Perlu diketahui bahwa pelaku bullying saat ini di dominasi oleh kaum remaja. Walau begitu, bukan berarti tidak ada tindakan hukumnya bagi anak yang berusia di bawah 18 tahun. Pelaku perundungan di bawah umur bisa menerima ancaman pidana, berdasarkan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang menyatakan mereka dapat dipidana asal di atas umur 12 tahun dan belum berusia 21 tahun. Bagi anak di bawah usia 12 tahun hukumannya berupa dikembalikan ke orang tua dan melakukan program pembimbingan untuk menciptakan rasa jera. Jika di atas 12 tahun dapat menerima pidana dengan waktu penjara setengah dari lamanya pidana bagi orang dewasa. Oleh karena itu, dukungan lingkungan sangatlah penting, karena dampak psikologis bagi korban sangatlah besar.
Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Identifikasi dan Antisipasi Perundungan Digital (Cyberbullying)”. Webinar yang digelar pada Senin, 11 Oktober 2021, pukul 13:00-15:30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Saeroni, SAg, MH (Head of Studies Center for Family and Social Welfare UNU), Mustaghfiroh Rahayu, MA (Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada), Danu Anggada Bimantara (Aktor & Pegiat Seni Tradisi), Andrea Abdul Rahman Azzqy, SKom, MSi, MSi(Han) (Dosen Universitas Budi Luhur Jakarta, dan Bella Ashari (Presenter TV) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Saeroni, SAg, MH menyampaikan informasi penting bahwa “Kini aksi perundungan tidak hanya dari kontak langsung namun melalui media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. Salah satu ciri perundungan online adalah adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban yang merujuk persepsi kapasitas fisik dan mental. Cyberbullying dianggap valid bila pelaku dan korban berusia di bawah 18 tahun dan secara hukum belum dianggap dewasa. Bila salah satu pihak yang terlibat (atau keduanya) sudah berusia di atas 18 tahun, maka dikategorikan sebagai cybercrime atau cyberstalking/cyberharassment. Berdasarkan alasan kenapa seseorang mengalami perundungan, mayoritas pengguna disebabkan karena penampilan mereka, diikuti dengan wawasan akademik dan intelijen, ras, orientasi seksual, status finansial, agama atau kepercayaan, dan lain sebagainya. Tindak pelecehan siber yang diterima paling banyak merupakan julukan menyakitkan, diikuti olokan yang memalukan, ancaman fisik, pelecehan terus menerus, hingga stalking serta pelecehan seksual. Orang tua harus aktif dalam melindungi anak dan menciptakan kondisi berinternet yang aman dan nyaman dengan cara mengaktifkan fitur SafeSearch di search engine yang digunakan, dan menggunakan https://www.kiddle.co/, mesin pencari web dan ensiklopedia online yang menekankan keselamatan bagi anak-anak.”
Bella Ashari selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa untungnya dirinya memang belum mengalami aksi perundungan online, tentunya karena sifatnya yang berani berbicara atau speak up. Pentingnya untuk menggunakan ruang digital sambil mengedepankan etika; perlu kontrol dalam pemanfaatan media digital yang baik untuk tidak mengundang hal-hal yang tidak diinginkan. Terkait apa yang memotivasi pelaku perundungan, menurutnya memang kita tidak bisa mengetahui secara jelas, karena di balik ruang digital kita tidak bisa menilai seseorang seluruhnya. Penting kita membangun rasa peka untuk mengenali ancaman perundungan, karena dapat berujung dampak keselamatan korban. Dengan literasi digital yang mumpuni, kita dapat berpikir kritis, menyaring apa yang kita bagikan, mengkondisikan apa yang akan kita komentari, dan memperhatikan keamanan digital kita di berbagai aspek. Jadilah pengguna internet yang beradab.
Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Sekar Indah menyampaikan pertanyaan “Bagaimana kiat yang boleh dibagi kepada kami untuk bijak dalam berkomentar di ruang digital agar tidak meninggalkan rekam jejak digital yang negatif dan tentunya agar komentar kita berdampak positif kepada si pengunggah atau orang lain yang membaca, terlebih ketika berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang ingin diberikan pendapat oleh masyarakat?”
Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Saeroni, SAg, MH, bahwa “Untuk hal itu perlu memiliki masukan yang konstruktif, tidak mengandung SARA, mengenali siapa yang akan menerima komentar tersebut, dan sadar bahwa komentar ditinggalkan di ruang publik. Pentingnya memiliki perspektif yang komprehensif dalam kemungkinan siapa saya yang akan membaca masukan. Jika ada pengguna lain yang berbicara di luar norma kita bisa saling mengingatkan. Jika ingin merespons, gunakan fakta dan data terkait untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.