Ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat, demikian petuah mashur guru Imam Syafii, Waqi. Ibnu Mas’ud RA, salah satu Sahabat Nabi SAW pernah berwasiat bahwa hakikat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, melainkan ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam hati. Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah SAW, bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan bagi pengajar kebaikan”. (HR Tirmidzi).

Henri Shalahuddin MA (Peneliti INSISTS) menuliskan bahwa mengingat kedudukannya yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah, memahaminya adalah wujud takut kepada Allah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban.

Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali mengarahkan agar para pelajar membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal).

nasehat al ghazali
MTs Al Islam Bandung

Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat yang benar dan ditujukan untuk memperoleh manfaat di akhirat. Sebab niat yang salah akan menyeret kedalam neraka, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR Ibnu Majah).

Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualitas hidayah Allah pada diri para ilmuwan. “Barang siapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah”, demikian nasihat kaum bijak. Oleh karena itu, saat ditanya tentang fenomena kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata, “Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakikat ilmu akherat, niscaya Anda akan paham bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan diri dengan ilmu itu bukan semata-mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi karena mereka membutuhkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.”

Selanjutnya, beliau menjelaskan makna nasihat kaum bijak pandai bahwa ‘kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah’, berarti bahwa “ilmu itu tidak mau membuka hakikat dirinya pada kami. Namun, yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya.” (Ihya’ ‘Ulumiddin).

Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa amal adalah junun (gila) dan amal saja tanpa ilmu adalah takabur (sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sementara itu, takabur berarti tanpa memedulikan aturan dan kaedahnya meskipun tujuannya benar. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integritas pendidikan dalam Islam yang berbasis ta’dib. Ta’dib berarti proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Oleh karena itu, konsep pendidikan seperti ini akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pada penciptanya sehingga terjadi korelasi antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya.

Baca juga:

Ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, kelautan, tehnik, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, mereka tidak memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau tujuan pragmatis sesaat lainnya. Namun, kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta. Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integritas nilai-nilai ta’dib dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan dengan dua hal, yaitu (a) menempatkan ilmu-ilmu fardhu ‘ain yang dianggap tidak menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioritas terakhir, atau dihapus sama sekali sehingga mahasiswa kedokteran misalnya, tidak perlu dikenalkan pelajaran-pelajaran agama. (b) mengutamakan pencapaian-pencapaian formalitas akademik. Oleh karena itu, keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.

Rusaknya dunia pendidikan terjadi ketika ilmu diletakkan secara salah sebagai sarana untuk mengejar syahwat duniawi. Padahal, Ali bin Abi Talib RA telah mengingatkan, “Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya”. Wallahu a’lam wa ahkam bis shawab. (*)