Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Think Before Posting”. Webinar yang digelar pada Selasa (29/6) di Kabupaten Tangerang itu, diikuti oleh belasan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Krisna Murti SIKom, MA– Tenaga Pengajar FISIP Universitas Sriwijaya, Btari Kinayungan – Kaizen Room, Nanik Lestari, MPA – Dosen/Pengajar FISIPOL UGM, dan Aina Masrurin – Media Planner ceritasantri.id.
Krisna Murti membuka webinar dengan mengatakan, Indonesia menjadi negara dengan warganetizen paling tidak beradab di Asia Tenggara. Survei Microsoft ini juga menunjukkan bahwa tingkat keberadaban netizen saat ini berada di titik terendah, jika dibandingkan dengan survei tahunan yang sama sejak tahun 2016. Microsoft melakukan survei tahunan ini guna mendorong netizen melakukan interaksi yang lebih sehat, aman dan saling menghormati.
“Disini lah pentingnya etika dalam literasi digital, kita semua manusia bahkan sekalipun saat berada di dunia digital, jadi ikutilah aturan seperti dalam kehidupan nyata,” kata Krisna.
Menurutnya, etika digital (Digital Ethic) adalah Kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari.
“Bermacam fasilitas di internet memungkinkan seseorang untuk bertindak etis / tidak etis. Padahal, pengguna internet berasal dari bermacam negara yang memiliki perbedaan bahasa, budaya dan adat istiadat,” tuturnya.
Btari Kinayungan menambahkan, hak digital adalah Hak Asasi Manusia (HAM). “Namun ingat, dimana ada hak, pasti ada tanggung jawab. Kebebasan berekspresi pun, ada batasannya,” papar Btari.
Ia melanjutkan, jenis informasi yang dilarang yaitu pornografi terutama pornografi anak, ujaran kebencian, hasutan kebecian atau advokasi akan diskriminasi berdasarkan SARA.
“Misinformasi adalah kesalahan penyebaran informasi karena ketidaksengajaan. Disinformasi penyebaran informasi yang salah dengan sengaja. Sedangkan malinformasi yakni penyebaran informasi yang mengandung kebenaran dengan maksud merugikan hingga membahayakan pihak tertentu,” ungkapnya.
Sementara Nanik Lestari mengatakan, digital safety atau keamanan digital dimaknai sebagai proses memastikan penggunaan layanan digital, baik secara daring maupun luring dilakukan secara aman dan nyaman.
“Tidak hanya untuk mengamankan data yang kita miliki melainkan juga melindungi data pribadi yang bersifat rahasia,” ujarnya. Adapun kiat-kiat keamanan digital, diantaranya privasi identitas digital, selektif dan cermat dalam memanfaatkan aplikasi dan fitur digital.
“Lalu proteksi sandi secara rahasia dan berkala dan cek keamanan identitas digital anda. Jangan apa-apa diposting tanpa sadar resiko, tanggung jawab dan kebutuhan,” kata Nanik.
Sebagai pembicara terakhir, Aina Masrurin memaparkan, hoaks dengan isu agama menjadi salah satu hoaks terpopuler di Indonesia. Prevalensi masyarakat Indonesia yang percaya hoaks masih cukup tinggi.
Parahnya, status social ekonomi kerap kali tidak menjadi penentu sikap seseorang terhadap hoaks. “Hoaks adalah berita yang tidak benar yang disebarkan baik secara sengaja maupun tidak disengaja,” ujarnya.
Adapun ciri-ciri hoaks adalah berita yang bombastik, judul dan foto sensasional serta provokatif, mengambil tema yang sedang hangat dan Kontroversial, menyasar isu SARA dan fanatisme, disertai suruhan untuk menyebarkan dengan iming-iming imbalan hadiah, pahala, atau keselamatan.
“Tak hanya itu, hoaks juga ditandai dengan sumber berita berasal dari sumber yang tidak kredibel. Isi dan judul tidak nyambung,” jelas Aina. Cara identifikasi hoaks bisa dilakukan dengan google images search.
Caranya, buka google image search pada browser, lalu akan muncul halaman. “Silahkan capture foto dari berita atau dari pesan di grup WhatsApp yang ingin di cek kebenaran beritanya,” ungkapnya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Yuni bertanya, “Apa yang harus kita lakukan sebagai pengguna digital media sosial khususnya agar tidak dapat diretas oleh orang lain dan bagaimana cara mudah agar kita bisa mengetahui siapa orang yang telah meretas data digital kita?”.
Menjawab pertanyaan tersebut, Nanik mengatakan “Harus menverifikasi dahulu sebelum menjudge siapa heackernya. Bila ada kaitannya dengan jejak digital harus flashback dahulu. Sebelum mengakses sebuah situs, harus meliat website tersebut apakah benar atau tidaknya,” ujarnya.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.