setiyowati membuka webinar dengan mengatakan, medsos adalah sarana bagi konsumen untuk berbagi informasi dengan satu sama lain dan dengan perusahaan dan sebaliknya.
Medsos seperti Instagram, Facebook, WhatsApp, Twitter, YouTube, SnapChat, dan TikTok memiliki karakteristik tersendiri. Platform medsos memudahkan setiap penggunanya untuk membuat dan menyebarluaskan konten.
“Dampak positif media sosial yakni mudah berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, jarak dan waktu bukan lagi masalah, mudah mengekspresikan diri, dan memperoleh informasi dengan cepat dan murah,” katanya.
Meski begitu, ada dampak negatif media sosial, salah satunya adalah penyebaran hoaks dan kejahatan siber. Hoaks meliputi misinformasi, yakni informasi salah yang disebarkan orang yang mempercayainya sebagai hal yang benar. Contoh, air putih menyembuhkan Covid-19.
Lalu, ada disinformasi yang merupakan informasi salah. Namun, disebarkan oleh orang yang tahu bahwa informasi itu salah. Jadi, ada kesengajaan. Terakhir ada malinformasi, yakni informasi yang berdasarkan realitas tapi digunakan untuk merugikan orang, organisasi, atau negara lain.
“Mari cerdas dan bijak bermedia digital. Jangan asal posting konten. Tidak perlu detail dalam menyampaikan informasi (jaga privasi). Jaga etika. Selalu waspada dan jangan langsung percaya. Filter akun-akun yang diikuti,” ungkapnya.
Mochamad Azis Nasution menambahkan, pengguna medsos di Indonesia tercatat sebanyak 170 juta orang. Menempati 10 besar dan berada di ranking ke-9 negara yang kecanduan medsos.
Kehadiran platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, LinkedIn, WhatsApp mengubah cara orang berkomunikasi dan berinteraksi. Alasan menggunakan medsos berbagai macam.
“Biasanya sebagai sarana dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari. Mengikuti keadaan perkembangan, aktivitas dan informasi dari teman. Berkenalan dengan orang baru, membentuk kelompok berdasarkan minat dan hobi. Menginformasikan aktivitas dirinya kepada orang lain,” tuturnya.
Menurutnya, pemahaman terhadap literasi digital menjadi dasar yang sangat penting dalam menggunakan medsos. Medsos juga memiliki etikda dan etiket. Tata karma dalam menggunakan medsos. Keduanya wajib dipahami oleh pengguna digital.
Etika didefinisikan sebagai sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Etika biasanya dibuatkan panduan. Etiket didefinisikan sebagai tata cara individu berinteraksi dengan individu lain atau dalam masyarakat berlaku secara umum.
Etika digital adalah kemampuan individu dalam menyadar, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital atau netiquette dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita semua adalah manusia, sekalipun berada di ruang digital. Pengguna internet berasal dari berbagi negara, budaya, dan adat istiadat. Fasilitas di internet memungkinkan orang untuk bertindak etis dan tidak etis,” paparnya.
Abdul Rohim turut menjelaskan, memahami realitas digital secara utuh adalah kunci bijak bermedia sosial. Ruang digital saat ini menjadi dunia baru, yang berusaha menyerap aktivitas manusia, dari realitas konkret ke dunia maya, bahkan sekarang muncul hiper-realita.
“Hal ini tanpa disadari memengaruhi aktivitas kemanusiaan kita, baik dengan diri sendiri maupun manusia lain di sekitar kita. Terutama ketika bermedsos. Kecepatan dan kebebasan yang ditawarkan seringkali, membuat otomatisasi sehingga membuat hilangkan nilai-nilai kemanusiaan,” ucapnya.
Perubahan interaksi sosial di ruang digital, di antaranya menjadi hilangnya rasa kemanusiaan, terpolarisasi masyarakat menjadi manusia individual/kelompok, ekspolitasi desire (keinginan) kadangkala menyebabkan hilangnya akal sehat dan hati nurani.
“Lalu interaksi yang serbacepat menyebabkan hilangnya kedalaman. Banjir informasi menyebabkan sulitnya membedakan antara fakta dan hoaks, krtiik, aspirasi, maupun apresiasi sosial,” ungkapnya.
Abdul berpesan, sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan dunia digital, kita harus bisa memposisikan diri, kapan saatnya kita berinteraksi di media sosial, kapan pula waktunya bersentuhan secara langsung dengan realitas nyata.
Sebagai pembicara terakhir, Samuel Berrit Olam mengatakan, setengah persen hidup kita digunakan untuk berinternet, sehingga kita perlu untuk mengamankan diri kita dalam kepentingan menjaga privasi.
Bermain medsos bisa dengan menggunakan banyak platform. Dengan berbagi apapun, sering membuat kita lupa kalau informasi pribadi seharusnya tidak di-sharing kepada publik.
“Ada istilah oversharing yang artinya terlalu banyak mengumbar informasi yang tidak seharusnya disampaikan kepada publik. Karena jika kita oversharing, hal itu akan merugikan untuk diri kita sendiri bahkan di kasus tertentu ada yang kehilangan nyawanya karena tidak teliti mengamankan datanya,” ungkapnya.
Apalagi di masa pandemi ini peningkatan bermain medsos cukup tinggi, dan pada kenyataannya medsos menjadi incaran para hacker atau peretas di seluruh dunia.
“Bahaya oversharing ada dua hal, yaitu social engineering dan phising. Social engineering adalah merekayasa sosial atau memanipulasi psikologisnya. Sehingga ada orang yang tidak bertanggung jawab yang dapat menggunakan data kita dan berpura-pura mengaku sebagai diri kita yang mana ujungnya adalah meminta uang,” katanya.
Dalam sesi KOL, Revan Farnur menjelaskan, kita bisa dengan mudah menyampaikan apa yang kita kerjakan, serta untuk mempromosikan karya kita asalkan kita manfaatkan internet dengan bijaksana dan benar.
“Yang harus kita pahami dalam bermain media sosial adalah menyadari bahwa kita tidak sendiri ketika menggunakan internet. Sehingga kita harus memanfaatkan dengan baik untuk mengembangkan diri kita. Dan kita harus berhati-hati dalam meninggalkan jejak di media sosial,” ujarnya.
Salah satu peserta bernama Andika menanyakan, bagaimana kita sebagai orang tua membatasi anak dalam bermedia sosial?
“Batasan anak-anak ini biasanya di medsos terdapat batasan umur, sehingga anak di bawah umur tidak boleh memiliki medsos dan harus didampingi orangtua, dan platform medsos itu banyak konten untuk anak seperti YouTube Kids. Jadi, dapat dipastikan kontennya sesuai dengan anak,” jawab Yuli.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Serang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]