Ekspor hasil perikanan Indonesia sepanjang 2015–2018 menunjukkan grafik yang terus menanjak. Hal ini adalah salah satu hasil nyata dari kerja keras dan komitmen dalam sekitar empat tahun terakhir. Tahun ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga optimistis ekspor produk perikanan akan meningkat.
Kinerja ekspor yang positif pada 2018 itu tampak dari beberapa poin. Pertama, bertambahnya volume dan nilai ekspor hasil perikanan. Pada periode Januari–Oktober 2018, volume ekspor tercatat 915,64 ribu ton atau naik 6,22 persen dibandingkan periode yang sama pada 2017. Sementara dari sisi nilai naik 10,33 persen dari 3,61 miliar dollar AS pada Januari–Oktober 2017 menjadi 3,99 miliar dollar AS di periode yang sama 2018.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas utama ekspor hasil perikanan Indonesia adalah rumput laut, udang, cumi-sotong-gurita, tuna, cakalang-tongkol, dan kepiting-rajungan. Dari sisi volume, rumput laut ada di peringkat pertama, sedikit mengungguli udang. Sedangkan secara nilai, ekspor udang menyumbang paling besar dengan nilai 1,462 miliar dollar AS. Komoditas-komoditas ini diekspor ke sejumlah negara tujuan utama, yaitu Amerika Serikat, Jepang, China, Uni Eropa, ASEAN, Taiwan, Korea Selatan, dan Timur Tengah.
Kinerja ekspor yang membaik juga terlihat dari pertumbuhan PDB perikanan dan neraca ekspor-impor hasil perikanan. Pada triwulan III 2015–2018, nilai PDB perikanan berdasarkan harga konstan tercatat Rp 59,984 triliun; naik 3,71 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, neraca ekspor-impor pada Januari –Oktober 2018 berada di angka 3,62 miliar dollar AS, meningkat dari 3,26 miliar dollar AS pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Dorong keberlanjutan
Kebutuhan global akan produk perikanan kian tinggi. Jumlah penduduk dunia terus bertambah, yang diiringi dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk beralih ke protein hewani yang berasal dari ikan.
Negara-negara produsen hasil perikanan pun menjadi tumpuan untuk memasok kebutuhan ini, sekaligus di saat yang sama melindungi keberlanjutan ekobiologi sumber daya kelautan agar stok ikan terjaga. Indonesia mengupayakan keduanya. Keberlanjutan sumber daya ikan adalah kunci keberlangsungan produksi dan ekspor hasil perikanan Indonesia.
Terkait dengan keberlanjutan, Indonesia boleh bangga mengatakan bahwa lautnya saat ini dalam kondisi sehat. Berdasarkan Komnas Kajiskan, stok ikan pada 2016 tercatat 12,54 juta ton, naik dari 7,31 juta ton pada 2013 dan 9,93 juta ton pada 2015.
Hal itu merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah untuk secara serius memberantas IUU Fishing dan melarang penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Pelarangan alih muat di laut (transshipment at sea) serta pembatasan ukuran kapal penangkap ikan maksimal 150 GT dan kapal pengangkut 200 GT juga menjadikan populasi ikan kian pulih.
“Kelimpahan sumber daya ikan di laut dipengaruhi adanya natural mortality dan fishing mortality. Natural mortality merupakan kematian alami yang tidak berpengaruh besar pada stok, tidak seperti fishing mortality. Sebelum Oktober 2014, ribuan kapal ikan secara ilegal mengeruk sumber daya ikan kita secara besar-besaran dengan ukuran kapal antara 500-600 GT dan beberapa kapal berukuran lebih dari 1.000 GT.
Sekarang kapal-kapal itu sudah tidak ada lagi, ditambah adanya enforcement dalam penggunaan alat tangkap, artinya sekarang tekanan terhadap stok sumber daya ikan jauh berkurang dan proses pemulihan stok ikan terus berlangsung,” jelas Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo.
Keberlanjutan perikanan juga tak sekadar dilihat dalam konteks ekobiologi, tetapi juga sosial ekonomi, baik industri perikanan maupun nelayannya. Dalam konteks sosial ekonomi, keberlanjutan perikanan di Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang baik.
