Semarang (2/9/2021). Bagaikan pedang bermata dua, digitalisasi tidak hanya memiliki sisi positif, tetapi juga sisi negatif jika digunakan secara tidak bertanggung jawab. Disinformasi, bahkan ancaman disintegrasi bangsa, pun bisa terjadi. Literasi digital menjadi kunci untuk meredam disinformasi di ruang digital.

Hal ini terungkap dalam Dialog Parlemen bertema “Kenali Disinformasi dalam Ruang Digital” yang diadakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jateng secara virtual pada Selasa (31/8/2021).

Pada acara ini, hadir Wakil Ketua DPRD Jateng Ferry Wawan Cahyono, Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Iqbal Alqudusy, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Lintang Ratri, dan praktisi monitoring media digital dari Avadata Agus Widyanto. Dialog Parlemen kali ini juga melibatkan elemen masyarakat, antara lain mahasiswa, masyarakat umum, dan komunitas.

Dialog Parlemen

Dialog ini juga menjadi implementasi dari aksi rencana perubahan layanan publik dalam program Jaga Mental, sebuah program untuk menjaring pelanggan dalam ruang parlemen digital melalui Berlian TV Suara Wakil Rakyat dan akun media sosial DPRD Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, diharapkan terjadi dialog aktif dan interaktif serta komunikasi timbal balik antara wakil rakyat dan rakyat.

Pentingnya literasi digital

Ferry melihat, teknologi memang melahirkan banyak kesempatan dan nilai positif untuk pertumbuhan berbagai sektor. Namun, teknologi juga mempunyai sisi negatif jika dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat pun dituntut untuk mampu mengelola teknologi dengan baik.

Ini karena, menurut Ferry, jika tidak mampu mengelola teknologi dengan baik, ada potensi merugikan. Salah satunya, hoaks. Jika tidak memiliki kecakapan mengolah informasi digital, kita bisa hanyut dan berdampak negatif.

“Ayo, kita sadar dan paham bahwa tidak semua informasi itu bisa ditelan mentah-mentah. Perlu adanya literasi digital yang baik ke masyarakat agar tidak terjadi disinformasi. Literasi digital menjadi penting,” ujarnya.

Wakil Ketua DPRD Jateng Ferry Wawan Cahyono

Hal ini disepakati oleh Iqbal dari sisi penegak hukum. Mengutip riset Microsoft tentang Digital Civility Index (DCI), Indonesia berada pada peringkat ke-29 dari 32 negara dalam tingkat kesopanan warganetnya. Rendahnya tingkat adab orang Indonesia dalam berinternet menyebabkan suburnya hoaks, ujaran kebencian, penipuan, penyalahgunaan data, dan masih banyak lagi kejahatan digital lainnya.

“Literasi digital harus dijaga agar ruang siber kita tetap bersih, sehat, dan semua tetap bisa produktif dalam hal yang positif,” ujarnya.

Kanan : Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Iqbal Alqudusy

Bahaya ruang digital

Rendahnya literasi digital bisa berdampak buruk bagi masyarakat. Hal ini dikatakan oleh Lintang. Menurutnya, internet dan media sosial sejatinya sudah menjadi pilar kelima dari demokrasi. Oleh karena itu, hal ini memungkinkan pengguna internet menjadi pembuat, penyebar, dan sekaligus pengguna informasi tersebut.

Per Januari 2021, mengutip dari Hootsuite, ada 170 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia. Menurut Lintang, hal itu menunjukkan betapa sibuknya ruang digital Indonesia. “Dampaknya bisa terjadi disrupsi informasi dan banjir informasi. Jika tidak siap, kita akan terbawa arus, tenggelam, dan mudah terpengaruh,” ujarnya.

Kanan : Dosen Ilmu Komunikasi Undip Lintang Ratri

Aksesibilitas terhadap informasi memang memudahkan seseorang untuk memilih dan memilah informasi. Namun, hal ini dibutuhkan kecakapan dan literasi digital yang memadai. Masalahnya, sekarang, banyak masyarakat yang tenggelam dalam hoaks tentang agama, politik, dan kesehatan.

Ruang digital Indonesia memang sebegitu menakutkannya. Hal ini dikatakan oleh Agus sebagai praktisi monitoring dunia digital. Riset mengatakan, orang lebih ringan tangan di dunia maya.

“Hukum selalu tertinggal 1–2 langkah dengan kejahatan di dunia digital. Oleh karena itu, literasi digital menjadi penting. Media pun memainkan peranan penting untuk membantu peningkatan literasi digital. Sebab literasi digital ini layaknya vaksin untuk menangkal disinformasi,” ujarnya.

