Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Edukasi Literasi Digital di Masa Pandemi”. Webinar yang digelar pada Selasa, 7 Juli 2021 di Cilegon, itu diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Eko Sugiono (pakar pemasaran digital), Dr Lintang Ratri Rahmiaji SSos MSi (Dosen Fisip Undip), Maureen Hitipeuw (Kaizen Room), dan Dr Ahmad Ibrahim Badry (Dosen SKSG Universitas Indonesia).
Tema yang dibahas masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Ahmad Ibrahim membuka webinar dengan mengatakan bahwa sejak pandemi covid orang-orang mulai mengakses informasi secara digital, sehingga dunia digital terus meningkat.
Dalam melakukan kegiatan digital, kita perlu memperhatikan masalah keamanan (digital sefety). “Dasar dari digital safety sendiri merupakan kemampuan individu dalam mengenali, mengelompokan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari,” kata Ahmad.
Eko Sugiono menambahkan, hampir semua masyarakat Indonesia telah melek teknologi, khususnya internet. Namun, masih banyak yang menggunakannya hanya untuk hal-hal konsumtif saja, melakukan hal-hal yang kurang penting yang merugikan diri sendiri.
“Cara agar memanfaatkan internet dengan produktif ada beberapa hal, yaitu pasarkan produk Anda secara online. Karena saat ini sewa tempat sangat mahal maka dengan adanya pasar online lebih hemat biaya,” ujar Eko.
Ia menambahkan, ada beberapa contoh toko online yang bisa menjadi inspirasi, yakni Shopee, Tokopedia, dan sebagiannya. “Selain itu, dapat juga bergabung pada forum dan komunitas-komunitas di internet yang pastinya sesuai minat kita dan sesuai kemampuan kita,” papar Eko.
Menurut Eko, saat menjalankan bisnis, kita bisa menggunakan internet untuk riset kompetitor. “Karena riset di offline biayanya sangat besar, kalau di internet bisa menggunakan Google Trend atau Google Suggestion. Jadi, kita bisa tau barang apa saja yang dibutuhkan pasar, jika hal itu berpengaruh besar maka akan menguntungkan kita,” jelasnya.
Sebagai salah seorang narasumber, Maureen Hitipeuw mengatakan, saat menggunakan internet, diperlukan juga etika. Etika berinternet (netiket), yaitu jangan menggunakan huruf besar/kapital semua. Apabila mengutip dari internet, kutiplah seperlunya; dan memperlakukan email sebagai pesan pribadi.
“Lalu etiket berinternet bisa dilakukan dengan menulis email dengan ejaan yang benar dan kalimat sopan, dan tidak menggunakan huruf kapital semua. Urgensi netiket adalah kita semua manusia bahkan sekalipun saat berada didunia digital, jadi ikutilah aturan seperti dalam kehidupan nyata,” sebutnya.
Selain itu, kita harus waspada terhadap konten negatif, hoaks, ujaran kebencian, dan cyberbullying. Termasuk harus waspada terhadap informasi palsu dan belum tentu kebenarannya. “Adapun lima jurus lawan hoaks, yakni cek sumber info valid, berpikir jernih, tak langsung percaya konten forward-an, jangan terprovokasi judul provokatif, cek-ricek dulu, pastikan keaslian,” ungkapnya.
Sementara Lintang Ratri sebagai pembicara terakhir menjelaskan, kita harus menjadi warga digital yang berdaya dan Pancasialis dengan cara berpikir kritis, produktif, dan kreatif, lalu meminimalisasi unfollow, unfriend, dan block untuk menghindari echo chamber dan filter bubble.
“Selain itu, kita harus saling gotong-royong dan kolaborasi di ruang digital. Banjiri internet dengan banyak konten positif,” jelasnya. Menurut Lintang, indikator pertama dari kecakapan dalam budaya digital (digital culture) adalah bagaimana setiap individu menyadari bahwa ketika memasuki era digital, secara otomatis dirinya telah menjadi warna negara digital.
“Tiap individu memiliki tanggung jawab meliputi hak dan kewajiban untuk melakukan seluruh aktivitas bermedia digitalnya berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan, yakni Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Hal ini berlaku untuk semua warga negara digital,” lanjut Lintang.
Salah satu peserta bernama Endry Karnadi menyampaikan, teman dekatnya seperti mempunyai dua sisi yang berbeda antara dunia maya dan dunia nyata. Dia membuat dua akun sosial media dengan pertujuan provokatif, dan ini sangat bertolak belakang dengan sikap berbudaya. “Lantas, sikap apa yang harus dilakukan?”
“Saran saya kalau temen dekat bisa langsung ngobrol secara personal, dan mungkin ada alesan-alesan lain dengan memberitahunya dengan baik, jangan sampai temannya tersandung UU ITE,” jawab Maureen.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Cilegon. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]