Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Cerdas dan Bijak Berinternet: Pilah Pilih Sebelum Sebar”. Webinar yang digelar pada Kamis, 19 Agustus 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Aina Masrurin (Media Partner Ceritasantri.id), Denisa N Salsabila (Kaizen Room),  Krisno Wibowo (Pemimpin Redaksi Media Online, Swarakampus.com), dan Xenia Angelica Wijayanto SH MSi (Head of Center for Publication, LSPR Institute).

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Aina Masrurin membuka webinar dengan mengatakan, dengan adanya ruang digital membuat kita semakin mudah untuk mengakses apapun, salah satunya berita/informasi.

Meski begitu, dalam ruang digital juga banyak terdapat konten negatif, termasuk penyebaran berita palsu (hoaks). Orang-orang mudah percaya berita palsu, yaitu karena kurang literasi.

Sebagian masyarakat Indonesia memiliki tingkat minat baca yang rendah, sehingga mudah termakan hoaks karena informasi ditelan mentah-mentah tanpa dicerina. Lalu, mereka mudah tertarik pada berita dengan judul mencengangkan.

“Bias konfirmasi, otak manusia cenderung menyukai berita yang mendukung pendapatnya terlepas dari benar atau tidak berita tersebut. Terus disebar, sebuah hoaks yang terus disebar akan dianggap sebagai sebuah kebenaran karena merasa banyak pihak yang mempercayainya,” tuturnya.

Selain itu, terdapat resistensi pada kebenaran, yang sebagian besar orang menolak informasi yang mengancam keyakinannya meskipun informasi tersebut benar adanya. Di sinilah perlunya kecakapan digital.

Alasan meneruskan berita heboh biasanya karena berita diperoleh dari orang yang dapat dipercaya, mengira bermanfaat, mengira berita tersebut benar, ingin menjadi yang pertama memberi tahu, atau bahkan iseng meneruskan agar heboh.

Krisno Wibowo menambahkan, di sisi etis ada sejumlah sanksi yang akan didapatkan jika melanggar atau menyebarkan konten negatif. Sanksinya berupa ancaman pidana UU ITE (Infomasi dan Transaksi Elektronik).

“Literasi digital anti-ujaran kebencian di keluarga, sekolah, komunitas, dan bermedsos dengan memiliki prinsip bermedsos tanpa larut dalam provokasi prasangka buruk. Berpedoman pada etika dan moralitas bermedia. Menumbuhkan sikap humanisme/kemanusiaan, toleransi antarsesama tanpa memandang latar belakang perbedaan,” katanya.

Denisa N Salsabila turut menjelaskan, perubahan yang dirasakan selama 20 tahun terakhir salah satunya adanya media digital gawai, yang membuat kita dapat mencari informasi lebih luas dan lebih gampang.

Meski begitu ada beberapa hambatan perubahan yang kita alami, antara lain tidak mengetahui dan kesulitan menggunakan teknologi, tidak merasa bahwa teknologi adalah sesuatu yang penting, anggapan bahwa internet adalah sesuatu yang mahal, dan tidak ada waktu untuk mempelajari teknologi karena pekerjaan.

Digital culture merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital, karena penerapan budaya digital lebih kepada mengubah pola pikir (mindset) agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital. Orang yang bertahan adalah yang mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungan.

“Seseorang yang tidak memiliki karakter mindful communication pada diri mereka, berpotensi untuk mengalami kesulitan komunikasi dan mengiritasi perasaan orang lain, bahkan juga menyakiti lingkungan sosialnya secara umum,” katanya.

Menurutnya, dampak rendahnya pemahaman nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, atau provokasi yang mengarah kepada perpecahan di ruang digital.

Sebagai pembicara terakhir, Xenia Angelica mengatakan, digital safety (keamanan digital) adalah sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital dapat dilakukan secara aman dan nyaman.

“Identitas digital pengguna internet bisa sama dengan identitas di dunia nyata, bisa juga tidak. Kita menjadi rentan berinteraksi dengan orang yang tidak kita kenal, dengan tujuan yang tidak kita ketahui,” ungkapnya.

Adapun cara melindungi jejak digital kita, yaitu ciptakan apa yang baik untuk kita, selalu cek privacy setting akun digital, (jika bisa) hapus informasi yang tidak perlu diketahui semua orang dan saring sebelum sharing.

Dalam sesi KOL, Conchita Caroline mengatakan bahwa semua berita yang kita baca belum tentu benar dan akurat, maka sebaiknya kita harus hati-hati terhadap informasi apapun. “Kita harus hati-hati menyebar informasi agar tidak menjadi bumerang untuk diri sendiri.”

Salah satu peserta bernama Nuanza Mei menanyakan, bagaimana menanggulangi hoaks yang sudah terlanjur tersebar?

“Itu sudah menjadi rekam jejak kita jadi susah dihilangkan, tetapi ada fitur-fitur yang dapat dipakai untuk menanggulangi hal tersebut, tetapi jangan diulangi kedua kalinya kesalahan tersebut, apalagi sangat fatal. Hal tersebut bisa menjadi bahan introspeksi,” katanya.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]