Keberagaman Indonesia, baik dari sisi lanskap maupun budayanya, adalah ladang subur untuk menuai cerita. Sumber inspirasi yang tak akan habis digali.

Tentu kita ingat kisah anak-anak SD Muhammadiyah di Belitung yang sekolahnya hampir saja ditutup karena kekurangan siswa. Bermula dari novel yang ditulis Andrea Hirata, cerita Laskar Pelangi diadaptasi menjadi film yang disutradarai Riri Riza.

Film yang dirilis pada 2008 ini membekas, pertama-tama karena ceritanya yang begitu jujur dan akting anak-anak lokalnya yang sangat natural. Kita juga tak bisa melupakan asyiknya musik Melayu dan eloknya lanskap Belitung dalam film ini.

Setelah Laskar Pelangi sukses di pasaran, Belitung pun berubah. Para pelancong berdatangan ke pulau di lepas pantai timur Sumatera ini. Pada 2008, tercatat kunjungan wisatawan sebanyak kira-kira 32 ribu orang. Popularitas Belitung terus menanjak, hingga pada 2016 lebih dari 230 ribu wisatawan mengunjungi Belitung.

Di luar efek wisatanya yang begitu masif setelah Laskar Pelangi, produser Mira Lesmana mengatakan, ia tak pernah dengan sengaja membuat film dengan tujuan utama mempromosikan wisata. “Menggaet penonton pertama-tama harus dengan cerita yang bagus. Lokasi tidak boleh jadi sekadar tempelan,” ujarnya, Jumat (2/6).

“Pentingnya film adalah memperkenalkan keragaman. Di pelosok Indonesia banyak sekali cerita menarik, dari sinilah film mestinya bermula. Ini bisa merefleksikan wajah Indonesia,” tambah Mira.

Semaraknya wisata karena film adalah efek samping, tapi bukan satu-satunya. Dalam proses pembuatan film berlangsung pula pertukaran ekonomi dan budaya, yang dapat membuat daerah kian hidup. Namun, hanya mengandalkan orang dari luar daerah untuk menggarap film di daerah bukanlah opsi yang bisa menjamin keberkelanjutan geliat ekonomi dan budaya.

“Yang kemudian harus digiatkan juga adalah komunitas-komunitas di daerah itu. Merekalah yang paling paham daerah mereka sendiri sehingga bisa menyampaikan cerita dari kacamata orang lokal,” imbuh Mira.

Inisiatif daerah

Kesadaran sejumlah daerah akan pentingnya menumbuhkan ekonomi kreatif, termasuk film, untuk memberikan dampak positif bagi perkembangan daerahnya kian meningkat.

Berdasarkan inisiatif mereka sendiri, beberapa daerah bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyiapkan diri untuk memberikan servis produksi bagi pegiat film yang ingin menggarap film di daerah tersebut, bahkan melakukan upaya-upaya untuk menghidupkan film dari sisi internal. Daerah tersebut adalah Siak (Riau), Bandung (Jawa Barat), Yogyakarta, serta Bojonegoro dan Banyuwangi (Jawa Timur).

Sebagai lokasi syuting saja, kelima daerah itu punya kekhasan masing-masing. Siak adalah kawasan yang atmosfer Melayunya begitu terasa. Bandung dikenal sebagai kota kreatif dengan beragam tempat menarik, mulai dari bangunan bersejarah, kotanya yang hidup, sampai alamnya yang cantik.

Yogyakarta kental dengan budaya Jawa, arsitektur keraton yang khas, dan alamnya yang membentang dari pantai sampai pegunungan. Bojonegoro mengunggulkan bioheritage-nya; hutan jati, kawasan penambangan minyak Wonocolo, juga Bengawan Solo. Sementara itu, Banyuwangi dikenal dengan kawasan yang keanekaragaman hayati dan alamnya begitu kaya, dengan taman nasional dan Kawah Ijen yang khas.

Beragam upaya dilakukan daerah-daerah ini untuk membuka pintu bagi pembuat film yang berminat menggarap film di daerah ini. Mulai dari kemudahan perizinan, fasilitas keamanan, penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan yang baik, melengkapi pelosok-pelosok dengan serat optik untuk dukungan teknologi informasi, sampai penyediaan penginapan yang memberikan diskon khusus.

“Indonesia selama ini memang sudah banyak diincar sebagai lokasi syuting, tetapi kesulitan perizinan, pungli, serta tidak adanya rabat atau insentif membuat ini terhambat. Di tingkat pusat, kami juga sedang memperjuangkan kemungkinan untuk pemberian insentif. Sementara ini, pemerintah daerah dengan peraturannya sendiri bisa memberikan insentif-insentif dalam bentuk lain,” terang Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Bekraf Endah W Sulistianti, Senin (5/6).

