Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Mari Berbahasa yang Benar dan Beretika di Ruang Digital”. Webinar yang digelar pada Senin (18/10/2021) di Kabupaten Serang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Aina Masrurin – Media Planner Ceritasantri.id, Mochamad Azis Nasution – Pemimpin Redaksi Channel9.id, Edy Budiyarso, S.PD., M.H – Managing Director Indoplus Communication dan Zusdi F. Arianto – Ketua Yayasan Quranesia Amrina Rasyada.
Kesalahan berbahasa
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Aina Masrurin membuka webinar dengan mengatakan, ada beberapa jenis dan risiko kesalahan berbahasa.
“Yakni salah ketik atau typo. Misalnya ada percakapan antara dua orang dalam sebuah aplikasi WhatsApp yang seharusnya mengucapkan semoga cepat sembuh tetapi menjadi semoga tidak mati. Dan juga percakapan antara ibu dan anak yang mengingatkan untuk beribadah namun menjadi salah arti,” tuturnya.
Selain itu, ada salah tanda baca, salah tonalitas dan pemenggalan konteks. Adapun mitigasi kesalahan berbahasa yakni turunkan konten salah unggah, revisi konten dan pendalaman keterampilan berbahasa.
Mochamad Azis Nasution menambahkan, kehadiran teknologi digital memberikan pengaruh yang sangat besar dalam berbagai sendi kehidupan. Aspek sosial budaya merupakan salah satu aspek yang paling terpengaruh.
“Kehadiran platform media sosial (medsos) seperti Facebook, Twitter, Instagram, Linkedin, Whats App mengubah cara orang berkomunikasi dan berinteraksi. Melalui pesan teks, suara dan video, netizen melakukan interaksi dengan orang lain dengan perantaraan media sosial,” tuturnya.
Indonesia tumbuh menjadi salah satu negara pengguna medsos terbesar di dunia. Mereka yang menerima teknologi media sosial dan menggunakannya secara produktif, mengambil manfaat dan bertindak secara positif dan kreatif.
Menariknya, terjadi fenomena bahasa medsos atau modifikasi bahasa. Sebagai contoh, lapar ditulis “L4P4R”, admin disebut “mimin”, moderator disebut “momod”. Selain itu, juga kerap terjadi sarkasme, netizen sering sekali melontarkan bahasa-bahasa yang cenderung sarkastik dan sinis.
Netiket
Padahal, dunia maya juga memiliki etika atau yang biasa disebut netiket (Internet etiket), yakni penerapan etika dalam melakukan komunikasi dan interaksi dalam menggunakan media sosial.
Netiket ini mengatur yang baik dan benar dalam berkomunikasi dan berinteraksi di media sosial. Sumber etika yakni perspektif agama, bersumber kepada ajaran-ajaran agama. Lalu perspektif budaya, tata krama dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat.
Edy Budiyarso menjelaskan, cara kita berbicara menjadi cermin kepribadian kita. Kultur digital adalah produk dari teknologi yang meresap dan akses tanpa batas ke informasi, sebuah produk dari inovasi teknologi digital yang memiliki karakter disruptif dalam kehidupan dan gaya hidup digital masyarakat kita.
“Bahasa lokal yang menyumbang kearifan bahasa nasional sebagai produk budaya yang harus dimasifkan di era digital. Jika tidak kita akan dikuasai bahasa, yang tidak berasal dari budaya dan peradaban kita sendiri,” katanya.
Sebagai pembicara terakhir, Zusdi F. Arianto mengatakan, interaksi di era transformasi digital ini menyasar lintas generasi. Anak-anak dan orang berusia lanjut, termasuk pengguna rawan. Aktivitas di dunia digital yang intrusif ke kehidupan personal, berdampak pada kesehatan mental pengguna.
“Tantangan informasi di era digital, di antaranya pola komunikasi masyarakat di Indonesia dalam bersosial media, yakni “10 to 90” yaitu hanya 10 persen yang memproduksi informasi sedangkan 90 persen cenderung mendistribusikannya,” ujarnya.
Dalam sesi KOL, Reza Tama mengatakan, segala macam yang ada di perangkat kita itu bisa kita pelajari dengan mudah, tapi tentunya perlu kesadaran ataupun kontrol diri, sehingga ketika kita melihat banyak sisi positifnya tentunya akan lebih berguna untuk kita.
“Adanya dunia digital itu memudahkan untuk mengirit pengeluaran, bahkan mendapat jangkauan informasi lebih luas di seluruh Indonesia. Selain itu juga, akses informasi semakin cepat akhirnya banyak sekali informasi yang bisa aku cari dari internet namun tetap harus memfilter diri jangan sampai kita menyebarkan berita bohong,” pesannya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Dyni menanyakan, apakah sebaiknya di sekolah sudah mulai diajarkan terkait bagaimana etika bermedia sosial di era digital ini?
“Saya kira mungkin sebuah mata pelajaran yang memang terkait bagaimana kecakapan digital, karena ini sangat penting buat generasi muda, mereka perlu pemahaman yang berkait bagaimana menggunakan digital dari sisi skill, budaya, etika dan safety. Sebab, literasi yang rendah, berdampak pada berbagai macam persoalan di ruang virtual misalnya etika menjadi tersingkirkan,” jawab Azis.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Serang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.