Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Interaksi Online Nyaman, Kikis Ujaran Kebencian”. Webinar yang digelar pada Kamis, 2 September 2021 di Jakarta Utara, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Dr. Delly Maulana, MPA – Dosen Universitas Serang Raya, Lisa Esti Puji Hartanti, SSos, MSi – Dosen Unika Atma Jaya Jakarta, Rhesa Radyan P – Kaizen Room dan Andrea Abdul Rahman Azzqy, SKom, MSi, MSi(Han) – Dosen Universitas Budi Luhur Jakarta.
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Dr Delly Maulana membuka webinar dengan mengatakan, setidaknya ada lima jenis postingan yang dapat berujung pidana.
Pertama adalah memposting sesuatu yang mengarah pada body shaming dan pencemaran nama baik, lalu memposting informasi hoaks, memposting mengarah pada ancaman, memposting mengarah kepada kesusilaan dan memposting sesuatu yang mengandung SARA.
“Menghindari hal tersebut, maka tingkatkan kecakapan kita dalam melakukan aktivitas digital, yaitu kemampuan dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan hardware maupun software serta operasi digital dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta internet yang sehat, nyaman dan produktif,” tuturnya.
Lisa Esti Puji menambahkan, dalam melakukan aktivitas di dunia digital, diperlukan adanya netiket, yang merupakan kombinasi dari kata net (internet) dan etiket artinya menghormati pandangan orang lain dan menunjukkan kesopanan saat memberikan pandangan diri pada forum online.
“Etika dan etiket itu berbeda. Etika meliputi personal, salah dan benar dinilai secara individu. Sedangkan etiket, bersifat sosial, standar perilaku dibentuk berdasarkan lingkungan tempat kita tinggal,” ungkapnya. Menurutnya, menerapkan netiket sama dengan peduli pada orang lain.
Rhesa Radyan turut menjelaskan, indikator pertama dari kecakapan dalam budaya digital adalah bagaimana setiap individu menyadari bahwa ketika memasuki era digital, secara otomatis dirinya telah menjadi warga digital.
Maka dari itu, kita butuh Mindful Communication yang merupakan komunikasi yang penuh perhatian, melibatkan penerapan prinsip-prinsip perhatian dalam berhubungan dengan sesama. Prinsip-prinsip ini meliputi menetapkan niat, hadir sepenuhnya, tetap terbuka, tidak menghakimi, dan berhubungan dengan sesama.
“Sebagai warga digital kita juga perlu menerapkan nilai-nilai Pancasila, karena pemahaman Nilai-Nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kecakapan digital dalam kehidupan berbudaya, berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.
Dampak rendahnya pemahaman nilai Pancasila dan bhinneka Tungal Ika yakni tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah kepada perpecahan di ruang digital.
Lalu tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik, dengan pelanggaran privasi di ruang digital. ” Kita bisa lebih berhati – hati dalam membagikan postingan di dunia maya, karena semua hal yang di unggah di platform sosial media atau internet sangat mungkin untuk di-repost oleh orang lain,” pesannya.
Andrea Abdul turut menjelaskan, secara umum, ujaran kebencian adalah segala bentuk ekspresi yang digunakan penutur untuk menjelek-jelekkan, mempermalukan, atau menghasut kebencian terhadap suatu kelompok atau kelas orang berdasarkan ras, agama, warna kulit, identitas seksual menggunakan teknologi digital.
“Cara antisipasinya, frekuensi posting sewajarnya, hindari konten posting yang aneh-aneh, pilih-pilih teman di sosial media. Katakan tidak untuk Ujaran Kebencian,” jelasnya.
Sebagai pembicara terakhir, Ade Herlina menjelaskan, walaupun menjadi gamers bukan berarti kehidupan kita harus semuanya itu tentang bermain game, walaupun banyak yang mendapatkan uang dari situ. “Tapi ada baiknya kita tetap berkolaborasi dan berkomunikasi,” ujarnya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Siti Muntiin menanyakan, bagaimana membuat generasi muda menjadi cakap digital dan beretika digital?
“Program literasi digital yang dicanangkan pemerintah Indonesia, merupakan salah satu bentuk memberi kesadaran generasi muda, terkait menjadi melek digital. Supaya kita tahu bagaimana berperilaku yang baik di media sosial, maka pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dan butuh bantuan khususnya dari pada pendidik,” jawab Lisa.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Jakarta Utara. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.