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal BKPM Himawan Hariyoga menambahkan, idealnya perizinan diurus oleh pusat sebab izin bagi investor asing adalah biaya, sehingga apabila terpusat mereka lebih nyaman.

“Sembari menunggu selesainya pendelegasian kewenangan dari Kemenpar ke Kemendikbud, kini sudah ditetapkan keseluruhan izin terkait perfilman sudah bisa dilakukan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BKPM. Sekarang sudah ditempatkan dua orang perwakilan dari Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) dari Kemendikbud di sini untuk membantu mengurus terkait izin-izin di bidang film,” ujarnya.

Beberapa daerah, seperti Banyuwangi, tidak saja mengundang pembuat film, tetapi juga berinisiatif sendiri membentuk komunitas-komunitas film di desa-desa. Bahkan, pada Desember 2016, Banyuwangi mengadakan lomba video kreatif dan Juli tahun ini akan menyelenggarakan festival film pendek.

Bupati Banyuwangi Azwar Anas mengatakan, “Produk-produk kreatif digital ini sudah tumbuh di desa. Sudah ada ratusan video dan film yang diproduksi.”

Bupati Bojonegoro Suyoto juga sadar betul akan potensi film dalam menggerakkan ekonomi dan budaya. Bojonegoro pernah digunakan sebagai lokasi syuting Hasduk Berpola yang tayang pada 2012. “Wisata sangat tergantung pada narasi. Dan film secara tidak langsung akan memberi narasi,” tuturnya, Kamis (1/6).

“Lebih dari itu, dampak yang sangat terasa setelah film Hasduk Berpola syuting di Bojonegoro adalah anak-anak jadi punya wawasan soal betapa industri kreatif bisa menjadi pilihan hidup untuk berkarya dan berkarier kelak,” imbuhnya.

Gerak daerah-daerah ini wujud semangat untuk memberikan ruang lebih luas bagi film sebagai produk seni dan budaya. Energi ini diharapkan menular ke daerah-daerah lain sehingga kelak terbentuk ekosistem yang sehat bagi tumbuhnya karya. [NOV]


Menambah Layar, Menggerakkan Industri

Film Indonesia pernah mengalami era keemasan pada era 1970-an. Film nasional merajai layar bioskop Tanah Air. Sayangnya, dua dekade berselang, semua berubah. Film Indonesia berada di bawah bayang-bayang film impor.

Namun, pendulum perubahan kembali berpihak pada film nasional pada 2016. Industri film Indonesia bisa dikatakan mendapatkan momentumnya dengan diterbitkannya Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2016 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Perpres ini menyatakan film sebagai bidang usaha yang terbuka 100 persen untuk penanaman modal asing, mulai dari sektor produksi, distribusi, jasa teknis, dan ekshibisi.

Pegiat film Indonesia sekaligus pengurus Badan Perfilman Indonesia Lalu Roisamri melihat hal ini sebagai momentum yang harus dimanfaatkan. Perpres ini menunjukkan, pemerintah kembali hadir untuk memberikan dukungan. Investasi asing diharapkan mampu menambah jumlah layar di Indonesia.

“Saat ini, jumlah layar di Indonesia baru sekitar 1.100-1.200 layar. Itu pun terbatas di kota besar saja dan kebanyakan di Jawa. Dengan penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 250 juta jiwa, angka tersebut sangat kurang. Idealnya, jumlah layar di Indonesia adalah 15.000 layar,” ujarnya, Selasa (6/6).

Penambahan jumlah layar ini diharapkan mampu meningkatkan kuota film Indonesia di bioskop sehingga mampu menjaring lebih banyak penonton. Jumlah layar ini, tentu saja, memengaruhi hitungan bisnis dunia film. Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menargetkan dalam lima tahun bisa menambah 5.000 bioskop dengan total 20.000 layar.

“Terbatasnya jumlah layar membuat produser berhitung, berapa dana yang bisa kembali nantinya. Mau tidak mau, film itu menjadi seperti investasi tersendiri layaknya bisnis lainnya. Semakin banyak layar, jumlah penonton, pendapatan, dan mutu film bisa semakin meningkat,” tambah Lalu.

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Himawan Hariyoga sepakat, jumlah layar bioskop harus diperbanyak. “Multiplier effect industri film sangat besar karena melibatkan banyak pihak dan bidang. Serapan tenaga kerjanya pun banyak sekali. Kesempatan 100 persen asing untuk berinvestasi di bidang ini tentu sangat diharapkan,” tuturnya, Kamis (8/6).

