Anak adalah investasi masa depan yang paling berharga. Demikian sebuah ungkapan bijak yang sangat penting untuk diperhatikan bersama. Setiap orangtua pastinya mengharapkan yang terbaik untuk anaknya.
Orangtua ingin melihat anaknya tumbuh sehat, cerdas, berprestasi dan setelah dewasa, sukses. Anak yang tumbuh sehat dan berkualitas, kelak mampu mencapai penghasilan yang baik dan mencukupi secara ekonomi sehingga dapat hidup sejahtera dan terbebas dari rantai kemiskinan. Hal ini akan memberi keuntungan tidak saja bagi diri anak, orangtua dan keluarga, tetapi juga negara.
Investasi sejak awal
Untuk mempersiapkan masa depan anak, orangtua harus berusaha sejak dini, dengan menjamin kebutuhan gizi anak dari masa awal kehamilan. Orangtua harus memastikan kecukupan gizi dan kesehatan anaknya sejak awal kehidupannya atau dalam periode 1.000 hari pertamanya.
Sejak masa hamil, ibu harus menjaga kesehatannya dan mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang dengan banyak mengkonsumsi makanan dari sumber protein hewani yang mengandung banyak zat besi seperti: hati, telur dan ikan, mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) untuk memastikan kecukupan zat besi pada janin demi tumbuh kembang otak dan organ penting lainnya dalam kandungan.
Selain mendapat pelayanan kesehatan yang optimal seperti mendapat imunisasi lengkap, anak juga harus mendapatkan vitamin A dan obat cacing, serta pengobatan bila sakit.  Kebutuhan zat gizi anak dapat terpenuhi dengan mendapat ASI saja selama enam bulan  pertama, dan diteruskan sampai anak berusia dua tahun serta mendapat makanan pendamping setelah usia enam bulan yang sesuai kebutuhannya. Selain itu, anak dibawa ke posyandu setiap bulan untuk memantau pertumbuhannya. Orangtua diharapkan memahami hasil pemantauan kesehatan dan gizi anaknya dan berdiskusi dengan kader atau tenaga kesehatan tentang pola asuh yang baik yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Gizi yang cukup memacu pertumbuhan otak dan fisik anak sehingga anak bisa berprestasi hingga masa dewasanya kelak. Investasi ini yang harus dilakukan orangtua sejak awal. Sebaliknya, jika investasi untuk gizi anak tidak dilakukan dengan baik, anak akan mengalami kekurangan gizi, yang jika terjadi dalam jangka menahun, akan berakibat pada terganggunya perkembangan otak dan pertumbuhan fisik anak, yang ditandai dengan tinggi anak lebih rendah dari standar usia seumurnya atau yang sering disebut dengan stunting. Â Stunting pada anak meningkatkan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) di masa dewasa.
Yang tidak kalah penting adalah masih lemahnya budaya hidup sehat masyarakat seperti menolak imunisasi, pantang makan ikan, serta anak tidak mendapatkan prioritas untuk mendapatkan makanan yang terbaik. Ini harus dihentikan.
Orangtua juga harus memperhatikan sanitasi dan higienitas. Kondisi higienitas dan sanitasi yang bersih mencegah anak dari penyakit yang bersumber dari kondisi lingkungan kotor seperti diare, yang adalah penyebab kematian nomor dua pada balita. Jika balita mengalami diare berulang, menyebabkan gizi yang seharusnya untuk pertumbuhan balita terbuang. Hal ini membuat balita mengalami stunting. Salah satu cara efektif mencegah diare adalah dengan mencuci tangan pakai sabun dan buang air besar di jamban yang sehat.
Kerugian negara
Stunting pada balita menghambat pertumbuhan fisik dan otaknya, yang akan menyebabkan anak sulit berprestasi, dan lebih rentan terkena penyakit. Kondisi ini akan menjadi beban ekonomi yang besar bagi orangtua. Anak yang mengalami stunting tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang produktif dan sulit bersaing.
Negara juga mengalami kerugian jika anak mengalami stunting. Berdasarkan hasil penelitian UNICEF (2010), beban ekonomi negara akibat beban biaya kesehatan dan kehilangan produktivitas akibat stunting bisa mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun. Di Indonesia, ini berarti kerugian sebesar Rp 300 triliun per tahunnya. Saatnya kita bersama memperhatikan investasi pada 1.000 hari pertama anak demi masa depannya. Cegah Stunting, Itu Penting. [IKLAN/*/ACA]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 27 Februari 2018