Makassar International Writers Festival (MIWF) yang digelar 26-29 Juni 2019, tampil dengan tema “People” sebagai respons terhadap pemilu yang baru saja usai. Namun, di tahun ke-9 ini, MIWF dengan berani menciptakan festival ramah lingkungan.

Konsep zero waste festival sebagai bentuk kampanye melarang penggunaan plastik sekali pakai dimulai oleh para relawan dan tim kerja yang wajib membawa botol air minum isi ulang, serta menggandeng beberapa pihak pemerhati lingkungan, khususnya pengurangan sampah plastik.

Total selama 4 hari plastik yang berhasil diisolasi dan tidak berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) Antang berupa plastik bekas seberat 14 kilogram lebih, membuat ecobrick seberat 538 gram yang berisi 4.264 puntung rokok. Selain itu, komposter telah menampung limbah organik seberat 95 kilogram.

“MIWF pada 2018 mencatat 25.0000 pengunjung. Berkaca dari itu, kami mengambil langkah berani mengusung zero waste festival. Sampah yang dihasilkan pun diolah. Kami meminta pengunjung untuk tidak membawa botol plastik sekali pakai, agar tidak menjadi sampah yang tentunya, akan berujung di laut. Bayangkan jika 25.000 orang yang datang ke sini (MIWF di Benteng Roterdam) tidak membawa botol plastik, maka empat hari MIWF ini bisa mengurangi sampah plastik dan menjadi festival ramah lingkungan,” ungkap Direktur MIWF Lily Yulianti Farid.

Pihak MIWF menyiapkan empat titik galon isi ulang yang berada di Fort Rotterdam. Para tenant yang berjualan makanan di Taman Rasa juga dihimbau tidak menggu­nakan bahan plastik.

Setiap hari tim Zero Waste menghitung jumlah sampah yang dihasilkan. Lalu setiap malam, Ambasador Zero Waste MIWF, Andi Nisfatul Aira, membacakan jumlah sampah yang dihasilkan di panggung utama.

Achmad Yusran dari Forum Komunitas Hijau yang tergabung dalam tim Zero Waste MIWF mengatakan, sampah terutama sampah plastik sangat berbahaya karenanya perlu diisolasi dalam botol ecobrick.

Pada penutupan, Lily menegaskan untuk melanjutkan MIWF tahun depan. Ia meminta penonton yang setuju MIWF dilanjutkan menyalakan senter dari gawai masing-masing.

Puluhan ribu orang yang memadati lapangan di depan panggung dan sekitarnya mengikuti instruksi tersebut. “Mari kita lanjutkan festival ini di tahun berikutnya,” ujarnya.

Lily juga menceritakan, sejarah dicetuskannya MIWF yang akhirnya diangggap seperti anak sendiri. Dia membayangkan Makassar dengan ruan-ruang baca dan ruang-ruang terbuka yang manusiawi dan mendapat dorongan positif dari keluarganya.

Lebih lanjut ia menyebut, mengerjakan sebuah festival dengan 60 mata acara dan mengundang berbagai penulis dari berbagai negara, membuat orang percaya untuk meluangkan waktu orang orang, adalah salah satu bagian dari cita-citanya.

“Membuat ratusan orang untuk menjadi relawan dalam festival ini, juga tentu ada yang menggerakkannya. Saya tidak tahu jawaban yang pasti, tapi saya merasa, ini asumsi saya, orang digerakkan oleh harapan, dengan harapan, ada sesuatu yang baik, yang bisa lahir dari orang-orang biasa seperti kita. Setiap orang yang terlibat, kita semua merasa setara, bukan di perintah, tapi diajak,” pungkasnya. [ADV/*]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 12 Juli 2019.