Adapun perkembangan yang bisa dilihat dari data BKPM, antara lain, adanya peningkatan perizinan usaha perfilman dari 143 izin pada 2015 menjadi 156 izin pada 2016. Sementara itu, izin produksi film meningkat dari 193 izin pada 2015 menjadi 282 izin pada 2016.

“Sekarang pun, sudah ada tiga investor dari luar negeri yang sudah masuk dengan nilai investasi mencapai 576 ribu dollar AS. Hongkong itu untuk jasa penyuntingan dan pengisian suara, Perancis untuk produksi film, dan Selandia Baru untuk studio pengambilan gambar film,” ujarnya.

Namun, masuknya investasi asing ini tentu harus diantisipasi dengan menyiapkan SDM dalam negeri juga, terutama dalam hal pendidikan, agar daya saing kita meningkat. Tercatat, di Indonesia hanya ada 5 sekolah film. Sementara itu, Korea Selatan punya 300 sekolah film. Sutradara Mouly Surya juga menyoroti hal ini. Menurutnya, apresiasi film dan seni di negeri sendiri masih rendah.

“Pendidikan untuk membuat orang lebih melek seni dan budaya menjadi penting. Apresiasi seni jadi dasar pembuatan film, kalau apresiasi bisa ditingkatkan, iklim perfilman juga bisa membaik,” katanya, Jumat (2/6).

Diplomasi film

Bekraf, yang salah satu perannya memasarkan karya kreatif berupa film, juga tidak tinggal diam. Bekraf telah berupaya melalui diplomasi film hingga ke luar negeri. Ada empat hal yang dipasarkan, yaitu proyek film yang akan diproduksi, festival film, lokasi syuting, dan film yang siap dijual. Keempatnya dibawa hingga ke Festival Film Internasional Cannes dan Shanghai.

“Kami ke Shanghai untuk menjajaki kerja sama, salah satunya menambah jumlah layar. Sejalan dengan itu, kami juga bertemu dengan beberapa sutradara China. Dan mereka memang tertarik syuting di Indonesia. Salah satunya, Jonathan Shen, sutradara film Kungfu Yoga,” ujar Deputi Bidang Pemasaran Bekraf Joshua Simandjuntak, Rabu (31/5).

Bekraf juga bertemu dengan penyelenggara Silk Road Festival untuk menjajaki kemungkinan kerja sama di ranah film festival. Joshua melihat, kerja sama ini tidak harus melulu menyangkut jumlah penonton atau investasi uang.

“Kami ingin memberikan kesempatan lebih luas bagi pembuat film Indonesia untuk bisa tampil di luar negeri. Kualitas film kita juga bagus. Saya sedang terpikir untuk membawa beberapa film festival kita yang sudah berstandar internasional ke Silk Road atau Shanghai Film Festival,” ungkapnya.

China bisa menjadi pilihan yang baik, melihat industri film di sana tumbuh dengan pesat. Kini, jumlah layar di China sudah mencapai 45 ribu, melampaui jumlah layar di AS. Jangan tanyakan soal penontonnya. Film Princess Wei Yang misalnya, bisa menembus angka 20 miliar kali ditonton.

“Di sana bahkan ada kawasan sangat luas bernama Hengdian yang membangun banyak sekali latar dan fasilitas untuk syuting. Kini, di tempat itu saja ada 271 film yang diproduksi dalam satu tahun. Pelaku film tidak dibebani biaya yang besar karena pengelolanya mengatakan ada fans ekonomi di belakangnya. Lokasi film ini bisa memanggil 16 juta pengunjung setiap tahunnya. Konsep ini yang menarik untuk dibawa ke Indonesia,” ujarnya.

Kini peluang industri film untuk berkembang menjadi lebih besar karena lini-lini kolaborasi dan investasi telah kian terbuka. “Menjual industri film dalam satu paket secara tidak langsung akan rantai menggerakkan rantai ekonomi,” pungkasnya. [NOV/VTO]


Upaya Tingkatkan Visibilitas Sinema Indonesia

Sinema Indonesia punya pekerjaan rumah untuk meningkatkan visibilitasnya di kancah internasional. Cara yang ditempuh, misalnya, memperkuat kapasitas sineas Indonesia dan membangun jejaring dengan pegiat perfilman global.

Produser Meiske Taurisia mengenang saat-saat ketika ia bersama sutradara Edwin membawa proyek film Postcard from the Zoo dalam program Feature Lab pada Torino Film Lab (TFL) di Turin, Italia, pada 2009. Di sana, proposal film ini dibahas secara menyeluruh lewat mentoring maupun diskusi-diskusi dengan sineas dari negara lain yang juga mengikuti program Feature Lab.