Kanan : Praktisi Monoring Media Avadata Agus Widyanto

Agus menambahkan, upaya menyadarkan masyarakat bahwa ruang digital lebih seram daripada kenyataan. Sebab, jika tidak tertangani dengan baik, ancamannya tidak hanya disinformasi, bahkan bisa disintegrasi.

“Lembaga pemerintah pun menjadi backbone untuk bisa menjadi kekuatan informasi dan ruang rekonfirmasi atas segala informasi yang beredar di masyarakat,” ujarnya.

Upaya meredam

DPRD Jateng telah melakukan beragam usaha untuk meredam hal ini. Ferry mengatakan, pemerintah dalam hal ini DPRD Jateng telah mendorong pemerintah untuk terus berkomitmen tidak hanya melindungi hak masyarakat mendapatkan informasi, tetapi juga melindungi penggunanya melalui regulasi seperti UU ITE dan UU perlindungan data pribadi yang tengah digodok.

“Kami juga mendorong gerakan literasi digital ini secara kultur dengan memasukkannya ke dalam pendidikan. Oleh karena itu, anak sudah berdaya secara digital dari kecil. Kami ingin mendorongnya juga secara komunal,” ujar Ferry.

Sementara itu, dari sisi kepolisian, Iqbal mengatakan polisi secara aktif bergerak di ruang virtual dengan melakukan edukasi, penyelidikan, dan penyidikan. Tim cyber crime kepolisian pun juga terus bekerja untuk menangkal hal-hal terkait hoaks, ujaran kebencian, dan lainnya.

Polri pun telah melibatkan anak muda dalam tim penanganan sibernya. Iqbal mengatakan, rekrutmen ini dilakukan khusus dan mereka telah dibekali kemampuan untuk menangani hal terkait. Mereka jugalah yang menjadi mitra polisi dalam menangani hal tersebut.

Namun, hal yang lebih mendasar untuk dilakukan dalam mengedukasi masyarakat. Hal ini dikatakan oleh Lintang. Menurut Lintang, agar tidak termakan oleh hoaks, masyarakat harus paham dulu tentang literasi digital.

“Literasi digital itu sebuah sinergi bersama. Jangan gampang terpesona dan kembangkan pikiran kritis. Selain itu, bagi yang sudah terliterasi harus mau membagikan pengetahuannya kepada yang belum terliterasi, misalnya lansia atau anak-anak,” ujar Lintang.

Kecakapan bermedia sosial juga telah ditunjukkan oleh TNI dan Polri. Agus mengapresiasi hal tersebut. Sebab, sejatinya masyarakat memang membutuhkan contoh. Agus menunggu hal ini juga ditunjukkan oleh DPRD, wartawan, dosen, dan korps profesi lainnya.

“Hal ini membutuhkan keteladanan dan sikap yang jelas. Literasi butuh contoh sebab dia bukan barang jadi seperti sembako yang bisa disalurkan dan dikonsumsi langsung. Literasi digital adalah keterampilan yang harus dibangun dan dilatih setiap hari,” ujar Agus.

Pertanyaan dari mahasiswa Universitas Diponegoro

Harapan ke depan

Beragam upaya tersebut pada akhirnya melahirkan harapan dari berbagai pihak. Agus melihat, adanya harapan besar agar gerakan literasi semakin ditingkatkan. Selain itu, dia berharap ada standar etik bermain di ruang digital untuk korps lainnya seperti kejaksaan, kehakiman, dan lembaga pemerintah lainnya, seperti TNI dan Polri.

“Saya juga berharap, Polri segera mewujudkan Badan Humas Polri. Sebab, dengan dipimpin oleh seseorang bintang tiga, Polri akan semakin kuat dalam menangani disinformasi ini. Dibutuhkan kemampuan khusus juga untuk menangani masalah-masalah tersebut,” ujarnya.

Iqbal sepakat dengan Agus bahwa gerakan literasi digital harus ditingkatkan. Namun, dirinya juga berharap agar masyarakat juga membantu Polri dalam hal ini. “Kami selalu menyampaikan untuk selalu bijak dalam bermedia sosial. Selalu cek, cari, dan laporkan jika ada berita bohong atau ujaran kebencian,” ujarnya.

Sementara itu, dari pihak DPRD Jateng, Ferry menyampaikan, pihaknya selalu memberikan narasi untuk selalu berdaya dalam dunia digital dalam hal membesarkan pentingnya literasi digital. Selain itu, DPRD juga membuka ruang-ruang diskusi dan aspirasi bagi masyarakat untuk membantu peningkatan literasi digital dan masalah terkait. [ADV]