Perkembangan teknologi semakin meningkat. Salah satunya dengan kehadiran teknologi yang disebut sebagai AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan. Di satu sisi, terciptanya AI membuat pekerjaan dapat terlaksana dengan semakin mudah, cepat, akurat, dan efektif. Akan tetapi, di lain sisi kehadiran teknologi ini akan mengurangi peran manusia di beberapa sektor pekerjaan.

Perkembangan tersebut ce­pat atau lambat akan men­dorong terciptanya babak baru, yaitu eco­nomic singularity. Kon­­disi ini memperlihatkan penggu­naan tekno­logi kecerdasan buatan semakin berkembang, berdampingan dengan kecerdasan manusia. Jika manusia tidak dapat beradaptasi dengan kondisi ini, kesempatan untuk bekerja dapat semakin tergerus karena mudahnya tergantikan dengan teknologi AI yang semakin digunakan hampir di segala bidang pekerjaan saat ini.

Sebagai langkah untuk mengan­tisipasi hal tersebut, Universitas Prasetiya Mulya mengajak para lulusannya untuk bersama mendu­kung Indonesia menuju economic singularity pada acara wisuda yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center pada Selasa (11/12) dengan tema “Powering Indonesia’s Ascent to the Singularity Economy”.

Adaptasi dalam economic singularity

Professor and Dean, Academy of Internet Finance and International Business School, Zhejiang University Prof Ben Shenglin yang menjadi keynote speaker pada acara wisuda tersebut menjelaskan, “Singularity” telah diperluas dari matematika ke ranah kecerdasan visual melalui buku oleh Raymond Kurzweil yang berjudul The Singularity Is Near. Buku tersebut merujuk pada momen penting ketika kecerdasan buatan melampaui kemanusiaan dan memicu perubahan drastis dalam lingkungan sosial.

“Dampak transformatif dari ke­cer­dasan buatan pada aktivitas eko­nomi sudah tidak terbantahkan, be­gi­tu juga pada pasar tenaga kerja. Akan tetapi, sebagai teknologi yang masih baru, adaptasi dari kecerdasan buatan dalam bidang ekonomi dan finansial masih pada tahap awal dan akan memiliki dampak positif pada aktivitas ekonomi, lapangan pe­kerjaan dan kesejahteraan ma­nusia, bila ada tuntunan dari pera­turan yang positif dan efektif,” jelas Ben.

Guna mendorong kemampuan manusia untuk dapat beradaptasi dengan mengembangkan kreativitas yang dimiliki sehingga dapat memun­culkan sebuah inovasi yang berdampak baik bagi masyarakat, di sinilah salah satunya peran krusial institusi pendidikan.

“Kelebihan manusia adalah di­be­kali basic insting yang tidak di­mi­liki oleh komputer atau da­lam hal ini artificial intelligence. Kecerdasan buatan tidak akan mampu menggantikan kom­pleksitas fungsi otak limbik manusia yang memuat emosi, perilaku, motivasi, dan intuisi. Hal ini tidak mampu ditiru oleh mesin. Inilah kekuatan manusia yang harus diasah guna siap menghadapi teknologi yang semakin berkembang,” tekan Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof Dr Djisman Simandjuntak.

Menurut Djisman, institusi pen­didikan sebagai lini terdepan da­lam peningkatan kualitas generasi penerus harus mampu beradaptasi dengan cepat. Utamanya, menye­suaikan de­ngan keterampilan yang wajib dimi­liki di masa depan. Pen­di­dikan di universitas harus membuka diri pada era baru dan memimpin, atau paling tidak me­ngikuti perubahan yang ada. Misi dari pendidikan tinggi tidak hanya untuk melatih dan mengembangkan bakat-bakat untuk masa kini, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk masa depan.

Kolaborasi, kreativitas, kompetisi

Dalam menerapkan kuriku­lumnya, Prasetiya Mulya menekan­kan pada mahasiswa untuk selalu dapat bekerja sama dalam sebuah kolaborasi dan mengembangkan atau mengasah kreativitas guna menciptakan se­buah inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dikatakan Djisman, Prasetiya Mulya mengajak para lulusannya untuk bersama mendukung Indo­nesia memanfaatkan econo­mic singularity. Di antaranya menge­depankan kola­borasi antara sains, teknologi, serta kewirausahaan dan men­dorong mun­culnya industri start up baru yang berbasis sains dan teknologi.

Hal ini sangat dirasakan oleh para lulusan S1 Prasetiya Mulya, di mana kerja sama atau kolaborasi lintas bidang menjadi santapan sehari-hari yang telah biasa dilakukan mereka. Salah satu wisudawan terbaik S1 Business Prasetiya Mulya Eric Christian mengisahkan bahwa hampir 80 persen tugas-tugas kuliah dikerjakan secara kelompok.

