Media sosial kini memang menjadi tempat yang paling mudah untuk mengekspresikan diri, dengan orang lain juga merasa memiliki hak untuk menunjukan eksistensi mereka melalui komentar. Sekalipun tidak mengarah kepada konten yang mengandung pornografi ataupun konten negatif, kita tidak mampu mengatur asumsi orang lain dalam media sosial.

Hal tersebut menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan dengan meninggalkan jejak digital seperti itu. Untuk dapat melawan hal tersebut, tentunya kita sebagai pengguna media digital perlu dibekali literasi digital yang baik dalam rangka melindungi diri kita sendiri dan orang-orang sekitar dari sisi negatif dunia maya yang tidak dapat dipungkiri kehadirannya.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Stop di Kamu! Lawan Pelecehan Seksual di Media Digital”. Webinar yang digelar pada Senin (20/9/2021), pukul 09:00-11:30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Amni Zarkasyi Rahman, S.A.P., M.Si. (Dosen Universitas Diponegoro), Dr. Siska Sasmita, S.I.P., M.P.A. (Dosen Universitas Negeri Padang & IAPA), Aidil Wicaksono (CEO Pena Enterprise), Razi Sabardi (Pengamat Kebijakan Publik Digital), dan Sherrin Tharia (Musisi) selaku narasumber.

Pelecehan

Dalam pemaparannya, Amni Zarkasyi Rahman, S.A.P., M.Si. menyampaikan, “Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang 2020 pengaduan kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas atau publik paling banyak pada kejahatan siber (cybercrime). Jumlahnya sebanyak 454 kasus atau 65 persen dari total pengaduan secara keseluruhan. Pelecehan seksual di ranah digital dikenal dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO), yaitu berupa sexting, non-consensual dissemination of intimate images, body-shaming, dan scammer.”

“Komnas Perempuan melaporkan bahwa ancaman penyebaran foto atau video pribadi (malicious distribution) merupakan bentuk kekerasan berbasis gender siber (KGBS) paling banyak terjadi pada 2020. Tercatat sebanyak 370 kasus yang dilaporkan terkait hal tersebut, di mana satu korban bisa mengalami lebih dari satu jenis kekerasan.  Masyarakat kini paling banyak mengakses informasi dari media sosial, tetapi perlu diingat bahwa tidak semua hasil penelusuran mesin pencarian informasi benar. Oleh karena itu, diperlukan kompetensi kritis pengguna untuk dapat menyaring informasi yang diperoleh, dan hal ini dapat diasah melalui literasi digital,” ujar Amni.

Sherrin Tharia selaku narasumber Key Opinion Leader menyampaikan, di satu sisi ruang digital mempermudah dalam hal tampil, walaupun dalam tampil melalui digital memang memiliki rasa yang berbeda jika dilakukan langsung di depan para penonton. Musisi juga bisa saling berinteraksi langsung kepada fans. Tetapi, memang ada ancaman dalam penggunaan digital kepada anak, karena dapat menimbulkan rasa candu, walaupun memang membantu dalam mengeksplorasi wawasan dan dalam proses pembelajaran. Sehingga sebagai orang tua harus dapat membuat batasan dalam penggunaan perangkat oleh anak-anak.

Ia menganjurkan kita untuk pilah-pilih hal-hal yang dibagikan di media sosial. Kita juga harus memproteksi perangkat melalui memasang antivirus, multi autentikasi, dan dengan menggunakan password yang tidak mudah untuk ditebak. Pengetahuan kita sebagai pengguna dan masyarakat awam sebagian besar masih kurang, sehingga program webinar literasi digital saat ini menjadi sebuah “wake-up call” bagi kita untuk bisa belajar dan tidak hanya memanfaatkan ruang digital dan menggunakan perangkat digital secara asal.

Para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Raditya menyampaikan pertanyaan, “Lebih berbahaya mana pelecehan seksual secara digital atau pelecehan seksual secara langsung?”

Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Dr. Siska Sasmita, S.I.P., M.P.A. “Dampaknya sama-sama bahaya, namun ketika melalui platform media sosial kita bisa tidak sadar bahwa kita menjadi target pelecehan tersebut, dengan hilangnya batasan ruang fisik, tempat, dan waktu. Ketika foto kita disalahgunakan dan direkayasa sedemikian rupa akan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.”

Ia menambahkan, “Keduanya berbahaya, walaupun di era digital saat ini lebih sering dilakukan di ruang digital yang bersifat lebih pelan-pelan. Hal yang sering tidak disadari korban adalah mereka tidak mengetahui ketika mereka menjadi korban kekerasan online, terutama ketika mengalami perundungan oleh netizen dengan komentar-komentar negatif.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.