Ini dapat kita lihat misalnya di Bitung, Sulawesi Utara. Seiring peningkatan hasil tangkapan, industri perikanan di Bitung terus tumbuh. Bitung menjadi salah satu sentra produksi perikanan dengan banyaknya nelayan dan adanya sejumlah unit pengelolaan ikan.
Beberapa waktu lalu LSM internasional Green Peace merilis nama-nama perusahaan perikanan di Asia, termasuk Indonesia, yang masuk ke dalam kategori hijau, kuning, dan merah. Tiga perusahaan pengalengan ikan di Bitung yang sempat dikabarkan tutup, yaitu PT International Alliance Food, PT Samudera Mandiri Sentosa, dan PT Sinar Pure Food International justru mendapat nilai baik atau di kategori hijau.
Produksi perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung tercatat terus meningkat. Dalam kurun Januari–November 2018, produksi perikanan sebanyak 42.643 ton ikan atau senilai Rp 1,05 triliun. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, produksi perikanan tangkap di PPS Bitung naik 0,08 persen.
Peningkatan produksi ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah tentang pemberantasan kegiatan penangkapan ilegal. Perginya kapal asing dari perairan Indonesia dan tidak beroperasinya kapal eks-asing membuat nelayan lokal makin berdaya saing. Saat ini, pola usaha penangkapan ikan di Bitung sudah mulai bergeser dari yang sebelumnya dengan kapal asing, sekarang dengan kapal-kapal lokal.
Posisi tawar nelayan pun lebih tinggi sehingga pengusaha harus lebih proaktif mengidentifikasi dan melakukan kerja sama dengan nelayan untuk membeli ikan dengan harga kompetitif dan pembayaran tunai.
Hal yang sama sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia dan diharapkan akan terus membaik serta mendorong pemerataan ekonomi. Ke depan, produksi perikanan Indonesia diperkirakan dapat bertumbuh 10–20 persen seiring dengan penertiban kapal, perbaikan pengurusan perizinan, dan pencatatan laporan hasil usaha oleh para pelaku industri perikanan tangkap.
Kuatkan daya saing
KKP terus berupaya meningkatkan kinerja ekspor. Nilanto menjelaskan, pemerintah saat ini sedang melakukan upaya perundingan akan pembebasan Tarif Bea Masuk ke negara tujuan, seperti Uni Eropa dan Jepang.
“Dibandingkan dengan negara tetangga, kita masih belum mendapatkan nol persen. Oleh karena itu, kami terus berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk mengupayakan penurunan tarif bea masuk ke negara tujuan ekspor utama Indonesia,” ungkapnya.
Untuk dalam negeri, strateginya ialah meningkatkan standar mutu produk sesuai dengan persyaratan negara tujuan ekspor. Pemerintah membina para pelaku usaha agar bisa mengekspor produk sesuai dengan ketentuan setiap negara tujuan.
Uni Eropa, misalnya, juga mengharuskan semua produk yang masuk bisa dilacak asal-usulnya. KKP melalui Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) sedang membangun sistem telusur ikan nasional. KKP juga memonitor perusahaan terkait penerapan Hazard Analysis & Critical Control Point (HACCP). HACCP adalah metode operasi terstruktur untuk mengidentifikasi risiko keamanan pangan, mencegah bahaya dalam keamanan pangan, dan memastikan kesesuaian produk dengan hukum.
Ditjen Penguatan Daya Saing dan Ditjen Perikanan Budidaya KKP saat ini sedang fokus untuk menggenjot ekspor dari udang hasil budidaya. Bahkan, KKP merencanakan peningkatan nilai ekspor 1 miliar dollar AS selama 3 tahun ke depan bisa diperoleh dari udang, melalui optimalisasi lahan budidaya dan pengembangan udang windu (Penaeus monodon) dan udang jerbung (Penaeus merguensis).
KKP juga telah menyusun target untuk sejumlah indikator kerja utama pada 2019. Salah satunya, nilai ekspor hasil perikanan yang ditargetkan sebesar 9,5 miliar dollar AS. Selain nilai ekspor, pertumbuhan PDB perikanan pada 2019 ditargetkan sebesar 11 persen dan nilai tukar nelayan 112,58. Capaian produksi perikanan tangkap diharapkan sebesar 8,4 ton; perikanan budidaya 10,36 ton; dan rumput laut sebesar 19,54 ton. Secara total produksi perikanan tahun ini ditargetkan sebesar 38,3 juta ton. [NOV/ACH]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Januari 2019.