Adiksi menjadi salah satu penyakit yang bisa mendera siapa saja. Adiksi adalah gangguan organ otak yang sifatnya kronis dan terjadi secara berulang (kambuhan), dan memiliki ciri dengan perilaku yang kompulsif dalam mencari zat adiktif, padahal sudah mengetahui efek buruk dari zat tersebut. Yang kerap kali terdengar adalah adiksi terhadap zat (substance addiction), tetapi saat ini telah berkembang pula adiksi yang dikategorikan sebagai adiksi non-zat (non-substance addiction) yang terkait dengan perilaku yang bersifat adiktif, seperti adiksi internet (online game, media sosial, pornografi, belanja), video game non-internet, makanan atau minuman, judi, dan seks.

Berdasarkan penelitian internasional, nilai rata-rata prevalensi adiksi atau jumlah kasus adiksi yang baru terkait adiksi internet dan video game sebesar 1,2–18,7 persen di Eropa, 0,7–9,4 persen di Amerika Utara, dan 2–26,8 persen di Asia. Suatu penelitian di Indonesia yang dilakukan dengan mengambil subyek penelitian dari beberapa kota, menyatakan kemungkinan prevalensi adiksi game di Indonesia sebesar 6,1 persen. Walaupun banyak penelitian mencatat dominasi laki-laki pada adiksi internet dan video game, penelitian lain tidak menemukan perbedaan gender yang signifikan.

dr Vivy Bagia Pradja SpKJ menjelaskan terkait dengan penderita adiksi non-zat biasanya akan mengalami gangguan pada kualitas hidupnya dan pada beberapa fungsi hidupnya seperti fungsi sosialisasi, fungsi bekerja atau akademis, dan fungsi perawatan diri. Penderita akan terus terobsesi untuk mencari dan melakukan hal yang menjadi obyek adiksinya, mendapatkan kepuasan sementara yang mendorongnya untuk mengulang perilaku adiksinya demi mendapatkan kepuasan sementara lagi.

“Penderita lama-kelamaan dapat mengarah pada perilaku yang membahayakan dirinya (nekat) demi mendapatkan kepuasan yang dicarinya tersebut, dan bila tidak mendapatkan obyek adiksinya dapat mengalami gelisah, gangguan emosional, mudah tersinggung, tidak bisa tidur, dan sebagainya,” ujar Vivy.

Vivy mengatakan, di Santosa Hospital Bandung, pasien dengan keluhan adiksi akan dievaluasi terlebih dahulu dengan wawancara dan pemeriksaan psikiatrik. Setelah didiagnosis, pasien akan diberikan penanganan, baik secara obat-obatan maupun psikologis.

“Biasanya, pasien dapat datang dengan keluhan yang berhubungan dengan kecemasan, perasaan depresi, gangguan tidur, atau gangguan fokus/perhatian sehingga keluhan ini pun akan mendapatkan penanganan sesuai indikasinya. Kekambuhan dapat terjadi selama masa pengobatan, wajar karena adiksi merupakan gangguan otak yang bersifat kronik (berkepanjangan) dan kambuhan (relaps). Tujuan dari terapi juga adalah membantu kualitas hidup pasien lebih baik dalam fungsi berelasi, bekerja, akademik, dan kemampuan merawat diri sendiri,” pungkas Vivy.

Metode pencegahan adiksi non-zat di beberapa negara antara lain berupa program kurikulum berbasis sekolah terkait edukasi pencegahan adiksi, koalisi antizat berbasis komunitas, dan program pencegahan berbasis media. Beberapa contoh faktor protektif untuk menghindari kecenderungan adiksi antara lain pola asuh authoritative, role model yang menjaga kesehatan fisik dan psikisnya, tingkat pendidikan yang baik, lingkungan dan pola hidup yang sehat, serta spiritualitas yang sehat. Sementara itu, yang dimaksud dengan faktor risiko yakni kerentanan atau kecenderungan seseorang untuk mudah menjadi adiksi, misalnya riwayat keluarga dengan adiksi (faktor genetik/keturunan), role model yang melakukan adiksi, ketidakdekatan relasi dalam keluarga yang menyebabkan individu mudah terbawa lingkungannya, lingkungan yang mencontohkan dan mengajak untuk perilaku adiksi. [AYA]

Untuk informasi hubungi Nova Anggreany 087822773207, Sonya Thamrin 082121486363. Website www.santosa-hospital.com

logo-santosa-hospital-qr-code