Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kominfo menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Dampak Teknologi terhadap Perkembangan Anak”. Webinar yang digelar pada Senin, 19 Juli 2021 di Kabupaten Serang, ini diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar menghadirkan narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Isharshono (praktisi digital marketing), Siska Sasmita SIP MPA (Dosen Universitas Negeri Padang), Dr Nyoman Diah Utari Dewi APar MAP (Dosen MAP Universitas Ngurah Rai), dan Dr Ahmad Ibrahim Badry (Dosen SKSG Universitas Indonesia).
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Isharshono membuka webinar dengan mengatakan, penggunaan ponsel atau gawai dalam jangka panjang dan terus-menerus akan menimbulkan dua dampak, yaitu positif dan negatif.
“Dampak negatifnya adalah dapat menjauhkan yang dekat. Dampak positifnya kita mengharapkan anak-anak bisa menjadi semakin kreatif dalam mencari informasi,” jelas Isharsono.
Tujuan pemerintah membangun infrastruktur digital adalah untuk meningkatkan daya pikir masyarakat Indonesia yang lebih baik. Pada fase usia 4-5 tahun anak-anak sedang berada dalam fase “serba Ingin tahu”. Mereka selalu penasaran dengan hal-hal baru yang menarik perhatian mereka.
Isharsono berpesan, dalam menggunakan internet anak-anak seharusnya berada di bawah pengawasan orangtua dan memainkan video game yang mengajaknya bergerak. Sebab, penggunaan gawai yang berlebihan juga dapat mengganggu perkembangan kemampuan kognitif anak. Seperti daya ingat, bahasa, daya tangkap, serta kemampuan motorik dan sensorik.
“Cara belajar saat ini berubah dan caranya sudah berbeda. Media digital dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk mempermudah dalam belajar. Kenali platform dan aplikasi media digital untuk dapat memberikan kemudahan,” paparnya.
Siska Sasmita menambahkan, media sosial adalah media yang berupa situs dan aplikasi yang melibatkan teknologi berbasis internet, yang mendorong dan memungkinkan penggunannya saling terhubung dengan siapa saja, mulai dari orang-orang terdekat hingga orang asing yang tidak pernah dikenal sebelumnya.
Adapun manfaat media sosial untuk anak dan remaja, yakni mencari informasi terkait tugas dan pelajaran sekolah, mudah memperoleh informasi yang bersifat umum, menonton video tutorial dan video musik, menggunakan media sosial untuk melakukan jual beli online, terhubung oleh keluarga, dan teman yang berjarak jauh dan dekat.
Siska mengatakan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif media sosial. “Umur yang aman mengakses media sosial adalah 13 tahun ke atas, orangtua wajib memberikan contoh etika bermedia sosial kepada anak, dan paparan media digital tidak melebihi 2 jam.”
Menurut Siska, pendampingan saat mengakses gawai dan media sosial merupakan suatu hal yang penting. Mendampingi anak bermedia sosial, secara tidak langsung orangtua bisa ikut mengajarkan untuk menggunakan bahasa yang tepat, menghormati privasi dan karya orang lain, dan berpikir sebelum menulis.
“Mustahil menghindarkan anak dari paparan TIK dan media sosial. Pendampingan terlihat sebagai cara terbaik saat ini untuk meminimalkan dampak negatif media sosial terhadap anak, sekaligus mengajarkan tata krama bermedia digital kepada mereka,” ungkapnya.
Nyoman Diah ikut menjelaskan, teknologi itu seperti pisau bermata dua, jika kita bisa memanfaatkan dengan baik tentu memiliki dampak positif yang bisa membantu dalam berbagai hal, tapi jika salah dalam memanfaatkan tentu akan menjadi bumerang.
Pendidikan karakter turut memberikan andil yang kuat dalam penanaman nilai-nilai nasionalisme pada anak-anak. Sebab, kekuatan pendidikan karakter dapat memengaruhi cara berpikir pada masyarakat dalam memanfaatkan segala arus informasi yang diterapkan.
“Sehingga dapat memiliki nilai-nilai budaya yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya mencontoh budaya dari luar saja, tetapi mempergunakan internet untuk pengembangan budaya nasional,” ujar Nyoman.
Saat ini, anak-anak di Indonesia sudah banyak yang mengalami kecanduan menggunakan internet secara tidak sehat. Menurut Nyoman, di situlah pentingnya pemahaman atas nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sejak dini.
Sering kali, mereka tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah pada segregasi sosial (perpecahan/polarisasi) di ruang digital.
Bahkan, tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital. Tidak mampu membedakan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.
“Melandasi diri ketika produksi dan distribusi konten digital, berpartisipasi dan berkolaborasi dengan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, akan mengarahkan kita pada aktivitas digital yang pancasilais dalam pilihan kegiatannya,” ucap Nyoman.
Sebagai pembicara terakhir, Ahmad Ibrahim Badry mengungkap, tidak semua orangtua punya wawasan literasi digital, sehingga pemberian/pembiasaan gawai digital terlalu dini, berisiko membuat anak kecanduan digital. “Dalam teknologi digital terkini yang sangat interaktif, ia dapat menghasilkan digital heroin atau digital addiction. Hal ini rentan pada anak-anak hingga usia dewasa di mana kita dapat terikat kuat pada gawai digital selama lebih dari 5 jam.”
Sebagai solusi, Ahmad menyarankan agar jangan menerapkan standar ganda (Anda boleh pegang gawai, anak tidak boleh pegang gawai). Lalu dorong dan dampingi anak untuk beraktivitas dalam/luar ruangan yang lebih menyenangkan. “Ajarkan anak untuk memiliki jarak dengan gawai digital dan tidak membelikan gawai digital khusus untuk anak, hingga usianya sudah mencukupi.”
Peserta bernama Susanti mengatakan, sifat temannya berubah menjadi apatis saat mengenal dunia digital. “Semua yang dia bicarakan dari medsos seakan semua benar dan dia tidak mau mendengarkan orang lain. Postingan-nya pun sudah mengarah ke provokatif, bagaimana cara menyikapi hal tersebut?”
“Jadi, memang itu fenomena yang saat ini sedang terjadi, ini sebenarnya berawal dari konsumsi otaknya itu yang telah banyak menyerap informasi tanpa menyaring informasi tersebut benar atau salah. Mengatasi hal seperti ini harus ada treatment dan kita harus punya peran aktif supaya orang-orang yang mengonsumsi kurang baik menjadi tahu standar kebenaran,” jawab Isharsono.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Serang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]