Melihat generasi muda yang sangat aktif menggunakan media digital, menjadi penting bagi orang tua dan seluruh masyarakat untuk mengedukasi sejak dini agar tidak terjerumus pada pemikiran radikal yang mudah tersebar di media sosial. Di lingkungan keluarga, anggota keluarga yang lebih dewasa harus menjalani berkomunikasi lebih erat terutama mengenai isu agama, atau informasi-informasi bebas untuk diakses. Ajak mereka berdiskusi untuk bisa mengajak berpikir atas pro dan kontranya; sesuatu yang jauh lebih baik dibandingkan dengan bersikap menggurui, menantang atau berargumentatif, terutama pada topik yang berat seperti tradisi atau agama.

Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Berantas Radikalisme Melalui Literasi Digital”. Webinar yang digelar pada Kamis, 16 September 2021, pukul 13:00-15:30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Didin Sutandi (Penulis & Jurnalis), Alfan Gunawan (Praktisi Komunikasi & Senior Consultant Opal Communication), Dr Cecep Kustandi, MPd (Universitas Negeri Jakarta), Razi Sabardi (Pengamat Kebijakan Publik Digital), dan Julia RGDS, B.BA. (Putri Tenun Songket Indonesia) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Dr Cecep Kustandi, MPd menyampaikan informasi penting bahwa “Penyebaran hoaks yang bersifat provokasi turut membantu menyulut paham radikalisme. Salah satu contohnya adalah ISIS; Kelompok radikal ikut menyebar propaganda persuasif untuk menarik pengikut dengan iming-iming kesejahteraan ekonomi dan negara yang aman dan damai di bawah syariat agama. Hal tersebut dapat tersebarluaskan karena pengguna media digital tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah pada segregasi sosial perpecahan atau polarisasi di ruang digital. Pemahaman multikulturalisme dan pluralisme dibutuhkan sebagai upaya pendidikan sejak dini, terlebih bagi generasi muda sebagai digital native yang lebih banyak belajar dari media digital. Kita harus ajarkan mereka untuk meningkatkan kemampuan membangun mindfulness communication tanpa stereotip dan pandangan negatif sambil meningkatkan kemampuan literasi media dalam konteks budaya digital.”

Julia RGDS, BBA selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa sebagai orang Bali yang lahir dan besar di sana, ia diajarkan bertoleransi, saling menghargai, dan menghormati satu sama lain karena perbedaan sebenarnya saling melengkapi satu sama lain. Pemikiran seseorang memang tidak bisa dihindari, yang penting bagi kita adalah untuk terus fokus terhadap diri sendiri dan terus menyebarkan hal-hal dan ikut menyuarakan hal-hal positif, terutama dalam menghindari hal-hal radikalisme yang kini sudah tersebar luas di ruang digital. Sudah banyak sekali konten-konten berbahaya yang membanjiri pengguna media digital, dengan internet sebagai gerbang untuk masuknya hal tersebut. Salah satu hal yang bisa dilakukan sebagai aksi preventif yaitu dengan berliterasi digital. Pahami sumber informasinya, dan saring sebelum sharing untuk terus ber-bijaksana dalam berinternet, untuk menghindari terpapar penyebaran konten radikalisme oleh provokator dan oknum yang berusaha untuk memecahkan bangsa. Selain itu, kita harus mencintai Indonesia karena ketika sudah mencintai negara ini dengan saling memiliki visi dan paham akan dasar negara kita dalam berkehidupan, akan menumbuhkan nalar kita untuk bisa memilah hal-hal yang sesuai dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Jadilah agent of change, jangan berhenti belajar, dan bersyukur atas kehidupan saat ini supaya bisa menyebarkan positive vibes.

Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Indah Rahayu menyampaikan pertanyaan “Apakah ujaran kebencian di media sosial yang dipengaruhi fanatisme buta terhadap agama dan keyakinan yang dianut oleh seseorang bisa menjadi bibit intoleransi, radikalisme dan terorisme, mengingat di Indonesia sendiri angka intoleransi semakin meningkat? Lalu bagaimana tips agar toleransi tetap terjalin meskipun lewat media sosial?”

Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Alfan Gunawan, bahwa “Intoleransi dan radikalisme adalah prosesnya, dengan terorisme sebagai tuah dari kedua hasil tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah melakukan sosialisme dengan menyatakan hal yang sama. Modal kemajemukan harus dapat kita pegang teguh, filter informasi yang didapat, dan selalu cari sumber yang kredibel. Mulai dari keluarga untuk bangun dan bantu menyebarkan pengetahuan ini di ruang digital seperti media sosial.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.