Oleh Albidin Linda, EY Indonesia Climate Change and Sustainability Services Leader

Saat ini berbagai krisis lingkungan akibat praktik yang tidak berkelanjutan menuntut aksi segera. Di antara semua permasalahan lingkungan yang terjadi, yang kini paling dirasakan dampaknya oleh masyarakat Ibu Kota adalah polusi udara. Untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan, salah satu perubahan besar yang sedang diupayakan untuk melawan krisis ini adalah transisi energi.

Untuk mendorong transisi energi, pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan yang relevan, seperti Peraturan Presiden No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, serta Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Hadirnya peraturan-peraturan baru yang menantang bisnis untuk mengadaptasikan operasinya untuk mengurangi emisi ini sebenarnya tidak hanya dapat dilihat sebagai risiko, tapi juga sebagai peluang besar bagi bisnis untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya.

SUMBER: EY INDONESIA

Transisi energi menawarkan peluang unik dalam penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, dan pengurangan emisi. Peluang ini didukung oleh bank-bank pembangunan multilateral dengan komitmen untuk mendanai aksi perubahan iklim global, sebagaimana diikrarkan pada agenda UN Climate Action Summit 2019. Komitmen ini juga mendorong terbentuknya Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) pada 2021, sebuah aliansi institusi keuangan dengan misi mendukung penurunan emisi karbon global.

Tentunya adaptasi yang perlu dilakukan membutuhkan pembiayaan ekstra. Pembiayaan berkelanjutan menjadi salah satu instrumen keuangan yang dapat diakses oleh entitas-entitas yang hendak berinvestasi untuk mengimplementasikan keberlanjutan atau bertransisi.

Terdapat dua jenis pembiayaan berkelanjutan, yaitu pembiayaan berbasis proyek dan berbasis kinerja. Pada sistem pembiayaan berbasis proyek, pembiayaan yang diterima hanya boleh digunakan untuk proyek-proyek yang tercantum pada use-of-proceeds (UoP) dalam framework yang sudah ditetapkan oleh penerbit. Sistem ini berlaku untuk pembiayaan dengan prinsip green, social, sustainability, dan transition.

Sementara pembiayaan dengan prinsip sustainability-linked menggunakan sistem berbasis kinerja yang pembiayaannya dapat digunakan untuk kegiatan umum, namun entitas penerbit harus mencapai indikator key performance indicator (KPI) dan sustainable performance target (SPT) yang ditetapkan.

Untuk mengajukan pembiayaan berkelanjutan, suatu entitas pada umumnya menyusun kerangka kerja/framework yang sesuai dengan prinsip pembiayaan berkelanjutan yang hendak diajukan. Framework ini idealnya merujuk pada prinsip, standar dan peraturan nasional maupun internasional yang mengatur tentang pembiayaan berkelanjutan. Untuk instrumen berbasis proyek, framework akan berisikan daftar kegiatan yang hendak dibiayai sekaligus kegiatan yang sudah pasti tidak akan dibiayai. Untuk instrumen berbasis kinerja, framework menjelaskan KPI dan SPT yang entitas penerbit janjikan untuk dicapai.

SUMBER: EY INDONESIA

Setelah instrumen diterbitkan, entitas tersebut akan memasuki fase pelaksanaan dan peninjauan atas implementasi framework untuk memenuhi kewajiban pelaporan tahunan. Berdasarkan informasi yang dilaporkan setiap tahunnya, jika perusahaan gagal melaksanakan proyek yang disebutkan dalam UoP atau gagal mencapai KPI dan/atau SPT, perusahaan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan pada framework. Sebagai contoh, didorong oleh perkembangan regulasi secara global, saat ini mulai bermunculan kasus-kasus greenwashing yang dibawa ke jalur hukum.

Kebutuhan data untuk penyusunan framework dan pelaporan tahunan menuntut perusahaan untuk memastikan integritas data, terutama agar publik dan pemangku kepentingan dapat meninjau secara detil apakah strategi dan usaha perusahaan untuk transisi energi dapat dipercaya dan cukup ambisius. Informasi tersebut perlu faktual, akurat dari segi metodologi perhitungan, dan idealnya disertakan dengan hasil review pihak ketiga.

Secara internal, perusahaan dapat meningkatkan integritas laporan dengan memastikan agar sistem pengumpulan dan pelaporan data didukung dengan proses yang jelas dan terstruktur. Sistem pelaporan tersebut harus disesuaikan dengan standar dan aturan yang ada untuk memastikan bahwa informasi yang dihasilkan memenuhi persyaratan yang berlaku. Selain itu, perusahaan juga memerlukan sistem pemantauan dan peninjauan yang komprehensif. Proses peninjauan, baik secara internal maupun oleh pihak eksternal, merupakan langkah yang penting dalam memvalidasi dan menjaga integritas laporan.

Transisi energi merupakan aksi yang berdasarkan pada kepentingan publik. Data yang transparan dan kredibel perlu menjadi fondasi kegiatan setiap entitas, dan merupakan bagian dari kesempatan untuk mengakses keuangan berkelanjutan.