Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Menciptakan Ruang Digital yang Aman dari Kekerasan Seksual Online”. Webinar yang digelar pada Kamis, 29 Juli 2021 di Kabupaten Lebak, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Andika Renda Pribadi (Kaizen Room), Riri Khariroh (aktivis perempuan), Wulan Furrie MIKom (Praktisi dan Dosen Manajemen Komunikasi Institut STIAMI), dan Yuli Setiyowati (Kaizen Room).
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Andika Renda membuka webinar dengan mengatakan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan jika mendapati atau menjadi korban kekerasan seksual. Pertama, dokumentasikan hal-hal yang terjadi secara detail. Lalu, pantau situasi yang dihadapi, dan sebisa mungkin jangkau bantuan terdekat. Kemudian lapor dan blokir pelaku.
“Kemudian hal lain yang bisa kita lakukan selanjutnya adalah dengarkan curahan hati korban, tidak menyalahkan korban, berikan informasi dan dukungan terhadap korban yang baru saja mengalami hal tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan, banyak kasus yang terjadi di Indonesia terjerat oleh UU ITE pasal 27 ayat 1 karena memuat konten melanggar kesusilaan, yaitu konten pornografi. “Sering kita temui pula kasus akun yang mengganggu kenyamanan kita karena unggahan konten yang disebarkannya, seperti menyebar konten pornografi, hoaks, dan ujaran kebencian. Dalam hal ini, kita diharapkan turut berpartisipasi dengan melaporkan akun tersebut pada penyedia media sosial.”
Riri Khariroh menjelaskan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.
“Sehingga menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender dan atau sebab lainnya, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik,” katanya.
Adapun jenis-jenis kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, intimidasi seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, dan pemaksaan pelacuran.
Biasanya pelaku adalah orang-orang terdekat dengan korban seperti pacar, mantan pacar, suami, mantan suami, kemudian disusul saudara, teman, dan orang asing. Sehingga, kekerasan terhadap perempuan di dunia maya memodifikasi kekerasan terhadap perempuan dalam dunia nyata dan meluas bentuknya, dengan semakin berkembangnya teknologi internet.
“Hal yang harus dilakukan yakni membangun sistem dan mekanisme pengaduan untuk korban. Perlindungan bagi pelapor, layanan pemulihan untuk korban baik fisik dan psikis. Penanganan pelaku kekerasan seksual yang menimbulkan efek jera dan adanya sanksi dan hukuman yang setimpal,” harap Riri.
Wulan Furrie turut menerangkan, pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat, dan tindakan yang berkonotasi seksual.
“Media sosial seharusnya menjadi wadah efektif untuk berekspresi dan tempat bagi anak perempuan untuk menjadi dirinya sendiri. Sayangnya, medsos juga menjadi wadah bagi orang yang tidak bertanggung jawab untuk mempermalukan, mencemarkan nama baik seseorang, sampai melakukan pelecehan seksual,” katanya.
Sebagai pembicara terakhir, Yuli Setiyowati memaparkan, keamanan digital adalah kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.
“Bentuk-bentuk kekerasan online yakni, kekerasan seksual yang difalisitasi teknologi terhadap orang lain melalui internet secara real time, interaksi ini biasanya berbayar dan ekslusif,” ungkapnya.
Lalu, ada penyebaran konten seksual. Tindakan ini berupa penyebaran foto, video, dan tangkapan layar percakapan antara pelaku dan korban. Terakhir adalah balas dendam dengan pornografi.
Dalam sesi KOL, Gina Sinaga mengatakan, sekali kita turun di dunia digital, maka kita tidak akan pernah jauh dari kata aman. Untuk itu kita harus berhati-hati dalam menggunakan media digital. “Harus sadar dalam menggunakan media. Gunakanlah media dengan bijak dengan men-share konten positif, cari ilmu dan wawasan dalam artian positif tentunya. Ikutilah orang-orang yang sejatinya bisa memberikan dampak positif kepada kita.”
Salah satu peserta bernama Abiyoso berpendapat, pada kasus eksploitasi tubuh yang dilakukan seseorang secara berbayar, keduanya memiliki kesepakatan yang sama-sama menguntungkan. “Apakah ini juga termasuk kekerasan seksual online?” tanyanya.
Menjawab hal tersebut, Riri mengatakan, meskipun dilakukan seolah keduanya sama-sama mau, tetaplah itu digolongkan kekerasan seksual. “Ada relasi kuasa di sana dengan berbagai macam jenis. Kalau dilakukan sama-sama mau tentu ada faktor dibaliknya. Kenyataannya tidak ada perempuan yang ingin menjadi pelacur, kebanyakan dari mereka jadi korban KDRT, kekerasan seksual dan hal lainnya.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Lebak. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]