Pada akhir program, mereka mempresentasikan proyek tersebut kepada ratusan entitas perfilman. “Saya ingat sekali, masing-masing peserta Feature Lab harus pitching di depan sekitar 300 orang dengan latar beragam; produser, funder, distributor, agen penjualan, dan bioskop. Setelah itu, kami diberi waktu tiga hari untuk melakukan rapat dengan entitas perfilman yang mungkin tertarik dengan proyek film kami,” tutur Meiske, Kamis (1/6).

Sebagai lab film, TFL bisa dibilang salah satu yang paling bergengsi. TFL membina sineas-sineas baru menjadi sineas internasional yang bisa dikenal masyarakat film dunia. Kualitas sineas dan film-film jebolan TFL pun cukup diakui festival-festival besar. Postcard from the Zoo, misalnya, diputar perdana di Berlin International Film Festival 2012 dan mengikuti sejumlah festival film dunia.

Merasakan langsung betapa berharganya pengalaman digembleng di Torino Film Lab, pada 2016 Meiske menjadi perantara bagi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk bekerja sama dengan TFL. Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Bekraf Boy Berawi mengamini signifikannya program inkubasi FeatureLab di TFL untuk meningkatkan jejaring dan kompetensi sineas Indonesia.

Feature Lab TFL ditujukan bagi proyek film panjang pertama atau kedua. Dalam program ini, sineas didampingi untuk merencanakan film dengan matang. Pembinaan ini mencakup materi penulisan naskah, penyutradaraan, sinematografi, perancangan sasaran audiens, produksi, pendanaan, sampai distribusi.

Pertukaran siasat

Kerja sama Bekraf dengan TFL berbuah pada dibawanya proyek film dari Indonesia ke Feature Lab tahun ini. The Autobiography (sutradara Makbul Mubarak, produser Yulina Evina Bhara) dan Tale of the Land (sutradara Loeloe Hendra, produser Siska Rahardja) menjadi 2 dari 12 proyek film dari seluruh dunia yang digodok di Feature Lab.

The Autobiography berkisah tentang seorang pensiunan jenderal yang ingin memfilmkan kontribusinya untuk sejarah Indonesia. Ia bertemu dengan anak muda yang menurutnya mirip dengan dirinya ketika muda dan melatihnya secara militer untuk menjadi aktor yang memerankan dirinya.

Sementara itu, cerita Tale of the Land berpusat pada seorang anak perempuan yatim piatu yang selalu jatuh pingsan setiap kali menapakkan kakinya di tanah. Ia tinggal di rumah apung di danau bersama seorang nelayan yang mengasuhnya sejak kecil.

Makbul mengatakan, sejak awal ia ingin filmnya dikerjakan dengan skema co-production, diproduksi bersama-sama dengan negara lain. “TFL bisa menjadi eksposure awal film ini ke negara-negara lain. Barangkali lewat TFL mereka akan tahu tentang proyek film ini dan tertarik untuk membuat film bersama-sama,” ujar Makbul, Jumat (2/6).

Makbul juga beranggapan, salah satu konsekuensi dari keinginan Indonesia untuk mengenalkan sinemanya kepada dunia adalah memastikan cerita-cerita yang disampaikan lewat film-film dipahami juga oleh orang di luar Indonesia. Inkubasi di TFL memberikan orang-orang dari berbagai negara kesempatan untuk saling mengeksplorasi ide cerita.

“Menurut saya, pembelajaran yang penting dari TFL didapat dari orang-orang yang hadir di sana, baik mentor maupun peserta. Saya bisa mendengar bagaimana mereka berproses. Pertukaran pengetahuan dan siasat ini penting karena tiap negara memproduksi film dengan cara yang berbeda-beda,” imbuh Makbul.

Feature Lab tahun ini terbagi atas tiga sesi lokakarya residensial, yaitu di Rotterdam, Belanda (Juni); Miskolc, Hongaria (September); dan Turin, Italia (November). Setiap prosesnya memberikan kesempatan berharga kepada para sineas untuk berkembang dan meluaskan jaringan. Pada ajang Cannes Film Festival Mei lalu, Bekraf dan TFL juga menandatangani kesepakatan kerja sama untuk menyertakan dua proyek film Indonesia pada FeatureLab dan ScriptLab 2018. [NOV]

Foto-foto Kompas/Ambrosius Harto, Iklan Kompas/Antonius SP, dokumen Pemda Bojonegoro, dokumen Makbul Mubarak.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Juni 2017