Tujuan dari pendidikan agama adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam membentuk manusia Indonesia yang beriman dan berbudi luhur. Mengingat kini pembelajaran sebagian besar dilakukan secara digital dan online, maka dibutuhan pula digital skill dalam pembelajaran. Digital skill adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital. Pembelajaran digital ini sangat tergantung dan terkelola komputer, di mana siswa sepenuhnya berinteraksi dengan komputer, dan seluruh materi dan evaluasi telah terprogram atau dilakukan secara otomatis. Hal ini pun menghasilkan risiko seperti siswa dapat merasa teralienasi akibat kurang pengalaman berinteraksi dengan pengajar dan teman sebaya, serta skill komunikasi dan jalin relasi terabaikan.
Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Tantangan Pendidikan Agama Membuat Kurikulum Berbasis Digital”. Webinar yang digelar pada Selasa, 14 September 2021, pukul 09:00-11:30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Aina Masrurin (Media Planner Ceritasantri.id), Sugiyono, MIP (Akademisi & Pemerhati Pendidikan, Sosial dan Keagamaan), Muhammad Mustafied (LPPM UNU Yogyakarta), Dr MD Enjat Munajat, SSi, MTI (Dosen Administrasi Publik FISIP Unpad & Manajer Akademik dan Kerjasama Sekolah Pascasarjana Unpad), dan Riska Yuvista (Miss Halal Tourism Indonesia 2018) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Sugiyono, MIP menyampaikan informasi penting bahwa “Pendidikan pasca Covid-19 adalah blended learning. Revolusi industri 4.0 hadir lebih cepat dari yang kita bayarkan sebelumnya. Konsep pembelajaran dengan blended learning pada intinya mengkombinasikan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran jarak jauh. Sistem pembelajaran bersifat student centered, di mana guru atau dosen memfasilitasi siswa untuk lebih berfikir kritis dan kreatif. Guru dan dosen dituntut lebih dinamis. Sejumlah studi penelitian empiris memperlihatkan bahwa blended learning secara nyata dapat meningkatkan antusiasme serta kemampuan analisis serta profesionalitas peserta didik. Hal ini menjadikan peserta didik memiliki kemampuan untuk melakukan konstruksi pemahaman yang diperoleh dari proses eksplorasi dari hanya sekedar menerima bahan ajar.”
Riska Yuvista selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa perkembangan media itu banyak sekali dari masa ke masa, dan perkembangannya juga sangat cepat. Menurutnya, walau semua serba ada, tetapi tentu ini menjadi tantangan tersendiri juga untuk para pengajar. Kita sekarang hanya mengakses informasi yang kita inginkan, dan tidak ada batasan umur terhadap memperoleh informasi yang sama. Ia sampaikan bahwa kita harus hati-hati dalam sharing dan pilih-pilih akses terhadap konten-konten tertentu; jangan sampai kita mengakses konten yang provokatif. Ia mengangkat contoh dalam agama Islam; kalau dulu kita ingin membaca surah harus membawa Al-Quran, tetapi sekarang cukup dengan membawa handphone saja. Peran orang tua masih mempunyai peran yang besar dalam hal ini karena menurutnya generasi millennial tidak bisa langsung dilarang tetapi harus dijelaskan juga alasannya. Pilih laman-laman yang memang terpercaya; benar atau tidak, sesuai apa tidak. Pikirkan output yang kita dapat dan juga yang orang lain akan dapatkan.
Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Surya Hadi Muharam menyampaikan pertanyaan “Bagaimana cara menjauhi penyimpangan etika di zaman ini, di mana teknologi semakin merajalela?”
Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Muhammad Mustafied, bahwa “Tentu saja kita harus paham apa itu etika, mana yang baik dan mana yang buruk. Terapkan konsep etika dalam dunia digital. Setelah itu, kita harus ketahui cara bagaimana melaksanakan etika itu dalam tata kelola digital atau yang disebut netiket. Kita harus menyadari bahwa warganet ini sangat beragam, kalau kita tidak aware dengan keberagaman ini memungkinkan kita untuk berbuat tindakan yang tidak berdasarkan netiket tersebut. Dibutuhkan suatu rumusan etik yang lebih rinci agar kehidupan digital berpijak pada nilai etik. Hal ini perlu disosialisasikan dengan lebih kuat.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Pandeglang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.