Pola-pola konsumtif pada dasarnya sudah diperkenalkan dari masa pertumbuhan. Perilaku konsumtif muncul ketika kita lebih suka menggunakan dibandingkan dengan menghasilkan. Hal konsumtif seperti menghabiskan uang untuk mobile game kadang didorong oleh orangtua yang terlalu sibuk untuk menanyakan atau mengawasi untuk apa uang tersebut digunakan secara detail.
Indonesia, dengan populasi yang mayoritas cenderung muda dengan kepemilikan smartphone, memiliki jumlah pemain game online aktif yang terus berkembang. PUBG, misalnya adalah mobile game dengan jumlah pemain dari Indonesia terbanyak kedua, yang dapat mengakibatkan anak-anak lupa waktu akibat kencanduan hingga mengesampingkan waktu tidur, belajar, atau hal penting lainnya.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Kecanduan Internet: Ubah Konsumtif Menjadi Produktif”. Webinar yang digelar pada Kamis, 28 Oktober 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Jeffry Yohanes Fransisco (CEO JFAutowear), Albertus Indratno (Founder dan CEO Namaste.id), Ariyo Bimmo (Penyami and Kuswardhani Law Office), Sigit Widodo (Internet Development Institute), dan Rayhandika Renarand (Paskibraka Nasional 2015) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Albertus Indratno menyampaikan bahwa perilaku kecanduan dan juga konsumtif dapat dimaanfaatkan untuk ke depannya, sehingga dibutuhkan kehadiran peran guru dan orangtua terhadap penggunaan ruang digital oleh anaknya. Terutama di masa pandemi saat ini yang tidak bisa menghabiskan waktu untuk bertemu langsung anaknya ditambah beban tugas dari pembelajaran jarak jauh yang menimbulkan stres terhadap anak.
“Sering pula orangtua juga tidak memberikan alternatif lain dalam menghabiskan waktu luangnya. Anak akan merasa terbantu ketika adanya arahan dari orangtua, yang menjadikan komunikasi sebagai kunci. Alternatif lain seperti memasak, berkebun, dan berolahraga dapat membantu mengasah keahlian anak sambil membuat mereka bergerak dan mendukung kesehatan mereka sehingga tidak hanya terpaku serta diam saja di depan layar perangkat yang dapat memperburuk kondisi pengelihatan dan berat badan anak,” terangnya.
Rayhandika Renarand selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa ia cukup aktif di sosial media Instagram, Youtube, dan kini Tiktok yang dapat menjadikan sosial media sebagai portofolio diri kita sendiri. Terutama dengan kondisi perekonomian saat ini, terdapat dua pekerjaan utama yang bisa bertahan hidup yaitu ASN dan influencer yang dibanjiri endorsement dari berbagai perusahaan, sehingga ia menyampaikan untuk jangan takut berkarya.
Media sosial menurutnya bagaikan pisau bermata dua karena tergantung tiap orang dalam menggunakannya, apakah untuk hal positif atau negatif. Pentingnya literasi digital dibutuhkan oleh semua generasi. Salah satu tugas generasi muda adalah membantu filter dan menyaring informasi yang diterima di grup WhatsApp keluarga yang dapat mengedukasi kepada generasi yang belum cakap.
Di ruang digital bukan hanya untuk teman bermain tapi terdapat banyak peluang yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan sesuatu, seperti perusahaan mengharapkan media sosial untuk menjadi porotofolio seseorang. Jadikan media sosial sebagai personal branding akan bakat dan karya kita.
Jangan takut untuk memamerkan karya di ruang digital, tidak semua content creator dan influencer bisa terkenal secara instan namun dibutuhkan proses. Jadilah netizen yang cakap digital dan ikut menyabarkan berbagai hal positif.
Salah satu peserta bernama Sulasih menyampaikan, kita menginginkan adanya internet sehat. Walaupun dari pengendalian diri kita untuk berinternet sehat, secara realita di internet banyak sekali iklan-iklan negatif yang bertebaran.
“Bagaimana sebaiknya keefektifan dari internet sehat mengingat banyak sekali individu di ruang internet yang tetap menyebarkan konten negatif? Bagaimana sebaiknya melindungi anak-anak di bawah umur dari iklan negatif dan mengedukasi mereka agar selalu berinternet positif dan produktif?” tanyanya.
Pertanyaan tersebut dijawab Ariyo Bimmo. “Risiko terbesar dari penyebaran konten internet yang tidak tersaring adalah kesenjangan yang mungkin timbul, sehingga dibutuhkan pengertian antar generasi. Dibutuhkan pemahaman untuk apa atau tujuan internet diciptakan dan bagaimana digunakan secara seoptimal mungkin. Orangtua harus diberikan pemahaman akan kemajuan teknologi.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]