Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih jauh dari ukuran menggembirakan. Berbagai hasil riset bisa menjadi cermin. Untuk mendongkrak kualitas dan daya saing SDM kita, pendidikan menjadi tumpuan utama.

Survei-survei yang melibatkan tingkat anak-anak hingga remaja, juga orang dewasa, memperlihatkan ketertinggalan SDM Indonesia dibandingkan negara-negara lain. Tes dari Programme for International Students Assessment (PISA) yang mengukur kompetensi siswa berusia 15 tahun pada 2015 menempatkan Indonesia pada urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei. Hasil survei Programme for the International Assessment of Adult Competencies pun menunjukkan responden Indonesia terpuruk dalam hal literasi, numerasi, dan pemecahan masalah.

Indonesia juga menempati urutan ke-110 dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dibentuk berdasarkan empat indikator, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Indikator kedua dan ketiga berhubungan dengan capaian pembangunan di bidang pendidikan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada kelompok usia 20–24 tahun, penduduk perkotaan yang melanjutkan ke pendidikan tinggi sebesar 25,08 persen, sementara di pedesaan hanya 10,95 persen. Angka ini menunjukkan, baru sebagian kecil penduduk yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi.

Tak bisa ditawar, agar mutu manusia Indonesia semakin baik, masalah dasar sektor pendidikan mesti dituntaskan. Pembangunan manusia butuh dipercepat agar mampu berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi maupun bersaing dengan bangsa global. Pemerataan pendidikan dan upaya memperbesar persentase penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi menjadi pekerjaan rumah pertama.

Tantangan berikutnya, masalah besar pendidikan tinggi di Indonesia adalah belum adanya kesesuaian kompetensi lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri. Saat ini, sebesar kira-kira 62 persen mahasiswa mengambil studi di bidang sosial-humaniora dan 38 persen yang lain di bidang sains-teknik.

Padahal, kebutuhan insinyur di Indonesia masih sangat tinggi. Kesenjangan besar itu disebabkan belum adanya peta yang secara jelas menyatakan kebutuhan tenaga kerja dikaitkan dengan industri tertentu yang ingin dikembangkan.

Porsi besar

Di tengah beragam tantangan pendidikan dan lapangan pekerjaan itu, generasi Y atau generasi milenial yang kini mengisi porsi besar kependudukan sebenarnya punya peluang besar untuk berkembang. Kefasihan generasi ini ketika berhadapan dengan teknologi menjadi kelebihan di era industri yang kini mengarah ke pemanfaatan teknologi dan digitalisasi.

Generasi ini punya keunggulan pada kemampuan untuk menyerap lebih banyak informasi secara cepat melalui teknologi yang mereka kuasai lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya. Begitu diungkapkan Direktur Corporate Planning dan Administrasi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam.

“Bagi TMMIN, karakter khas mereka ini dapat memberikan kontribusi dalam industri otomotif, yaitu kecepatan dalam menangkap dan menanggapi perubahan-perubahan terjadi di internal maupun di lingkungan bisnis,” ungkap Bob.

Seiring dengan zaman yang berubah, sebagian besar industri pun melakukan penyesuaian-penyesuaian, terutama di bidang teknologi. Pada industri manufaktur, misalnya, saat ini banyak diperlukan engineer yang mengerti teknologi berbasis digital, seperti manajemen data digital yang mudah diakses misalnya.

Selain itu, generasi milenial punya kesempatan besar untuk berkembang di sektor ekonomi kreatif. Dari tahun ke tahun, pekerja dan kontribusi sektor ini terus meningkat. Pada 2015, sektor ini menyumbang Rp 852 triliun atau 7,38 persen PDB nasional dan menyerap 15,9 juta tenaga kerja (13,9 persen). Kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pun meningkat dari 2010–2015, yaitu sebesar 10,14 persen.

Namun, pelaku ekonomi kreatif lulusan diploma ke atas pun masih rendah, baru sebesar 6,7 persen. Sektor ini masih membutuhkan tambahan dukungan kontribusi lapisan penduduk berpendidikan tinggi.

Penulis Haruki Murakami pernah mengatakan, “Sometimes taking time is actually a shortcut.” Meningkatkan daya saing manusia Indonesia memang membutuhkan waktu yang tidak singkat, tapi harga yang mesti dibayar di depan akan lebih mahal jika upaya-upaya itu tidak ditempuh sejak sekarang. Pendidikan adalah perjalanan yang layak ditempuh demi ketahanan kita sebagai sebuah bangsa. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 Mei 2017