Tidak dapat dimungkiri, keputusan Presiden Jokowi untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2017 Mengenai Perubahan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Ormas) 12 Juli 2017 lalu telah menuai pro dan kontra.
Bagi yang pro dengan sikap pemerintah, meyakini bahwa negara telah hadir dan menjalankan perannya untuk melindungi Pancasila sebagai Ideologi dan norma dasar bernegara (staatsfundamentaalnorm). Sebaliknya, pihak yang kontra mempertanyakan letak “Ihwal Kegentingan Yang Memaksa” dan dihilangkannya mekanisme pembubaran ormas melalui pengadilan dalam perpu tersebut.
Terhitung 9 hari sejak diterbitkan, dengan asas contrarius actus yang diatur dalam Perpu Ormas, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mencabut status badan hukum dari perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena eksistensi HTI sebagai suatu ormas yang mengusung paham khilafah dianggap pemerintah bertentangan dengan Pancasila. Secara sederhana, asas contrarius actus dapat diartikan bahwa siapa yang telah menerbitkan izin (status badan hukum ormas), dialah juga yang berhak untuk mencabutnya.
Pada 24 Oktober 2017 silam, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara dramatis akhirnya menyetujui Perppu Ormas menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017. Secara tidak langsung, DPR pun nampaknya mengamini “Ihwal Kegentingan Yang Memaksa” dari penerbitan Perpu Ormas. Bahkan, tercatat tujuh fraksi menyetujui yaitu PDIP, PPP, Hanura, Golkar, Demokrat, Nasdem, dan PKB.
Selebihnya, tiga fraksi lainnya yaitu Gerindra, PKS, dan PAN menolak pengesahan perpu ormas menjadi undang-undang. Dengan demikian, permohonan uji materi (judicial review) dari pihak-pihak yang kontra terhadap Perpu Ormas di Mahkamah Konstitusi pun menjadi kehilangan objek pengujian.
Asas tunggal ormas
Dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 satu naskah dan perubahannya, penjabaran kelima sila Pancasila, yaitu dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia telah menjadi dasar (ideologi) bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini sejalan dengan pandangan Bung Hatta dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causa dalam Ilmu Hukum untuk Bung Hatta pada 30 Agustus 1975 di Universitas Indonesia, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila.
Jadi, meskipun secara hierarki peraturan perundang-undangan, Pancasila tidak disebutkan dengan tegas sebagai sumber Hukum Positif di Indonesia, sebagaimana dimaksud UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tetapi adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi bahwa setiap pembentukan atau perubahan mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, UU, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah haruslah tetap mengacu pada Pancasila.
Hal inilah yang mendasari bahwa dalam politik hukum pembentukan Undang-Undang dan Perpu Ormas, Pancasila senantiasa didaulat menjadi asas tunggal, di samping keberadaan UUD 1945 dengan segala perubahannya sebagai batu uji konstitusional. Oleh karena itu, setiap ormas di Indonesia baik berbadan hukum maupun tidak, dalam menjalankan roda organisasinya tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila sebagai norma dasar dalam bernegara hukum (staatsfundamentalnoorm).
Dengan demikian, sejalan dengan penjelasan Pasal 59 ayat 4 huruf c, paham ajaran ateisme, komunisme, marxisme dan leninisme, serta segala paham lain termasuk khilafah yang bertentangan dan hendak mengganti Pancasila sebagai ideologi NKRI, sudah pasti tidak dapat dijadikan asas dan pedoman bagi seluruh ormas dalam menjalankan roda organisasinya di Indonesia.
Ketentuan ini sekali-kali tidak boleh diasosiasikan sebagai pertentangan terhadap ajaran agama tertentu karena pada hakikatnya sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai suatu “kata sifat” telah mengakomodasi semua ajaran agama dan aliran kepercayaan yang diakui keberadaannya di Indonesia.
Menguji efektivitas contarius actus
Dengan berbagai perspektif dan argumentasi hukum, saat ini, telah diajukan beberapa permohonan uji materi UU Ormas di Mahkamah Konstitusi. Salah satunya juga mengenai konsitusionalitas dari asas contrarius actus untuk melakukan pencabutan status badan hukum dari suatu ormas, yang sebenarnya bukan merupakan hal yang baru diterapkan di Indonesia.
Pandangan mengenai penerapan asas contrarius actus dalam pencabutan status badan hukum dari suatu ormas pernah dikemukakan oleh salah satu pakar hukum terkemuka dan sekaligus mantan ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Hukum Perkumpulan Perseroan Dan Koperasi Di Indonesia (Dian Rakyat) pada tahun 1985 silam.
Wirjono berpendapat bahwa ada dua hal yang mengakibatkan suatu ormas kehilangan badan hukum, yaitu atas penetapan menteri kehakiman karena bertentangan dengan ketertiban umum, atau dengan putusan pengadilan karena menyimpang dari anggaran dasar/undang-undang.
Oleh karena itu, saat ini, penerapan asas contrarius actus adalah cara paling efektif untuk menertibkan ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila sebagai asas tunggal, tanpa mengurangi hak dari pengurus/anggota ormas tersebut dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menguji keabsahan dari keputusan tata usaha negara (beschikking) yang mencabut status badan hukum ormas tersebut.
Last but not least, perlu ada kesadaran yang tinggi dari seluruh ormas di Indonesia yaitu bahwa sesuai Pasal 28 J UUD 1945, kemerdekaan dan hak asasi untuk berorganisasi di Indonesia tetap tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dan disertai kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain tanpa memandang suku, agama dan ras dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. [Albert Aries SH MH/penulis adalah advokat yang tergabung dalam Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP)]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 1 Maret 2018