Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Menciptakan Ruang Digital yang Aman dari Kekerasan Seksual Online”. Webinar yang digelar pada Senin (20/9/2021) di Kota Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

KBGO

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Pradna Paramita – Founder Bombat.Media, Novita Sari – Aktivis Kepemudaan Lintas Iman, Maureen Hitipeuw – Founder Single Moms Indonesia dan Novia Kurnia, Ph.D – Dosen Fisipol UGM, Japelidi. Pradna Paramita membuka webinar dengan mengatakan, ada beberapa jenis kekerasan berbasis gender online (KBGO).

“Pertama ada doxing atau penyebaran konten tanpa izin, flaming atau ajakan maupun ancaman untuk berhubungan seksual lewat DM, honey trapping atau menjebak korban untuk mendapat keuntungan materi,” tuturnya.

Beberapa cara untuk melawannya yakni memanfaatkan fitur report/lapor di media sosial, saat menerima pesan pribadi atau ajakan bermuatan seksual, gunakan fitur report pada platform aplikasi. Jangan dibalas, hindari membalas komentar-komentar pelecehan tersebut satu per satu yang akan memperkeruh suasana.

Lalu, simpan tangkapan layar, korban harus memiliki salinan bukti pelecehan dan komentar jahat seperti ancaman dan lain sebagainya, yang akan dibutuhkan jika ingin mengajukan tuntutan.

Bentuk pelecehan

Novita Sari menambahkan, bentuk pelecehan seksual di ruang publik yang paling sering dialami korban yakni, 60 persen verbal komentar atas tubuh, siulan, diklakson, suara kecupan, komentar rasis/komentar seksual, terus didekati. Sebanyak 24 persen fisik disentuh, digesek, dihadang, dikuntit, diintip, difoto. Sementara itu, 15 persen visual main mata, gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi diperlihatkan kelamin.

“Adapun cara menghindari pelecehan seksual di media sosial yaitu blok konten online yang menggambarkan perempuan sebagai obyek seksual,” tuturnya.

Selain itu, blok akun yang kirim pesan mengganggu seperti ancaman, hate speech, dan pesan lainnya berisi pelecehan. Pikirkan baik-baik ketika mengirimkan foto kepada siapapun terutama orang asing di media sosial. Beritahu teman jika ada yang menyalahgunakan foto atau video mereka di sosial media tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Maureen Hitipeuw turut menjelaskan, sebelum mengalami revolusi industri, kita sebagai manusia mengandalkan komunikasi verbal tatap muka. Seiring dengan perkembangannya, kita pun menemukan teknologi canggih lainnya yang saat ini kita gunakan.

Teknologi baru juga semakin mempermudah kita untuk mengakses lebih banyak informasi dan semakin mudah dalam membagikan apa pun di media sosial. Total pengguna internet Indonesia menyentuh 202,6 juta. Sehingga, tidak heran jika jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 170 juta pengguna,” katanya.

Budaya digital

Menurutnya, digital culture merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital karena penerapan budaya digital lebih kepada mengubah pola pikir (mindset) agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital.

Sebagai pembicara terakhir, Novia Kurnia mengatakan, ada beberapa bentuk kekerasan seks yang terjadi saat pandemi, di antaranya perundungan dengan mempergunakan spek tubuh atau seksualitas seseorang, melakukan stalking dan membuat orang lain tidak nyaman dan tidak aman bermedsos.

“Tips untuk para orang tua yakni mendampingi anak mengakses gawai, sering berinteraksi dengan anak agar mereka nyaman, menyeleksi konten yang sesuai untuk anak dan atur waktu anak dalam mengakses gawai,” ujarnya.

Dalam sesi KOL, Suci Patia mengatakan, orang-orang yang diperdaya akibat kurangnya literasi digital. “Kita harus critical thinking dan bisa memilah kalau kita tidak punya critical thinking kita akan susah membedakan fakta atau hoaks. Gimana cara melatih critical thinking kita ya sering membaca,” katanya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Nisrina Ulfa menanyakan, bagaimana cara menimbulkan kembali rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan kepada anak-anak/remaja dalam bermain sosial media?

“Sebetulnya tidak semua tren luar jelek. Justru anak dengan banyak hal dari luar bisa menambah wawasannya. Sebetulnya tergantung dari pola pandang kita menyikapinya juga, tapi memang betul jangan sampai kita lupa untuk memperkenalkan untuk menanamkan nilai-nilai budaya,” jawab Maureen.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.