Kondisi ekonomi global yang tidak menguntungkan, meningkatnya turbulensi dari ketegangan perdagangan global, serta aliran dana kembali ke Amerika Serikat (AS) mengakibatkan banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, dewasa ini menghadapi depresiasi mata uang.

Pakar ekonomi dari UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, “Dana telah mengalir ke pasar negara berkembang sejak krisis keuangan global 2008 dan program pelonggaran kuantitatif yang diberlakukan oleh bank-bank sentral untuk menstabilkan ekonomi lokal. Arus dana sekarang berbalik dan kembali ke AS untuk mencari keuntungan yang dipicu oleh membaiknya fundamental ekonomi AS.”

Tanuwidjaja menambahkan, me­nguat­nya ekonomi AS mendorong Federal Reserve (Fed) menaikkan suku bunga pada 2018. Saat ini, pelaku pasar sedang mengamati seberapa jauh pengetatan kebijakan moneter Fed AS akan terus berlanjut. Bank-bank sentral negara maju lainnya juga mulai menaikkan suku bunga, di antaranya Bank of Canada dan Bank of England.

Sementara itu, menurut Tanu­widjaja, kebijakan moneter Bank Indonesia bergerak ke arah yang benar untuk menjaga stabilitas. “Bertentangan dengan latar belakang angin haluan (headwinds) eksternal dan dengan risiko kenaikan suku bunga Fed AS yang lebih tinggi dari perkiraan tahun ini dan tahun depan, kami berharap bahwa Bank Indonesia akan meningkatkan suku bunga lebih lanjut,” lanjut Tanuwidjaja.

Ia menambahkan, ketahanan ekonomi Indonesia didukung oleh fundamental yang kuat, meliputi pemulihan ekspor yang berkelanjutan, terutama dalam komoditas, pertum­buhan belanja investasi yang sedang berlangsung di tengah pembangunan infrastruktur skala besar dan konsumsi swasta yang stabil.

Tanuwidjaja mengatakan, tan­tangan saat ini adalah mengelola defisit transaksi berjalan. Indonesia menjadi negara defisit transaksi berjalan pada akhir 2011.

“Defisit menunjukkan bahwa permintaan dolar AS lebih tinggi dari pasokan. Karena negara-negara dengan defisit transaksi berjalan, seperti India, Turki, Argentina, Filipina dan Indonesia, menghidupkan kembali proyek infrastruktur dan investasi besar di sektor-sektor seperti manufaktur, yang mengarah ke permintaan tinggi akan dollar AS sehingga mata uang lokal mereka pada gilirannya terdepresiasi terhadap dollar AS.

“Terlepas dari kenaikan suku bunga Fed AS yang memicu kembalinya dana ke AS dan pada gilirannya memperkuat dollar AS, ketegangan perdagangan global antara AS dan mitra dagangnya, terutama China, juga telah mengakibatkan banyak investor melakukan lindung nilai (hedging) terhadap portofolio investasi mereka. Hal ini menyebabkan lebih banyak tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk mata uang Indonesia,” ujar Tanuwidjaja.

Untuk mengelola permintaan dalam negeri akan dollar AS, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan pera­turan untuk menaikkan pajak penghasilan untuk impor, yang menurut Tanuwidjaja, merupakan langkah yang tepat. Mengurangi defisit transaksi berjalan akan memperkuat stabilitas dalam mata uang, yang memungkinkan sejumlah sektor ekonomi mulai tumbuh.

Terlepas dari depresiasi rupiah, ekonom UOB Indonesia memperkirakan bahwa produk domestik bruto Indonesia akan tumbuh sebesar 5,3 persen pada 2018 dan sedikit lebih baik menjadi 5,4 persen pada tahun mendatang, didukung oleh fundamental ekonomi Indonesia yang kuat.

Fundamental ekonomi Indonesia didukung oleh faktor-faktor seperti cadangan yang lebih tinggi, defisit transaksi berjalan yang terkendali, dan permintaan domestik yang kuat. Jadi, ekonomi Indonesia lebih kuat dan tangguh dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Cadangan devisa pada Januari 2018 juga mencapai 132 miliar dollar AS, jauh lebih tinggi dari 20 miliar dollar AS yang tercatat pada 1998.

Menurut Tanuwidjaja, dalam jangka menengah dan jangka panjang, dorongan lebih lanjut untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih berkualitas mungkin datang dari dorongan infrastruktur pemerintah dan lebih khusus lagi potensi ekonomi ekonomi digital.

Indonesia menunjukkan pertum­buhan platform digital yang baik, yang penggunaannya didorong oleh konsumen milenium. “Dengan jumlah milenial yang diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 90 juta orang atau sekitar 35 persen dari total penduduk Indonesia pada 2020, ekonomi digital akan menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Investasi asing langsung

Untuk pertumbuhan jangka panjang, investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) akan menjadi salah satu cara terpenting bagi Indonesia untuk menumbuhkan perekonomian. Hambatan ekonomi eksternal telah menyebabkan FDI melambat sedikit karena investor mengadopsi pendekatan “wait and see” sampai faktor eksternal mereda.

Terkait FDI, UOB Indonesia, melalui Unit Penasihat FDI, telah membantu perusahaan mendirikan operasi regional di Indonesia dan kawasan lain di Asia. Selain memberikan akses solusi keuangan Bank, Unit Penasihat FDI bekerja dengan mitra strategis termasuk lembaga pemerintah, asosiasi industri dan perdagangan dan penyedia layanan profesional, untuk menawarkan layanan konsultasi bisnis dan untuk menghubungkan perusahaan dengan mitra potensial secara lokal.

UOB telah bermitra dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mempromosikan FDI ke Indonesia, melalui Memorandum of Understanding yang ditandatangani pada 2015. Awal tahun ini, UOB Indonesia juga mendirikan China Desk untuk membantu perusahaan China memperluas ke ASEAN, membantu mereka memahami cara terbaik untuk menjelajahi beragam lingkungan ekonomi dan bisnis di kawasan.

Sementara itu, dalam jangka pendek investor memangkas investasi mereka ke pasar negara berkembang karena Fed AS mengetatkan kebijakan moneternya di tengah ketegangan tarif perdagangan yang tidak menentu, Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik berdasarkan potensi pertumbuhan ekonomi dan fundamental yang kuat. Perekonomian dan reformasi struktural negara yang tangguh menciptakan fondasi yang kuat untuk kemajuan di masa depan. [*]

Foto: Shutterstok

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 12 Oktober 2018.