Program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial telah secara nyata memberdayakan masyarakat. Penguatan program diperlukan untuk meluaskan dampaknya.
Peningkatan literasi masyarakat menjadi salah satu program prioritas nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial menjadi salah satu bentuk implementasinya.
Berjalan sejak 2018, program ini telah membantu menjadikan masyarakat lebih berdaya dan sejahtera melalui pemanfaatan pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan. Perpustakaan tidak sekadar berperan sebagai tempat menyimpan koleksi dan membaca, tetapi juga pusat pelatihan keterampilan masyarakat.
Menyadari begitu besar dampak penguatan literasi, program ini perlu dieskalasi dan dikuatkan. Dilatari hal tersebut, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menggelar Stakeholder Meeting Nasional 2021 secara daring, Selasa (2/11/2021).
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas Deni Kurniawan menyampaikan, program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial menjangkau seluruh masyarakat, terutama yang berada di perdesaan, untuk mendapatkan akses informasi yang berkualitas. Dengan begitu, mereka dapat menjadi lebih inovatif dan produktif. Ini akan mengurangi kesenjangan dengan penduduk perkotaan sekaligus menurunkan angka urbanisasi.
Program Perpusnas ini sudah banyak diapresiasi. Dikatakan Paulus Wirutomo, sosiolog Universitas Indonesia, program ini telah merintis jalan menuju masyarakat inklusif, kondisi ketika hak-hak dasar manusia terbuka untuk seluruh individu.
Baca juga:
Peran Nyata Perpustakaan untuk Peningkatan Kesehatan Masyarakat
Perpustakaan Tingkatkan Kemampuan Literasi Masyarakat untuk Kesejahteraan
Replikasi dan sinergi
Saat ini, program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial telah menjangkau 1.250 desa di 160 kabupaten (32 provinsi). Ketua Tim Konsultan Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial Erlyn Sulistyaningsih mengungkapkan, sepanjang 2021, telah dilakukan pelatihan terhadap 68 master trainer nasional, 259 fasilitator daerah, dan 1.100 pengelola perpustakaan desa. Ada lebih dari 14 ribu kegiatan yang dilakukan di perpustakaan dengan hampir 300 ribu orang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Intervensi program ini telah memberi pengaruh sebesar 63,6 persen terhadap peningkatan layanan perpustakaan. Sementara itu, dampak antara (intermediate impact) yang dirasakan masyarakat sebesar 51,4 persen.
“Pendekatan program ini efektif dan dapat direplikasi di wilayah lain,” tutur Erlyn. Ada beberapa rencana replikasi pada 2022. Tim sinergi provinsi akan mengimplementasikan program ini di 107 kabupaten dan 311 desa. Sementara itu, Dinas Perpustakaan kabupaten/kota akan mereplikasi program ini di 892 desa.
Melibatkan sinergi dengan berbagai pihak, penguatan literasi ini didukung pula oleh kementerian/lembaga lain, para mitra, dan pihak swasta. Dikatakan Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Sugito, dana desa dapat digunakan untuk pendidikan sebagai bagian dari pengembangan desa inklusif.
Penetapan prioritas penggunaan dana desa ini dapat dibahas dan disepakati melalui musyarawah desa. Adapun pemanfaatannya untuk pengembangan perpustakaan desa bisa dilakukan dengan sejumlah cara. Salah satunya, meningkatkan kualitas pengelolaan perpustakaan dengan antara lain melatih pengelola perpustakaan, pembelian buku-buku, atau pengadaan fasilitas internet. Dapat pula mengundang narasumber untuk membahas buku atau mengadakan pelatihan.
Perpustakaan berkontribusi besar dalam membangun masyarakat, terutama untuk menyongsong era yang lebih menantang dan kompetitif di depan. Dengan kerja sama banyak pihak, diharapkan perpustakaan dapat secara inklusif meningkatkan kualitas manusia Indonesia. [NOV]
Baca juga:
Pentingnya Peran Literasi Budaya dalam Kehidupan Masyarakat Digital