Baru-baru ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Berhenti di Kamu, Generasi Anti Hoaks!” Webinar yang digelar pada Jumat (2/7/2021) di Tangerang Selatan itu diikuti oleh ratusan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Trisno Sakti Herwanto SIP MPA, Wulan Furrie MIKom (praktisi dan dosen Manajemen Komunikasi Institut Stiami), Pradhikna Yunik Nurhayati SIP MPA, dan Andrea Abdul Rahman Azzqy SKom MSi MSi(Han) (dosen Universitas Budi Luhur).

Trisno Sakti membuka webinar dengan membahas kecakapan penguasaan teknologi. Saat ini, di dunia maya, banyak bermunculan informasi yang tidak benar atau hoaks. Istilah hoaks (hoax) sudah ada dari sekitar 1800-an. Berasal dari kata hocus mentra hocus pocus yaitu mengelabui.

Adapun dampak hoaks adalah dampak individual, ketidakstabilan keamanan, ketidakstabilan politik, ketidakstabilan ekonomi, dan cyber bullying. “Untuk itu, tidak hanya mampu mengoperasikan alat, pengguna media sosial juga harus mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab,” kata Trisno.

Ia menambahkan, tips mengenal dan menangkal hoaks di dunia digital, yang pertama adalah judul dramatis dan bombastis. Lalu provokatif, manipulatif, dan paham batasan informasi. “Kelima, cek sumber informasi. Keenam, trianguasi informasi, jangan asal follow, yang kedelapan, viralkan,’ paparnya.

Sementara itu, Pradhikna Yunik Nurhayati menambahkan, karakteristik media sosial yaitu terbuka. Siapa pun bisa membuat dan memiliki akun media sosial dengan batasan tertentu.

“Selanjutnya, memiliki halaman profil. Pengguna bisa menyajikan informasi tentang dirinya. User generated content terdapat fitur bagi setiap pengguna untuk bisa membuat konten dan menyebarkannya serta melakukan interaksi dengan pengguna lain,” kata Pradhikna.

Ia menjelaskan, menggunakan media digital dengan niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Hal yang perlu diperhatikan adalah kita berinteraksi dengan manusia sesungguhnya.

“Pengguna internet terdiri atas berbagai latar belakang sosial dan budaya. Cara melawan hoaks, yaitu laporkan, berhenti di kamu, saring sebelum sharing, cari informasi dari sumber yang beragam, bersikap kritis dan reflektif, serta sadari bias,” ujarnya.

Wulan Furrie mengatakan, proses pendistribusian informasi menjadi lebih cepat dan sederhana ke beberapa platform sehingga masyarakat menjadi lebih bebas berbicara.

“Fleksibilitas teks media, kolaborasi information haves dan information have nots. Berbekal akses internet, komputer, dan kreativitas semua orang dapat berpartisipasi, memiliki kesempatan yang sama untuk menampilkan versi media teks mereka kepada publik,” paparnya.

Menurut Wulang, cara mengatasi hoaks adalah banyak membaca, orang yang paling rentan menjadi korban hoaks adalah orang yang jarang mengonsumsi berita, baca dengan teliti jika berita tersebut sepertinya tidak masuk akal jangan share sebelum tabayun.

Sebagai pembicara terakhir, Andrea Abdul Rahman Azzqy memaparkan, maraknya penyebaran berita hoaks telah menjadi masalah nasional sehingga menyebabkan perpecahan, instabilitas politik dan gangguan keamanan yang berpotensi menghambat pembangunan nasional.

Sebanyak 88 persen responden menjawab bahwa hoaks adalah berita bohong yang disengaja. Pada survei 2019, responden yang berpendapat memeriksa kebeneran berita heboh/hoaks, menurun dari 83,2 persen menjadi 69,3 persen. Hoaks sangat mengganggu kerukunan masyarakat meningkat dari 75,9 persen menjadi 81,9 persen.

Hoaks biasanya selalu saja memuat sesuatu yang heboh, menyasar mayoritas minoritas, masyarakat perkotaan, kalangan tertentu, ideologis, sekaligus menakutkan. “Jeli periksa sumber berita lain yang melaporkan berita yang mengemuka. Berita yang didapatkan dari media sosial maupun pesan berantai hendaknya tidak langsung dipercaya. Berpikir panjang sebelum mengetik/menuliskan pendapat. Gunakan informasi yang akurat dan valid dari dua atau lebih sumber informasi,” pungkas Andrea.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Wisnu Mustopo memberi opini bahwa media mainstream itu pasti punya regulasi, yaitu mereka tak mungkin menyebarkan berita hoaks.

Namun, mereka sering kali punya agenda pribadi yang menggiring opini penonton terhadap tujuan politiknya. Bagaimana dengan media-media yang memiliki agenda seperti ini apakah diperbolehkan?

“Sangat penting untuk kita mengedukasi diri kita dari berbagai macam sumber. Dari beberapa sumber itu, kita bisa melihat beberapa perspektif orang-orang. Jadi, kita harus tetap kritis dalam menyaring berita hoaks,” kata Pradhikna.

Namun, hal tersebut mengakibatkan banyak orang mengidap fear of missing out (FOMO). Lalu, bagaimana cara menghadapi hal ini? “Terkait tentang FOMO ini akan memengaruhi kesehatan mental, kemudian berdampak buruk pada kehidupan sosial dan berdampak pada gangguan finansial. Di dunia nyata ini real yang bisa kita serap kita lihat lingkungannya agar tidak menjadi racun,” jelas Ibnu.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak.