Apa sebenarnya batasan di dunia tanpa batas ini terkait kebebasan berekspresi di ruang digital ini? Di era digital ini kita menggunakan internet untuk melakukan apa saja di ruang digital ini, bahkan dari bagun pagi sampai mau tidur lagi. Kita memang tidak terlepas dari internet, untuk yang bersekolah pun saat ini semuanya harus pakai internet. 

Berbeda dengan zaman dulu, saat waktu sekolah dan masih berada di dalam kelas tidak diizinkan untuk menggunakan handphone, berkebalikan dengan saat ini yang di mana pembelajaran lebih banyak menggunakan handphone atau laptop karena sistem yang juga berubah dari sekolah offline menjadi online atau daring karena memasuki era yang serba digital.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Paham Batasan di Dunia Tanpa Batas: Kebebasan Berekspresi di Ruang Digital”. Webinar yang digelar pada Senin (18/10/2021), pukul 13:00-15:30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring. 

Dalam forum tersebut hadir Samuel Berrit Olam (Founder & CEO PT Malline Teknologi Internasional), Achmad Uzair (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Roza Nabila (Kaizen Room), Maryam Fithriati, M.S.W. (Co-Founder Pitakonan Studio and Management & Pegiat Literasi Komunitas), dan Widi Dwinanda (Artis & Pemeran Utama Terpuji FFB 2015) selaku narasumber. 

Konten negatif

Dalam pemaparannya, Samuel Berrit Olam menyampaikan, “Perkembangan internet ini mempengaruhi perkembangan sosial juga, maka dari itu muncul platform-platform media sosial (Instagram, Twitter, Facebook, dsb). Perlu kita ketahui bahwa per detik itu ada 300 ribu video yang diupload ke Youtube, 500 ribu komentar di postingan di Facebook, dan sekitar 95 juta foto diupload ke Instagram. Ini menunjukkan bahwa data ini sangat banyak dan luar biasa sekali dengan berbagai macam isi, ada yang berisi konten positif ada juga yang berisi konten negatif.”

“Konten negatif ini yang sangat meresahkan dan sangat berbahaya sekali, terutama di Indonesia karena Indonesia merupakan negara yang multikultural; memiliki banyak suku bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, juga banyak ras dan golongan, gender, kaum difabel dan juga agama serta kepercayaan. Oleh sebab itu, sebagai pengguna internet kita harus bijak sebaik-baiknya, meskipun internet ini tanpa batas dan luas, kita juga perlu hati-hati dalam penggunaannya; jangan sampai kita mengupload atau share hal-hal yang negatif. Perlu diingat ujaran kebencian merupakan salah satu kegiatan berinternet yang bisa masuk ke pasal atau bahkan berakibat dipenjara.”

Widi Dwinanda selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan, efek positif dan negatif dalam ruang digital ini banyak dirasakan olehnya. Dari sisi positifnya banyak sekali, karena memang berbagai kemudahan bisa dirasakan bahkan dari lini kehidupan yang benar-benar simpel. Kalau dulu biasanya kita belanja secara offline dan harus berangkat dulu dengan menggunakan transportasi dengan berbagai jarak juga yang harus ditempuh ketika untuk berbelanja makanan pokok saja itu dilakukan, namun sekarang dengan hanya memanfaatkan jari saja kita bisa belanja kapanpun, tidak perlu khawatir tokonya tutup, bisa langsung dikirim hari itu juga, dan besok sudah sampai di rumah. 

Dampak positif selanjutnya adalah membuka donasi yang lebih luas, seperti saat ini banyak yang membuka donasi untuk orang-orang yang lebih membutuhkan. Hal itu tergeraknya bisa lebih luas untuk mengajak sesama agar berkegiatan yang positif. Untuk efek negatifnya adalah saat ini banyak konten negatif di mana terkadang tidak melihat batasan usia hanya untuk menjadi viral dan yang terpenting bisa mendatangkan materi bagi mereka yang menyebarkannya.

Para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Rifki Ari Sandi menyampaikan pertanyaan, “Kita tahu bahwa batasan usia pengguna medsos seperti Facebook, Instagram, dan beberapa sosmed lainnya itu minimal 13 tahun. Hal yang mau saya tanyakan, mengapa kita yang sudah terliterasi digital ini seolah-olah sengaja mengajarkan anak untuk mengabaikan batasan usia tersebut? Kemudian, siapa yang akan bertanggung jawab jika anak-anak di bawah 13 tahun melakukan pelanggaran di medsos, seperti menyebar hoaks, terlibat pornografi, radikalisme, atau pelanggaran-pelanggaran lainnya? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua yang terlanjur mengizinkan anak di bawah 13 tahun memiliki akun medsos sendiri?

Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Samuel Berrit Olam. “Hal ini terjadi karena para orang tua saat ini ingin anaknya muncul di media sosial, bahkan untuk anak yang baru lahir langsung dibuatkan akun sendiri. Padahal kita tahu ada rekam jejak di dunia internet yang tanpa batas dan bisa tersimpan di sana. Jika orang tua sudah terlanjur mengizinkan anak mereka memiliki akun media sosial di bawah usia 13 tahun, orang tua harus tetap bertanggung jawab dan mendidik anaknya supaya jangan sampai terkena ikut-ikutan termakan berita hoaks ataupun menshare konten-konten negatif, dan pasti berikan batasan waktu untuk anak agar tidak kecanduan dalam bermedia sosial.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Utara. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.