Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Stop di Kamu! Lawan Pelecehan Seksual di Media Digital”. Webinar yang digelar pada Senin (20/9/2021) di Jakarta Utara, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Bondan Wicaksono – Akademisi dan Penggiat Masyarakat Digital, Dr. Ni made Ras Amanda, S.Sos, M.Si, – Japelidi, Univ. Udayana, Muhammad Yunus Anis, S.S., M.A. – Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univ. Sebelas Maret dan Ari Ujianto – Penggiat Advokasi Sosial.
Meningkat
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Bondan Wicaksono membuka webinar dengan mengatakan, kekerasan seksual online di masa Pandemi selama tahun 2020 mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Dari hasil pemantauan SAFEnet, sepanjang tahun lalu mencapai 620 kasus atau lebih dari 10 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Jenis-jenis pelecehan seksual secara verbal yakni komentar seksual tentang tubuh atau penampilan seseorang, bersiul atau catcalling.
“Sementara untuk non verbal, yakni elevator eyes atau memandangi seseorang dari atas hingga bawah, menampilkan/mengirimkan gambar bernuansa seksual, ekspresi wajah seperti mengedip, melempar ciuman, dan menjilati bibir. Semua memang bisa menjadi korbannya, maka pentingnya cakap di dunia digital,” katanya.
Dr. Ni made Ras Amanda menambahkan, sejak tahun 2020 Indonesia menjadi netizen paling tidak sopan se-Asia Pasifik. Itu berarti masih rendahnya etika digital yang dimiliki oleh netizen Indonesia.
Hal tersebut dikarenakan banyaknya kasus perundungan atau cyber crime yang ada di Indonesia, salah satunya pelecehan secara online. Jenis pelecehan online yang biasanya diterima yakni julukan menyakitkan, olokan yang memalukan, ancaman fisik, pelecehan terus menerus, stalking.
“Oleh sebab itu yuk mari kita bijak dalam bermedia digital. Mari kenali modus dan tipe kekerasan berbasis gender online, seperti pendekatan untuk memperdaya orang, peretasan, konten ilegal, pelanggaran privasi dan ancaman distribusi foto/video pribadi,” ujarnya.
Adapun cara untuk menghindari pelecehan seksual di media sosial, yaitu blok konten online yang menggambarkan perempuan sebagai objek seksual. Blok akun yang kirim pesan mengganggu seperti ancaman, hate speech, dan pesan lainnya yang berisi pelecehan.
Pelecehan
Muhammad Yunus turut menjelaskan, di dalam bermain media digital banyak pelecehan yang bisa terjadi baik korbannya adalah perempuan maupun laki-laki, namun memang yang paling sering mendapatkan pelecehan adalah perempuan.
Oleh sebab itu perempuan memiliki hak digital, yaitu mewujudkan hak digital perempuan secara optimal, pelecehan seksual, khususnya di ranah digital merupakan bagian dari cyber crime dan harus dilaporkan ke pihak berwajib, pelecehan seksual merampas kebebasan, merusak dan mengakibatkan penderitaan fisik, seksual dan psikologis.
“Kita harus bijak dalam bersosial media, kenali dan lapor kan berbagai bentuk pelecehan seksual di ranah digital. Bermain sosial media memang merupakan hak untuk setiap orang, tetapi kita harus tetap menjaga sikap karena itu adalah hal yang utama,” jelasnya.
Sebagai pembicara terakhir, Ari Ujianto mengatakan, pelecehan seksual bisa terjadi terhadap siapapun melalui cara-cara lisan, komentar tak diinginkan tentang kehidupan pribadi. Isyarat, bahasa tubuh yang bernada seksual dan fisik, kontak langsung tubuh dengan nafsu.
“Ada hukuman bagi pelaku pelecehan seksual yaitu UU nomor 23 tahun 2004. Salah satu cara untuk mengurangi bahaya internet/media digital khususnya bagi anak agar bisa terhindar dari pelecehan adalah dengan menjaga keamanan anak di platform digital,” jelasnya.
Menurutnya, pelecehan seksual tak hanya terjadi pada perempuan, laki-laki dan gender lain pun berpotensi juga untuk menjadi korban. Penyimpangan tersebut telah mengakar, bahkan dianggap membudaya di Indonesia.
Dalam sesi KOL, Tyra Lundy menjelaskan, dirinya pernah mengalami mendapatkan komentar negatif walaupun itu bukan kesalahannya. “Sebenarnya orang Indonesia itu kreatif-kreatif, tapi terkadang kreatifitasnya itu mengarah ke bullying, tanpa mencari tahu dulu kebenarannya dan boleh atau tidaknya,” katanya.
Batasan
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Belia menanyakan, bagaimanakah batasan yang seharusnya diberikan oleh orang tua kepada anaknya dalam penggunaan media sosial?
“Sebenarnya ada teori yang mengatakan untuk anak usia di atas 12 tahunlah baru bisa diberikan smartphone, namun karena adanya pandemi ini bahkan anak TK pun sudah terbiasa menggunakan smartphone dalam mengerjakan tugas dari para gurunya. Bisa membatasi anak dengan melihat screen time di smartphone anak, apa saja yang dia lakukan dan berapa lama penggunaannya, berikan perjanjian kepada anak berapa waktu yang bisa digunakan jika melewati batas bisa memberikannya punishment,” jawab Ni Made.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Jakarta Utara. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.