Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, baru-baru ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong (Hoaks)”. Webinar yang digelar pada Senin, 26 Juli 2021 di Kota Tangerang, Banten, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Septyanto Galan Prakoso SIP MSc (dosen HI UNS), Athif Thitah Amithuhu (Media Sastra Online Ceritasantri.id), Dr Ayuning Budiati SIP MPPM (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa), dan Kokok Herdhianto Dirgantoro (Founder dan CEO Opal Communication).

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Septyanto Galan membuka webinar dengan mengatakan, definisi dan contoh hoaks di antaranya adalah informasi salah, tetapi disebarkan oleh orang yang percaya bahwa informasi itu benar.

“Lalu, informasi salah dan sengaja disebarkan oleh orang yang tahu bahwa informasi itu salah. Jadi, ada unsur kesegajaan. Selain itu, ada informasi yang berdasarkan realitas, tetapi digunakan untuk merugikan orang, kelompok, organisasi, atau negara lain,” ujarnya.

Ia menambahkan, perlunya berpikir kritis dan pendekatan personal disertai dengan bukti bahwa informasi yang disebar itu hoaks. Membiasakan berpikir kritis dari diri sendiri dan orang-orang terdekat, biasakan mendapatkan informasi dari media-media yang tepercaya.

“Cara lawan hoaks yakni sebarkan hal-hal yang menyenangkan, ikuti contoh yang baik, berkomentar dengan bijak, selalu berpikir kritis, berikan respons terhadap hal yang negatif dengan tepat, paham dan mampu menyeimbangkan hak dan tanggung jawab di dunia digital, serta biasakan cek kebenaran dari suatu berita/konten,” ungkapnya.

Athif Thitah menambahkan, setidaknya ada empat prinsip beretika digital, yakni kesadaran, integritas, kebajikan, dan tanggung jawab. Lalu terdapat dua macam jenis etika digital, one to one communication seperti e-mail dan pesan pribadi dan one to many communication, seperti kolom komentar Facebook, Instagram, dan situs web.

“Dalam dunia digital, banyak bertebaran konten negatif. Motifnya ekonomi/mencari uang, politik/kelompok tertentu, mencari kambing hitam, hingga memecah belah masyarakat,” ucapnya.

Untuk itu, diperlukan etika dalam berinternet atau netiket. Contoh netiket di media sosial yakni harus sopan dan santun, tidak menyebarkan berita hoaks, jangan capture percakapan private ke ranah publik, cermat dan bijaklah dalam memilih stiker dan emoji di media sosial, serta jangan pernah membawa SARA.

Ayuning Budiati turut menjelaskan, hoaks yang sering diterima berupa tulisan, foto, dan gambar pada media sosial. Biasanya, orang mudah percaya hoaks karena kurang literasi, mencengangkan, dan bias konfirmasi.

“Terus disebar sehingga menimbulkan resistensi pada kebenaran,” katanya. Cara melaporkan berita hoaks, bisa dengan screen capture atau salin url link berita hoaks, dan kirim data ke [email protected]. Sementara itu, keabsahan suatu informasi bisa dicek melalui turnbackhoax.id.

Sebagai pembicara terakhir, Kokok Herdhianto mengungkap bahwa Indonesia menjadi negara dengan indeks kesopanan digital (Digital Civility Index/DCI) paling buruk se-Asia Pasifik pada 2020.

Skor DCI Indonesia tercatat sebesar 76 poin pada 2020, naik 8 poin dari tahun sebelumnya. Sebaran hoaks pada tahun 2020 adalah sebanyak 2.024 berita informasi hoaks yang beredar.

“Awas jejak digital tidak akan bisa dihapus selama internet itu masih ada. Mari, manfaatkan jaringan di media sosial dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman positif, sarana untuk mengembangkan keterampilan dan sosial, menjaga komunikasi dengan keluarga, mengakses informasi/berita terkini, dan mencari peluang bisnis,” pungkasnya.

Dalam sesi KOL, Maria Harfanti mengatakan literasi digital banyak yang belum diakses pada daerah terpencil. Bahkan, hampir semuanya penggunaan digital pun di sekolah belum ada.

“Dengan sangat mudah viral, semakin sulit kebenarannya. Jadi, kita harus selalu aware kalau ada berita supaya tidak jadi generasi penyebar hoaks. Kita harus kritis dengan beredarnya informasi media sosial, lalu lindungi data pribadi kita, jadilah netizen yang baik,” paparnya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Reysa menanyakan, bagaimana menyampaikan atau memberitahukan kepada Masyarakat yang sudah terpapar berita berita hoaks?

“Memberi tahunya dengan baik beri edukasi dan kasih bukti. Jika sudah terlanjur, kita bisa beri tahu agar bisa edukasi ke semua. Jangan ragu, jangan malu, tetap sopan dan beri bukti,” jawab Septyanto.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak.