Dalam kerangka Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), pemerintah Indonesia telah menetapkan target, yang bisa dikatakan ambisius, untuk meningkatkan persentase pemegang rekening di lembaga keuangan formal menjadi 75 persen di 2019. Ini merupakan langkah besar untuk mencapai tujuan keuangan inklusif, melihat sekarang persentase itu hanya mencapai 36 persen.

Banyak inisiatif yang telah dilakukan untuk mendongkrak inklusi keuangan, salah satunya dengan agen individu. Cara ini memanfaatkan gerai penjual pulsa, warung, dan agen-agen individual untuk membantu menyediakan layanan transaksi setor, Tarik, dan pembayaran. Cara ini berhasil dilakukan di Bangladesh.

Sebanyak 76 persen agen keuangan digital inklusif di Bangladesh adalah agen individual. Mereka berperan penting dalam pertumbuhan Layanan Keuangan Digital (LKD). Sebanyak 39,6 juta atau hampir 25 persen dari total populasi pengguna LKD melakukan transaksi rata-rata sebesar 92,6 juta dollar AS atau setara Rp 534.600 miliar per hari. Keberhasilan ini ditunjang oleh peraturan yang memungkinkan perluasan agen individu sampai ke pelosok negeri. Selain Bangladesh, LKD di India juga telah menjangkau 53,1 persen dari total jumlah penduduknya atau setara 800 juta jiwa.

Peran bank dan nonbank

Saat ini, regulasi hanya membolehkan lembaga perbankan yang bisa bekerja sama dengan agen individual. Hal ini menghambat percepatan layanan keuangan inklusif di Indonesia. Pembatasan ini muncul karena masih adanya persepsi, agen individu minim pengetahuan untuk mengelola transaksi berbasis teknologi sehingga rawan terhadap risiko keuangan.

Padahal, jika melihat pengalaman lembaga nonbank, dalam hal ini perusahaan telekomunikasi, di Kenya, Tanzania, Uganda, Filipina, dan lainnya telah berhasil mengelola jaringan agen individu yang sangat luas dan berperan penting dalam meningkatkan inklusi keuangan di negaranya.

M-Pesa di Kenya, contohnya, yang dikelola Safaricom mempunyai lebih dari 25 juta pengguna (53 persen dari jumlah populasi) yang dilayani oleh 120 ribu agen individu. Akses layanan keuangan formal pun meningkat dari 25 persen di 2006 menjadi 68 persen di 2014. Namun, yang terpenting adalah regulator harus memastikan lembaga nonbank itu mampu mengelola risiko saat menggunakan agen individu.

KYC dan CDD

Agen individu bisa sangat membantu dalam semua kegiatan perbankan, mulai dari membuka rekening hingga membantu transaksi keuangan tanpa batas waktu dan jarak, terutama di daerah yang tak terjangkau kantor cabang bank. Agen ini juga harus dibekali pengetahuan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer/KYC) dan Customer Due Diligence (CDD). Hal penting agar risiko pencucian uang dan penyalahgunaan dana untuk dukungan kegiatan terorisme bisa diminimalisasi.

Negara seperti India, Pakistan, Sri Lanka, dan Kenya telah menerapkan identitas unik untuk meminimalisasi hal tersebut. Identitas unik mempermudah identifikasi dan verifikasi nasabah secara digital. Basis data pun menjadi terpusat dan proses pemindahan KYC dan CDD dari agen ke penyedia LKD inklusif menjadi aman. Indonesia pun sebenarnya sudah memiliki identitas unik yang terdapat di e-KTP dan sudah bisa digunakan karena 86 persen penduduk di Indonesia sudah memegangnya.

Melindungi nasabah

Jika agen individu tidak dimonitor dengan efektif, risiko penipuan atau tindakan kriminal seperti penipuan digital (phishing), pemalsuan uang, dan akses ilegal ke perangkat transaksi agen bisa terjadi. Regulator dapat memitigasi hal ini dengan menerapkan peraturan yang mewajibkan penyedia LKD inklusif untuk bertanggung jawab terhadap kerugian yang muncul akibat aksi penipuan atau tindak kriminal. Peraturan ini akan mendorong penyedia LKD inklusif untuk membangun sistem pengawasan yang lebih kuat dan menentukan persyaratan serta uji kelayakan untuk agen.

Walaupun demikian, melindungi nasabah tidaklah mudah. Sebab, hanya 8 persen dari penduduk Indonesia yang melek keuangan digital dan 0,4 persen dari penggunanya rentan terhadap risiko penarawan produk yang salah, penerapan harga terlalu tinggi, dan lainnya. Oleh karena itu, pelatihan terhadap agen individu harus dilakukan dengan baik.

Negara seperti Kenya, Tanzania, dan Pakistan menanggulangi isu ini dengan mengedepankan keterbukaan atau transparansi terhadap biaya yang dikenakan melalui berbagai media (brosur, website, dan lainnya). Proses edukasi ini diikuti dengan menyediakan berbagai jalur khusus untuk pengaduan, antara lain nomor bebas biaya atau media sosial. Di sana juga menetapkan batas waktu penyelesaian pengaduan dan membuat mekanisme eskalasi untuk pengaduan agar dapat membantu menangani masalah perlindungan nasabah ini.

Perkuat ekonomi rakyat

Agar target tersebut bisa tercapai, manager agen harus memastikan agennya lebih cakap, aktif, dan memiliki likuiditas tinggi, serta sigap menyelesaikan berbagai kendala, selain mengejar manfaatnya. Manager agen juga harus mampu mendorong minat dan pertumbuhan agen menjadi lebih banyak hingga ke pelosok daerah agar berdampak pada perluasan lapangan pekerjaan. Regulasi pun harus terus didorong agar agen perusahaan telekomunikasi dan financial technology (fintech) dapat menjalankan peran sebagaimana layaknya agen Laku Pandai atau LKD.

Pasalnya, jumlah pemilik simcard di Indonesia saat ini mencapai 311,4 juta atau 130 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sayangnya, hanya 0,73 persen yang menggunakan telepon seluler untuk mendapatkan layanan keuangan. Jadi, bisa dibayangkan kalau agen-agen perusahaan telekomunikasi dan fintech yang ada di Indonesia diajak masuk menjadi agen Laku Pandai. Dengan memanfaatkan kedekatan mereka dengan masyarakat, layanan keuangan inklusif bisa menjangkau pelosok.

Mereka pun sudah pasti familiar dengan teknologi telepon seluler, sehingga sosialisasi dan mengajak masyarakat masuk dalam jaringan layanan keuangan bisa lebih mudah. Dengan mendongkrak jumlah agen individual seperti agen-agen telekomunikasi dan fintech, ditopang oleh keberadaan agen manager, bukan tidak mungkin target Pemerintah Indonesia untuk keuangan inklusif dapat lebih cepat tercapai. [*/VTO]