Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Menciptakan Ruang Digital yang Aman dari Kekerasan Seksual Online“. Webinar yang digelar pada Senin (25/10/2021) di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Dr. Indri Dwi Apriliyanti – Dosen Manajemen Kebijakan Publik, FISIPOL UGM, Divdeni Syafri – Founder PT Let’s SMART Consulting and Professional Speaker, Dr. Hartuti Purnaweni, M.PA – Dosen Administrasi Publik FISIP Undip dan Dr. Dwi Harsono, M.PA., M.A – Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial UNY.
KBGO
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Dr. Indri Dwi membuka webinar dengan mengatakan, data menunjukkan hampir 60 persen perempuan di 22 negara telah menghadapi kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Di Indonesia, 38 persen responden mengalami KBGO. Pelecehan paling umum terjadi di media sosial seperti Instagram (23 persen), Whatsapp (14 persen), Snapchat (10 persen), Twitter (9 persen), dan TikTok (6 persen). Minors (di bawah usia 18 tahun) paling rentan menerima KBGO.
“Bentuk KBGO biasanya berupa komentar kasar/body shaming, komentar bersifat seksual yang tidak diinginkan atau online sexual jokes, ancaman kekerasan seksual dan fisik,” tuturnya.
Ciri anak yang mengalami KBGO yakni mengisolasi diri untuk berbicara dengan teman secara online/telepon dalam waktu yang lama, merahasiakan aktivitas online mereka. Menyembunyikan layar PC, ponsel, atau tablet. Menunjukkan agitasi/rasa marah saat menjawab panggilan telepon. Menolak ditinggalkan sendirian dengan individu tertentu.
“Mari hentikan semua komunikasi dengan pelaku pelecehan. Blokir pelaku di semua platform media sosial. Laporkan pelaku pelecehan ke sosial media. Nonaktifkan semua akun media sosial di mana Anda berinteraksi dengan pelaku pelecehan. Simpan semua bukti pelecehan,” ujarnya.
Divdeni Syafri menambahkan, aspek kehidupan tidak terlepas dari penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Hampir semua kegiatan harus dilakukan secara online. Perilaku masyarakat sudah berubah.
“Sehingga terjadi pergeseran pola pikir, pola sikap dan pola tindak masyarakat dalam akses dan distribusi informasi,” ungkapnya. Maka, diperlukan etika, yang dalam bahasa Yunani ethos memiliki arti adat istiadat atau kebiasaan yang baik.
Netiket
Netiket pada one to one communications adalah kondisi di mana komunikasi terjadi antar individu dalam sebuah dialog. Misalnya pada komunikasi menggunakan email dan chatting secara pribadi.
Netiket pada one to many communications adalah kondisi dimana satu orang bisa berkomunikasi dengan beberapa orang sekaligus. Misalnya pada sebuah forum diskusi online mailing list, netnews, dan lainnya.
“Diperlukan etika berinternet, sebab pengguna internet berasal dari berbagai negara, bahasa, budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. Berbagai macam fasilitas dalam internet memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak etis,” tuturnya.
Bentuk pelecehan seksual di media sosial yaitu comment, komentar yang mengarah kepada tubuh seseorang atau komentar cabul antar gender. Sayangnya, hal tersebut terkadang dianggap lucu.
Dr. Hartuti Purnaweni turut menjelaskan, internet semakin dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan masyarakat (sosialisasi, pendidikan, bisnis), diikuti kemunculan media sosial (medsos).
“Interaksi di medsos memiliki karakter yang sama dengan interaksi tatap muka, harus ada aturan dan norma yang diakui dan digunakan. Berarti semua anggota yang berinteraksi tetap mengatur tindakannya agar tidak melanggar norma yang berlaku,” katanya.
Namun, faktanya tidak selalu demikian, karena muncul sebagian anggota masyarakat yang kurang bertanggung jawab. Kemajuan teknologi ibarat pisau bermata dua terdapat dampak positif dan negatif.
Dampak negatifnya seperti muncul perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang di medsos yakni pelecehan seksual, bullying, penipuan, dll. Bentuk pelecehan seksual secara online yakni mengirim gambar atau video porno tanpa consent atau persetujuan si penerima dan orang yang ada di dalam video atau gambar tersebut.
Cara menghadapinya dengan cara jangan terlalu banyak atau sering mengunggah di medsos. Hindari konten yang aneh, jangan anggap enteng segala bentuk pelecehan seksual di kehidupan nyata maupun di medsos. Khususnya remaja, harus dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang memadai tentang sikap yang bijak dalam menggunakan medsos.
Sebagai pembicara terakhir, Dr. Dwi Harsono mengatakan, pelecehan seksual online adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan pada platform digital apa pun. Ini bisa terjadi di antara siapapun secara online.
Pelecehan seksual online dapat mencakup berbagai macam perilaku yang menggunakan konten digital (gambar, video, posting, pesan, halaman) pada berbagai platform online yang berbeda (pribadi atau publik).
“Mencegah pelecehan seksual online yakni mengambil langkah-langkah proaktif untuk membantu mencegah dan mengurangi dampak dari setiap insiden pelecehan seksual online terjadi. Seluruh tindakan pencegahan sangat penting dalam memastikan kasus pelecehan seksual online secara individual terkendali dan tidak meningkat,” katanya.
Dalam sesi KOL, Kneysa Sastrawijaya mengatakan, berbicara tentang kekerasan seksual, sungguh tidak baik ketika sebagai manusia tidak memanusiakan yang lainnya. “Sebetulnya kita disini benar- benar belajar bagaimana caranya menghormati manusia lainnya di dunia virtual apalagi di dunia nyata,” ujarnya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Aniska Zulaeka menanyakan, bagaimana memberikan pendidikan literasi digital sejak dini agar anak-anak tahu bagaimana pentingnya digital skill atau kecakapan digital?
“Paling memang untuk anak-anak karakter nya bisa dibatasi untuk terkait teknologi dan informasi terkait dengan pengetahuan, aspek-aspek seksual ini teknologi informasi ada batasan-batasan karena aspek logika juga akan berbeda. Peran orangtua atau guru melakukan proteksi search engine untuk usia di bawah 13 tahun,” jawab Dwi.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.