Kunjungan kerja keluar negeri oleh pejabat negara dan pemerintahan adalah salah satu upaya untuk mendapatkan tolok ukur terhadap sebuah rancangan atau inovasi. Dengan parameter-parameter yang semakin kaya, mencakup global dan internasional, hasil sebuah terobosan menjadi lebih maksimal.
Kunjungan kerja yang dilakukan Menteri Pariwisata Arief Yahya ke Shanghai (China) dan New Delhi (India), beberapa waktu lalu, mencerminkan hal-hal tersebut. Ada begitu banyak “oleh-oleh” yang dibawa Arief sebagai bahan untuk meningkatkan industri pariwisata Indonesia.
Oleh-oleh tersebut berupa catatan penting selama lawatannya di kedua negara tersebut. Menteri yang pernah memimpin PT Telkom Indonesia ini menjumpai berbagai bentuk industri, agen perjalanan wisata, operator wisata, dan tak kalah penting adalah menawarkan paket yang amat teknis.
Kegiatan tersebut merupakan salah satu strategi penjualan (selling), yang merupakan fase ketiga yang dilakukan Arief selama menduduki jabatan tertinggi di Kementerian Pariwisata. Sebelumnya, ia telah menyelesaikan fase pertama dengan menggenjot branding, hasilnya berupa Wonderful Indonesia yang mampu mendongkrak peringkat wisata Indonesia ke posisi 47 dari 141 negara.
Usai berhasil membawa negeri ini lebih dikenal di mancanegara, Arief melakukan upaya fase kedua dalam bentuk produk periklanan di berbagai kanal media. Hasilnya, mampu memersuasi khalayak untuk menikmati pesona Indonesia. Jumlah wisatawan mancanegara pun terus bertambah dari tahun ke tahun; 9,3 juta orang (2014), 10,4 juta orang (2015), 12 juta orang (2016), dan 14 juta orang (2017).
Berpikir dari target
Fase ketiga yang dilakukan kali ini sudah mulai berhitung cost per pax, sama seperti yang dilakukan banyak negara untuk mendatangkan wisman. “Saya selalu berawal dari akhir! Berpikir dari target atau proyeksi,” ujar Arief.
Jika ingin merebut pasar global, lanjut Arief, tidak ada pilihan lain, kecuali siap bersaing di level dunia. “Dalam bahasa marketing, kenali customers-mu, kenali produkmu, kenali persaingan pasarmu, maka kau akan memenangkan persaingan!”
Selama berkunjung ke China dan India, yang disambangi Arief bukan lagi travel mart, expo, atau kerja sama G to G (government to government) lagi. Namun mendorong ke arah B to B, business to business. Di antaranya bertemu dengan Ctrip, agen perjalanan terbesar berbasis daring di China.
Pada pertemuan yang dilakukan di Shanghai tersebut, Arief langsung menawarkan Visit Wonderful Indonesia yang mencakup hot deals, calendar of events, dan destinasi digital. “Khusus hot deals, di Kepri atau Batam Bintan dan Jakarta Weekend Deals atau Jakdeals, dua-duanya layak jual dan cepat direspons.”
Industri digital
Terkait industri digital yang sedang marak, Arief tak menampik bahwa teknologi digital memiliki peran penting terhadap industri pariwisata. “The more digital, the more global. The more digital the more personal. The more digital, the more professional.”
Dikatakan pula bahwa Bali mampu mencuri perhatian wisatawan asal China dan meraih 3 penghargaan sekaligus. Di antaranya, Peringkat 1 The Best Honeymoon Destination, Top 10 The Best Destination Worldwide (peringkat 4), dan Top 10 The Best Luxury Destination (peringkat 4).
Arief mencatat, jumlah turis asal China menempati urutan pertama mengalahkan wisatawan asal Singapura, Malaysia, Australia, Jepang, dan Korea. Kunjungan wisatawan asal Negeri Tirai Bambu ini tumbuh 40 persen, atau mengalami peningkatan paling tinggi dibandingkan negara lain.
Namun, lanjut Arief, kunjungan wisman China berjumlah 2,2 juta orang masih jauh dari total outbound mereka. Pada 2017 sebanyak 138 juta orang China ke luar negeri. “Yang ke Thailand sudah di atas 10 juta setahun. Dan, semua negara berpromosi ke China, berebut wisman di sana,” ungkapnya.
Perusahaan teknologi informasi juga menjadi sorotan penting. Big data menjadi salah satu alat yang dapat memotret pergerakan orang, pergerakan uang, crowd di online dan offline. Dengan demikian, keputusan dapat dibuat dengan cepat, dapat menyasar target market dengan pas, dan melihat 3S dengan presisi, yakni size, spend, spread.
Terkait target 17 juta wisatawan pada 2018, program utama yang dijalankan Kementerian Pariwisata adalah competing destination model (CDM), aksesibilitas, dan hot deals. Di Shanghai, Arif juga menyempatkan diri berkunjung ke Indonesia Festival (Inafest) 2018.
Kemiripan pasar
Kunjungannya ke India juga memiliki catatan penting. Arief menyatakan, negara tersebut memiliki kemiripan pasar dengan China, misalnya sama-sama memanfaatkan teknologi dalam mengembangkan industri pariwisata dan sama-sama memiliki komunitas kuat di dunia. “Sama-sama cocok disentuh dengan hot deals di Kepri dan Jakarta. Menjual hot deals bagi travellers India yang hendak ke Singapura dan Malaysia, menambah destinasi ke Batam Bintan saat weekdays, dan Jakarta saat weekend.”
Di Negeri Hindustan, Arief menyempatkan bertemu dengan 5 biro perjalanan dan operator wisata terbesar di negara tersebut. Disebutkan bahwa wisman India sudah masuk 5 besar dengan kenaikan terbesar kedua setelah China, yakni 30 persen atau 485 ribu orang pada 2017. Angka tersebut diharapkan meningkat menjadi 700 ribu orang pada tahun ini.
Lulusan ITB Bandung, Jawa Barat, itu juga mengatakan, Indonesia dan India memiliki kedekatan yang kuat, tak hanya dari segi jarak, tetapi juga dari sisi budaya. Oleh karena itu, baik di China maupun India, Kementerian Pariwisata berkolaborasi secara kuat dengan KBRI dan KJRI. “Inilah yang sejak 3 tahun lalu saya sebut Indonesia Incorporated! Sekarang semakin kuat.”
Di New Delhi, India, Arief diperkenalkan dengan komunitas India, industri, operator wisata, agen perjalanan, media, dan tokoh-tokoh di KBRI. “Networking dengan pelaku industri semakin kuat dan kesempatan baik untuk memperkenalkan pariwisata Indonesia kepada mereka, key opinion leaders,” ujarnya.
Catatan penting lainnya adalah bahwa poin menarik dari hot deals dengan pasar utama China dan India menjadikan Singapura dan Kuala Lumpur sebagai hub. Menyadari direct flight ke Indonesia masih minim, dan mengejar seats capacity juga tidak mudah, maka harus bisa mengoptimalkan yang sudah ada.
“Dulu saya sering menyebut dengan menjaring ikan di kolam yang banyak ikannya. Menjaring wisman dari Singapura yang setiap tahun ada 15,5 juta wisman masuk ke sana, tinggal dibuatkan umpan dengan hot deals, harga diskon, murah dengan prinsip more for less, you get more you pay less,” pungkasnya. [*]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 14 Mei 2018.