Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Hati-Hati, Mengenal UU ITE di Dunia Digital”. Webinar yang digelar pada Kamis, 1 Juli 2021, di Kabupaten Tangerang itu diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Maureen Hitipeuw (Kaizen Room), Asep Kambali (sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia), Arief Hidayatullah SIkom MSi (Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi STISIP Bima), dan Sumedi (praktisi pengembangan situs web).
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Maureen Hitipeuw membuka webinar dengan mengatakan, era digital seperti saat ini membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi secara online dan real time.
Sayangnya, di dunia digital terdapat banyak konten negatif yang dapat berdampak negatif. Untuk mengatur peredaran konten negatif tersebut, harus diperlukan etika dan sebenarnya sudah dibuat undang-undang oleh pemerintah.
“UU ITE adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik atau teknologi informasi secara umum,” kata Maureen.
Konten negatif atau konten ilegal di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) dijelaskan, sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna.
“Hal yang perlu diketahui di UU ITE, yakni jangan membuat, membagikan, atau memberikan akses konten bermuatan kesusilaan. Jangan sembarang mengancam, memeras, dan mencemarkan nama baik seseorang,” katanya.
Sementara itu, etika dalam komunikasi di ruang digital, yakni menggunakan kata-kata yang layak dan sopan, waspada dalam menyebarkan informasi yang berkaitan dengan SARA, pornografi, dan kekerasan.
“Ingatlah bahwa jejak digital mungkin tidak akan bisa dihapus. Sampaikan dengan bijak, sopan, dan santun serta mengikuti etika sekaligus peraturan yang berlaku,” pesan Maureen.
Asep Kambali mengungkap fakta bahwa nilai-nilai kebangsaan di masyarakat terbilang rendah. Di media sosial, sering kita lihat banyak netizen yang melecehkan gambar pahlawan, melecehkan gambar kepala negara, melecehkan lambang negara, tidak paham sejarah, hingga melarang lagu “Indonesia Raya”.
“Sebagai individu, kita punya cita-cita. Negara Indonesia diproklamasikan oleh para pendiri bangsa juga dengan cita-cita. Sebagai maritim terbesar di dunia, Indonesia merupakan negeri lautan dengan taburan ribuan pulau di atasnya, terpadu aneka ragam potensi alam dan budaya yang menjadikan Indonesia sangat kaya,” katanya.
Sejak ribuan tahun, Indonesia menjadi tempat persinggahan masyarakat dunia. Mereka datang dari berbagai bangsa dengan membawa ragam budaya dari tanah asalnya. Lalu budaya asing tersebut, berpadu dengan budaya asli indonesia melalui interaksi, asimilasi, dan akulturasi.
Oleh karena itu, melahirkan berbagai bentuk budaya baru yang bercampur dalam balutan kearifan lokal, membentuk model indonesia dangan karakteristik Indonesia dan cita rasa Indonesia sehingga diperlukan digital mindset, yakni kumpulan keyakinan dalam diri yang menunjukan orientasi dan cara melihat situasi dalam konteks digital tertentu dan melihat situasi dalam konteks digital tertentu dan memilih respons terhadap konteks itu.
“Mindset adalah perilaku. Mindset yang tidak tepat akan berakibat buruk, membuat tidak mau berubah, atau memungkinkan berubah ke arah yang salah. Untuk itu, diperlukan self-awareness, yakni kemampuan mengenali dan mengendalikan diri, memahami kekurangan dan kelebihan, menyadari passion serta tujuan hidup,” paparnya.
Arief Hidayatullah menambahkan, globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Kemajuan teknologi informasi telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
“Pemanfaatan teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
“Pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum, sehingga pemanfaatannya bisa dilakukan secara aman. Sementara untuk mencegah penyalahgunaannya, dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia,” paparnya.
Sebagai pembicara terakhir, Sumedi menjabarkan bahwa digital skill atau kecakapan digital adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan lunak, teknologi informasi, internet, dan komputer (TIK) serta sistem operasi digital.
Selain dibutuhkan digital skill, untuk mengatur kegiatan masyarakat di dunia digital, dibuatlah UU ITE. “Adapun perbuatan yang bisa terkena UU ITE yaitu membuat, membagikan atau memberikan akses konten bermuatan kesusilaan/pornografi, mengancam, memeras, dan mencemarkan nama baik seseorang, menyadap, muatan perjudian, berita hoaks, serta ujaran kebencian bernuansa SARA,” ujarnya.
Ancaman untuk penyebaran kebencian ada di pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Abdullah menanyakan, jika ada seseorang yang membuat postingan mengandung perbuatan UU ITE, lalu ada orang lain meng-capture posting-an tersebut.
Akan tetapi, sebelum laporan diterima pihak berwajib postingan tersebut sudah dihapus, apakah laporan tersebut akan tetap diteruskan atau dihentikan? “Mengenai dunia digital ada yang namanya jejak digital, misal sudah pernah membuat status pada masa lalu walaupun sudah dihapus tetapi orang lain sudah di-screenshoot, harus berhati-hati dalam mem-posting sesuatu jangan posting-an yang aneh-aneh,” jelas Sumedi.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.