Selain kurikulum dan proses pembelajaran, hal penting lain dalam pendidikan entrepreneurship adalah soal membangun ekosistem. Tidak hanya fokus kepada kewirausahaan, tapi mulai ditekankan pada unsur inovasi. Dengan demikian, bisnis yang dikembangkan tidak hanya bersifat replikatif, tapi juga inovatif.

Hal tersebut dikatakan Dean Prasetiya Mulya School of Business & Economy (SBE) Prof  Agus W Soehadi, yang menambahkan hal penting berikutnya, yaitu pengembangan dari ekosistem. Sebagai contoh, mahasiswa harus dapat berinteraksi dan kolaborasi dengan stakeholders yang akan memperkuat pengetahuan dan keterampilan bisnis seperti mengurus perizinan dengan Pemda atau dinas terkait.

“Untuk itu, SBE membentuk beberapa pusat-pusat kajian seperti Entrepreneurship Development Center (EDC), Center of Events and Tourism Studies (CETS), dan Center of Brand and Digital Marketing (CBDM),” kata Agus.

Namun, proses pembelajaran tersebut juga tak tinggal di ruang hampa. Ia sejatinya harus mengikuti perkembangan zaman. Apalagi di tengah kemajuan teknologi, yang ini menelurkan pendekatan project based learning (PBL). Tanggung jawab pembelajaran mulai bergeser ke mahasiswa. Tugas pengajar adalah memberikan panggung kepada mahasiswa untuk mengidentifikasi isu di perusahaan dan mereka mencari solusi dan rekomendasi implementasinya. Pendekatan inilah yang sudah lebih dari 10 tahun diadaptasi di Prasetiya Mulya.

“Perubahan teknologi yang ada juga berdampak kepada demokratisasi bisnis di tingkat global, yang juga disebabkan batas antarnegara semakin tipis. Salah satu konsekuensinya adalah harus memiliki ketrampilan untuk berinteraksi dengan berbagai kultur yang berbeda,” papar Agus.

Untuk itu pula, Prasetiya Mulya harus melakukan internasionalisasi program. Dalam pengertian bahwa tidak hanya program dijalankan dengan bahasa Inggris tetapi baik faculty member dan mahasiswa juga berasal dari negara luar. Dengan demikian diharapkan mereka lebih memahami dalam berinteraksi dan kolaborasi dengan kultur yang berbeda.

“Sebagai contoh untuk Global Executive MM (GEMM), salah satu kekuatannya adalah mereka diminta untuk menjalankan global project yang merupakan kolaborasi antara mahasiswa Prasetiya Mulya dengan mahasiswa dari network-nya Roterdam School of Management antara lain ada di Belanda, AS, China, dan Jerman. Dengan demikian, banyak pelajaran yang diperoleh selama project tersebut dijalankan,” kata Agus.

Kolaborasi

Sebagai jawaban atas pembaruan pendidikan tinggi, yang mengutamakan kolaborasi teknologi dan engineering dengan desain bisnis agar dapat berkontribusi lebih besar pada pemajuan bisnis Indonesia yang berbasis inovasi, Universitas Prasetiya Mulya mendirikan School of Applied STEM (Science Technology Engineering & Mathematics).

“Pembaruan ini sangat diperlukan karena desakan lingkungan yang terus berubah, meningkatnya konektifitas dan demokratisasi ilmu pengetahuan, serta semakin pentingnya penguasaan iptek dalam memperkuat daya saing bisnis,” kata Dean Prasetiya Mulya School of Applied STEM Prof Janson Naiborhu.

Janson menambahkan bahwa pembaruan ini sangat diperlukan karena desakan lingkungan yang terus berubah, meningkatnya konektivitas dan demokratisasi ilmu pengetahuan, serta semakin pentingnya penguasaan iptek dalam memperkuat daya saing bisnis.

Program studi yang ditawarkan adalah program studi tingkat sarjana yang berorientasi pada masa depan dan menunjang inovasi berkelanjutan, yaitu Business Mathematics; Food Business Technology; Computer Systems Engineering; Enterprise Software Engineering; Entrepreneurial Energy Engineering; dan Product Design Engineering.

Lantas bagaimana memadukan materi yang ada dalam School of Applied STEM Prasetiya Mulya dengan “jiwa” Prasetiya Mulya yang sejak dulu fokus pada bisnis dan kewirausahaan? Jawabnya melalui penerapan pedagogi Discovery-Based Learning. School of Applied STEM Prasetiya Mulya memacu kemampuan inovasi mahasiswa untuk menghasilkan bisnis berbasis iptek.

Dalam Discovery-Based Learning, perkembangan teknologi disruptif menjadi inspirasi mahasiswa untuk dieksplorasi dalam laboratorium virtual, kemudian dilakukan eksperimentasi untuk menghasilkan prototype (purwa rupa) yang selanjutnya dapat dikomersialisasi dalam bentuk bisnis rintisan (startups), yaitu bisnis yang dipicu oleh perkembangan teknologi (Technology-Driven Business).

“Kami serius mengembangkan program studi masa depan ini dengan berinvestasi pada pengembangan Human Capital, State-of-the art Laboratory, Learning Ecosytems, dan Innovation Studio. Learning ecosystem kami investasikan dalam bentuk kerja sama dengan berbagai universitas dan industri, serta sistem pengelolaan pembelajaran yang didukung teknologi digital,” pungkas Jansen. [ASP]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 15 Oktober 2017