“Kerja kelompok telah kami lakukan sejak pertama kali masuk kuliah. Kami bahkan mendapatkan tugas dalam bentuk community development. Di sini, selama 22 hari, kami diberikan kesempatan untuk dapat bekerja sama bukan hanya dengan mahasiswa jurusan Bisnis, tetapi juga dari jurusan lain. Dengan ini, kami saling belajar untuk dapat mengasah kerja sama yang baik, efektif, dan menjalankan dinamikanya bersama-sama,” terang Eric yang kelompoknya pernah meraih peringkat II dalam BIRLA Asian Family Business Case Competition 2018 yang diadakan oleh Asian Institute of Management (AIM).

Senada dengan Eric, Denzel Khiat, yang juga menjadi wisudawan berprestasi S1 Finance & Banking Prasetiya Mulya men­ceritakan bah­wa community deve­lopment yang dijalankan di Prasetiya Mulya merupakan bentuk pembelajaran bagi mahasiswa untuk mengembangkan kerja sama sehingga dapat tercipta kolaborasi yang baik dan dapat menghasilkan solusi untuk menangani masalah yang ada di masyarakat.

“Saya sangat merasakan man­faatnya dari belajar kerja sama ini. Di mana softskills saya juga berkembang. Insting beradaptasi saya juga semakin terasah. Kini, saya telah bekerja sebagai analis bisnis di salah satu holding dan kemampuan ini membuat saya dapat beradaptasi dalam bekerja bersama rekan satu tim bahkan lintas tim dalam menjalankan riset bisnis. Lainnya yang saya rasakan adalah belajar di Prasetiya Mulya bukan hanya nantinya untuk mempersiapkan diri bekerja dan dapat uang. Tetapi, juga bagaimana dapat berkontribusi dalam masyarakat,” ungkap Denzel.

Hal tersebut, sesuai dengan penjelasan Dekan Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya Prof Agus W Soehadi, PhD yang menyampaikan bahwa per­guruan tinggi kini didorong untuk mengembangkan kemampuan para mahasiswa dalam membangun ekosistem bisnis secara menyeluruh. Para mahasiswa nantinya diharapkan memiliki sense of purpose, kepekaan untuk memberi kontribusi melalui pengabdian masyarakat.

“Pendekatannya bukan hanya fungsi, tetapi juga ekosistem se­hingga mahasiswa terlatih berpikir kompleks dan kreatif,” tegas Agus.

Sementara itu, dari sisi kompetisi, Dekan Applied STEM Universitas Prasetiya Mulya Prof Dr Janson Naiborhu menjelaskan, kompetisi mau tidak mau menjadi kata kunci. Akan tetapi, Janson mengingatkan kompetisi tidak melulu harus diartikan mengalahkan yang lain.

“Kompetisi mendorong kita untuk tidak berhenti menjadi lebih unggul. Tidak berleha-leha. Selalu berusaha menjadi yang terbaik. Dan, untuk menjadi unggul kita tidak bisa berjuang sendiri. Kita perlu berkolaborasi,” tambahnya.

Untuk itulah, Prasetiya Mulya selalu mendorong para mahasiswa memiliki semangat competitive ad­van­tage agar memiliki keunggulan daya saing dan di sisi lain memiliki semangat kolaborasi.
Elvira Rindra, wisudawan ber­pres­tasi S1 Accounting Prasetiya Mulya yang ber­hasil men­ca­pai gelar Cumlaude & The Out­stan­ding Academic Achievement menyam­paikan, Prasetiya Mulya sangat terbuka dalam me­ngem­bangkan kemampuan maha­siswanya untuk berkompetisi.

Foto-foto: dokumen Universitas Prasetiya Mulya

“Prasetiya Mulya sangat infor­matif. Informasi tentang berbagai macam kompetisi, baik tingkat nasional, regional, maupun inter­nasional sering disebarkan via email blast. Dukungan yang diberikan pun begitu kuat bagi mahasiswa yang akan atau sedang mengikuti sebuah kompetisi,” terang Elvira.

Adapun, keseluruhan prestasi yang berhasil diraih Prasetiya Mulya sepanjang 2018, yaitu sejumlah 65 prestasi baik untuk tingkat nasional, regional maupun internasional.

“Seluruh Civitas Academica Uni­versitas Prasetiya Mulya sangat bang­ga akan kontribusi yang diberi­kan oleh para mahasiswa tahun ini. Mereka tidak hanya berhasil menyelesaikan pendidikannya, te­ta­pi juga mampu berprestasi di berbagai bidang. Hal tersebut semakin memantapkan opti­misme kami bahwa nantinya 925 lulusan ini akan mampu menghadapi beragam tantangan di masa depan, terutama dalam langkah Indonesia menuju economic singularity,” tutup Djisman. [IKLAN/ACH]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 16 Desember 2018.