Pariwisata Indonesia menjadi sektor unggulan pembangunan nasional. Beberapa tahun belakangan, industri ini bertumbuh sangat pesat. Devisa yang dihasilkan dari sektor pariwisata pun terus meningkat.
Pada periode 2017–2018, sektor pariwisata tumbuh 13 persen. Periode sebelumnya, pertumbuhannya bahkan mencapai 22 persen. Angka tersebut jauh melampaui pertumbuhan industri pariwisata dunia, yang per tahun rata-rata 6,4 persen. Pada tahun-tahun belakangan, sektor pariwisata juga konsisten menjadi tiga besar sektor penyumbang devisa terbesar, di samping kelapa sawit dan migas.
Pertumbuhan ini tentu menggembirakan. Menteri Pariwisata RI Arief Yahya, dalam kunjungannya ke Kompas, Senin (29/4/2019), mengatakan, “Pariwisata adalah industri yang termurah dan termudah untuk meningkatkan pertumbuhan devisa, pendapatan domestik bruto (PDB), dan penciptaan lapangan kerja. Modalnya kita sudah punya.”
Berdasarkan survei Kementerian Pariwisata, daya tarik utama pariwisata Indonesia adalah budaya, alam, dan wisata buatan (man-made). Saat ini, 90 persen wisatawan masih terfokus pada destinasi Bali, Jakarta, dan Kepulauan Riau. Oleh karena itu, pemerintah mengambil langkah strategis untuk mengembangkan pariwisata di daerah-daerah lain.
Strategi tersebut mencakup penyiapan destinasi, pengembangan sumber daya manusia (SDM), dan pemasaran. Untuk destinasi, pemerintah menyiapkan 10 destinasi prioritas, yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Pulau Seribu, Taman Nasional Bromo Tengger, Wakatobi, dan Morotai.
“Untuk pengembangan destinasi, kami menerapkan rumus 3A: atraksi, aksesibilitas, dan amenitas,” kata Arief.
Dari sisi sumber daya manusia, industri, kelembagaan, Kemenpar berupaya meningkatkan standar kualitas dengan sejumlah program. Program tersebut antara lain sertifikasi profesi standar ASEAN (MRA TP); sertifikasi usaha standar ISO, ASEAN, dan SNI; serta gerakan sadar wisata dan aksi sapta pesona.
Terkait pemasaran, Arief Yahya mengatakan, Kementerian mengarahkan 70 persen anggaran promosi ke saluran digital. Ini karena Kemenpar menyesuaikan pasar. “Wisatawan milenial yang datang ke Indonesia tercatat sekitar 50 persen,” ujarnya. Saat ini, 70 persen wisatawan mencari dan berbagi informasi secara digital.
Wisatawan milenial
Pasar milenial sangat signifikan dalam industri pariwisata. Pada 2030, 57 persen penduduk Asia berusia 15–34 tahun. Inilah generasi milenial.
Generasi milenial memiliki kebutuhan dan perilaku yang spesifik, khususnya karena mereka sangat bergantung pada teknologi dan media sosial. Selain itu, sebagai segmen pasar milenial penting karena ini pasar yang luas dan generasi yang lantang menyuarakan opininya.
“Milenial adalah konsumen masa depan yang datangnya sekarang,” ujar Arief. Artinya, berbagai industri sudah harus cepat beradaptasi memenuhi kebutuhan generasi yang amat melek digital ini.
Berbagai cara pun ditempuh Kemenpar untuk melayani kebutuhan konsumen milenial ini, antara lain dengan merancang destinasi yang instagramable dan membuka banyak destinasi baru karena milenial punya kebutuhan untuk diakui. Sampai akhir 2019, Kemenpar juga punya target membangun 100 destinasi digital–sampai saat ini sudah ada sekitar 60.
Tujuan utama strategi-strategi tersebut adalah akselerasi ekonomi. Sektor pariwisata diharapkan dapat menjadi alat untuk mendongkrak devisa negara, PDB, dan pendapatan asli daerah (PAD). [NOV]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 4 Mei 2019.